SATU JAM SEBELUMNYA...
Bangunan itu terlihat sudah tidak layak. Dinding-dindingnya banyak yang berlubang. Bungkus sampah makanan dan beberapa kaca berserakan. Beberapa orang dengan benda tajam tergenggam di tangan mereka masing-masing terlihat terjaga di depan rumah yang hanya memiliki satu pintu.
Dari dalam terdengar suara-suara orang sedang tertawa. Terkekeh. Dan sesekali suara orang sedang menahan kesakitan. Hanya sebuah cahaya lilin temaram yang terlihat diantara mereka. Membuat bayangan hitam di tubuh mereka.
Plak! Sebuah tamparan entah yang ke berapa kali menyentuh pipi Naru yang lebam. Di sudut lain bercak darah terlihat menghiasi. Dia hanya meringis mencoba menahan sakit. Sakit yang menjalar di kepala, wajah dan juga perutnya yang tak berhenti mengeluarkan darah.
“Matahari sudah lewat beberapa saat yang lalu. Semua orang pasti sedang heboh mencari keberadaanmu sang pangeran yang menghilang.” Seru Tori memainkan pisau lipat di tangannya. Ada noda darah di ujungnya.
“Sebenarnya, kenapa kau tega melakukan hal kejam seperti ini padaku? Apakah aku pernah melakukan kesalahan?” Tanya Naru berusaha bangkit. Namun tubuhnya terlalu lemah. Tangannya yang telah penuh oleh darah hanya bisa terus memegangi perutnya.
“Hahaha! Pertanyaan bodoh macam apa itu? Ya. Tentu saja kau telah melakukan kesalahan. Kehadiranmu di sekolah itu adalah kesalahan. Semua orang jadi melihat ke arahmu. Eri yang selama ini aku lindungi juga kau ambil.
Seluruh sekolah memandangmu. Kau yang tertawa bahagia di atas penderitaan orang lain. Semua itu adalah kesalahanmu!” Teriak Tori marah. Wajahnya semakin terlihat menakutkan. Itukah wajah seorang psikopat yang kali kedua ini Naru lihat?
“Bukankah itu adalah kesalahanmu sendiri? Aku datang dengan kemampuanku sendiri. Semua orang menganggapku sebagai idola adalah bonus karena aku telah menjadi yang terbaik.
Awalnya aku memang tak suka dengan kehadiran Eri. Tapi siapa yang menyangka jika ketika pertama kali mendengar suara mengajinya. Hatiku merasa terketuk. Mungkin caraku memang salah. Padahal aku hanya ingin mendekatinya karena penasaran dengan suara mengajinya yang tiba-tiba menghilang.
Apakah salah jika aku memberi kesempatan padanya untuk tetap bersekolah dengan menjadi guru mengaji? Mengajarkan tentang agama yang selama ini kalian anut, agama Islam.
Menurutmu itu semua adalah penderitaan jika semua orang menjauhimu? Tentu saja mereka benar karena beginilah sifat aslimu. Mengerikan.” Balas Naru tak mau kalah. Walaupun dia tahu sebuah pukulan dan tendangan kembali menghampiri tubuhnya. Dia tak bisa mengelak. Tori mengatur napas. Dia juga terlihat kelelahan.
Tori berjongkok seraya menjambak rambut Naru dengan kasar. Naru membalasnya dengan memandang tajam ke arahnya. Jika tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Sebuah tatapan kebencian lebih baik dari pada hanya diam.
“Aku akui nyalimu sangat besar. Ketika semua orang meninggalkanmu sendiri di tengah hutan seperti ini. Kau pikir bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup?” Kata Tori melirik sebuah jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri Naru. Membuatnya tertarik untuk merebutnya paksa.
“Apakah ini mahal? Berapa uang yang akan aku terima jika menjualnya?” Tanya Tori memandangi jam tangan merek Rolex dengan gradasi biru laut dan hitam milik Naru.
“Ya. Sangat mahal bahkan harga nyawamu saja tidak sebanding dengannya.” Jawab Naru menyeringai. Secepat kilat Tori merebut jam tangan itu. Melemparkannya. Menginjaknya hingga pecah dan hancur berkeping-keping.