JAM dinding besar yang terbuat dari kayu oak yang diimpor langsung dari luar negeri berdenting keras. Jarum jamnya sudah menunjukkan pukul 12 malam.
“Sudah malam. Sebaiknya kita hentikan semua ini. Memei. Menginaplah disini. Supir akan mengantakanmu pulang besok pagi. Lalu-”
“Apakah semudah ini Ayah melupakannya? Apakah ini yang seharusnya seorang Ayah lakukan terhadap anaknya?!” Potong Naru cepat. Dia menengadah dan berteriak marah.
“Apakah Ayah lebih peduli dengan nenek lampir itu dari pada anaknya sendiri!?” Teriak Naru lagi. Semua orang terkejut mendengarnya. Terutama Memei yang ditunjuk Naru.
“Apa kau bilang? Katakan sekali lagi!?” Teriak Ayahnya tak mau kalah. Ruangan ber-AC itu mendadak terasa panas.
“Apakah aku harus memperjelasnya dengan mengatakan jika Ayahku sendiri adalah seorang yang jahat?!
Jahat sekali hingga dia tega tidak bertanggungjawab pada kematian pekerjanya sendiri. Tega menelantarkan keluarga korban. Diam seolah tak berbuat kesalahan!” Teriak Naru bertepatan dengan tamparan keras yang mengenai pipi kirinya. Semua orang kembali terlonjak kaget.
“Anak kurang ajar! Apa yang kau bicarakan, hah!?"
Naru tertawa terkekeh. Dia menyentuh pipi kirinya yang terasa perih.
"Ya, jelas Ayah tak tahu kalau perusahaan besar yang Ayah bangun itu telah melakukan kejahatan. Apa Ayah kira aku tak tahu kalau diam-diam perusahaan Ayah kehilangan pekerja karena kecelakaan di proyek? Dia meninggalkan keluarganya. Meninggalkan istri dan anaknya yang tak mendapatkan apa-apa dari perusahaan Ayah dengab lambang bunga matahari yang selalu Ayah banggakan itu."
"Ya. Ayah memang tahu. Tapi Ayah memang tak peduli. Ayah memang tak tahu siapa orang yang kau maksud itu. Tapi, itulah kehidupan. Siapa yang dibawah dia akan selalu dibawah. Itulah kehidupan.
Tapi itu tidak berlaku untukmu. Kau adalah pewaris tunggal keluarga ini. Kau punya kehidupan yang selalu berada di atas. Maka kau tak perlu peduli atau berhubungan dengan orang-orang bawah itu." Jawab sang Ayah membuat semua orang tertegun.
Tanpa di duga, Naru justru tertawa terbahak-bahak setelah terdiam cukup lama.
“Ayah kira aku peduli dengan kekayaan atau pewaris yang selalu kau banggakan itu? Jika harus memilih. Aku lebih baik pergi dari rumah ini. Memperdalam diri dengan ilmu agama Islam. Kemudian datang dan menyadarkan otak kedua orang tuaku yang sudah tak waras dan-”
Plak! Tamparan kembali mengenai pipi Naru. Kini dia menyentuh pipi kanannya yang juga memar. Perih kini terasa dikedua pipinya.
“Lakukan saja jika kau bisa!” Teriak sang Ayah menarik baju dan Al Quran dari tangan Naru. Mendorong tubuhnya hingga seseorang menangkapnya sebelum terjatuh. Dua orang bodyguard kini telah berada di belakang tubuh Naru.
“Mulai detik ini. Kau tak boleh pergi kemanapun termasuk ke sekolah. Sudah cukup ulahmu yang begitu merepotkan hari ini!” Teriak sang Ayah memberi kode pada kedua bodyguard bertubuh besar dan kekar yang telah memegang kedua lengan Naru dengan paksa.
“Bawa dia ke kamar! Jangan biarkan dia keluar apalagi pergi meninggalkan rumah ini! Perketat keamaan rumah ini sampai hari perjodohan tiba!” Teriak sang Ayah. Semua orang tercengang. Terutama Naru yang tak bisa bergerak walaupun hendak memegang pipinya yang memerah.
“Apa yang Ayah katakan?! Ayah akan mengurung Naru di kamar?! Ini tidak adil!” Pekik Naru meronta.
“Dunia ini memang tidak adil. Keadilan hanyalah milik mereka yang memiliki kekuasaan. Diam dan renungkanlah perbuatanmu. Benda-benda aneh ini tidak seharusnya membuat pikiranmu kotor!” Seru sang Ayah membuang baju muslim dan Al Quran ke lantai.