Yang Seharusnya Tak Pernah Singgah

Naila Etrafa
Chapter #2

BERPISAH

Di ruang makan


"Mama dimana ya Mas?"


Terlihat Sekar yang bolak balik dari lantai bawah atas kemudian ke bawah lagi demi mencari mama mertuanya. Tentu bisa saja Pram memberi tahu Sekar jika mamanya sedang di luar atau alasan lain, namun dan mumpung dia masih sah menjadi sosok suami sekarang, mumpung Sekar masih di rumah ini, dia ingin memuaskan pandangannya melihat istrinya yang hilir mudik sedari tadi. 


"Mas, Mama kok gak ada? serius sudah Sekar cari kemana-mana, coba sampean cek di ponselnya Mas, barangkali ada pesan dari Mama." Wajah Sekar terlihat khawatir mengingat di luar juga sangat dingin. Mendung terlihat sudah tebal dan sepertinya memberikan alamat akan turun hujan. 


Pram melihat jam di punggung pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dia masih ingin menikmati keberadaan istrinya di rumah. Pram juga tidak perlu khawatir dengan masakan istrinya yang akan segera dingin, meja makannya canggih, bisa disetel untuk menghangatkan makanan di meja.


"Entahlah, tidak ada pesan." Jawabnya bohong.


"Coba telpon Mas, biasanya kalau ibu keluar kan ngabari sampean." 

Sekar duduk, namun terlihat jemarinya mengetuk ngetuk meja makan, dia risau. Pram tidak mengerti, Sekar terlihat sekali menyayangi ibunya lagi-lagi tanda tanya besar itu menghantui pikirannya, apa sebenarnya yang menyebabkan mamanya membencinya? apa? 


"Mama sedang di luar, nanti akan dikabari lagi kalau mau pulang." 

Dia tidak mau Sekar khawatir. Nafsu makannya juga mulai membuncah, dia tidak sabar melahap masakan Sekar yang paling dia suka.


Usai berdoa mereka melahap aneka macam makanan yang sudah terhidang. Sekar juga merasa sangat lapar, dia tidak sempat makan siyang karena melayani para pembeli yang hilir mudik, mochinya laris manis Alhamdulillah.


Terdengar suara guntur yang bergemuruh, mereka sedikit terkejut. Hujan lebat menerpa, hawa dingin menyerbu. Suasana menjadi lebih intim. Di rumah hanya ada mereka berdua. Dalam lahapnya makan, Pram melirik wajah istrinya yang ayu dalam balutan baju apa pun. Sekar itu maceman, istilah jawa yang artinya pantas kalau pakai baju apa saja. Terlihat ayu dan menarik. Ah, diusapnya matanya berkali-kali, usahanya agar segera kembali ke alam sadar, ingat tujuan awalnya adalah dia akan berpisah dengan istrinya. Cukup.


Perut Pram sudah sepertiga lebih terisi, artinya dia sudah cukup kenyang. Hawa dingin kembali merasuk, namun rasa panaslah yang kini dirasa, menyergap dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia mencengkram celana kainnya dengan erat. Ada rasa ingin yang kuat membuatnya terus menerus mengatur ritme napasnya.


 Sekar menyadari sikap suaminya. Mereka sepasang suami istri. Mereka sudah sama-sama paham. Sekar pun merasakan apa yang suaminya rasa. Rasanya untuk jamaknya pasangan suami istri, mereka termasuk sangat jarang berbagi peluh. Namun selumrahnya perempuan, malu adalah komposisi terbesar dalam dirinya. Tembok yang begitu kokoh nan menjulang tinggi. Meskipun dia ingin, namun kelu sekali rasanya untuk mengungkapkan. Selanjutnya dia berusaha fokus pada makanannya. 


Mata Pram menyorot istrinya dengan penuh minat. Dari rambunya yang basah dan mewangi, mata yang menawan, hidung mancung, dan bibir tipisnya. Sekar memakai kaos merah yang tak ayal membuat kulit kuning langsatnya terlihat mencolok, dipandanginya lehernya yang jenjang dengan tatapan n*fsu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia tahan sekarang, Ah lupakan dulu tujuan awal. Bagaimana kalau dia menuntaskan dulu kebutuhannya sekarang? 


Jeda sebentar.. menyisakan suara dentingan sendok dan garpu di atas piring. 


Sedetik kemudian gawai Pram bergetar. 


[Disini hujan deras Pram, apakah lancar?]

Lihat selengkapnya