Subadra namamu, meski orang-orang sering memanggilmu Sembadra, sebabnya kau begitu mirip dengannya, tapi bagiku, khusus aku, kau ku panggil Rara, hehehe. Panggilan terkasih bagi yang benar-benar mengenalmu, benar-benar mengetahui siapa dirimu. Seperti sang putri negeri Mandura itu, kau pun begitu sempurna, fisikmu terpahat bagai putri anggun, manis khas Jawa, tutur katamu selembut hembusan udara pagi, sifat-mu setenang para sintua dan kesetiaan-mu sekuat para pemuja, oh Rara, kau memang tampak sebagai sosok ideal putri priyayi. Tapi banyak yang tak tau, ya, tak banyak yang tau dibalik segala keindahan itu dirimu menyimpan cerita penuh luka. Tapi aku tau, ya, aku tau Ra.
"Mas, tak mungkin kau tau!" Sergahmu, ketika kita berdua liburan di Telaga Sarangan akhir bulan Desember. Kau saat itu berdiri di tepi telaga yang airnya luber hampir penuh setiap akhir tahun, tubuh indah-mu dibalut gaun merah muda bermotif bunga, berdada rendah dan tanpa lengan, kau pegang erat-erat kain itu ketika berkelibatan diterpa angin sepoi-sepoi dingin khas Sarangan sambil berlari kecil menjauhiku, tak mau mendengar aku bercerita tentangmu, hehehe.
"Tentu aku tau, Ra, tentu saja aku tau!" Balasku sedikit berteriak, agar kau dapat mendengarnya, meski pengakuan itu hilang tertelan deburan ombak telaga. Tapi tetap, tak merubah kenyataan bahwa aku tau, oh Ra, aku tau, meski seluruh dunia menafikan-nya, membungkam atau menutup mulutku, aku tetap tau. Kalau masih tak percaya akan ku ceritakan, hehehe.
"Tak ada yang ku ketahui darinya, kecuali nama."
- Jalaluddin Rumi -
Malam itu bulan purnama, ketika sebuah dokar berderit terburu-buru memasuki jalanan batu Widarakandang, desa kecil nan asri yang letaknya jauh dari hiruk-pikuk dan gemerlap ibukota, dia berhenti didepan sebuah rumah milik pak lurah, tak berselang lama seorang lelaki yang mengenakan pakaian ksatria turun dari kereta kuda.
"Darimana kamu tau dia ksatria, mas?"
"Oh Ra, aku tau benar bagaimana pakaian ksatria, apalagi yang bermotif Mandura, meski sekuat tenaga coba dia samarkan, tetap saja terlihat dibawah cahaya maram rembulan, hehehe."
Sambil celingak-celinguk, sang ksatria memastikan tak ada yang melihatnya, diketoknya pintu rumah dari kayu itu, tak berselang lama sang empu rumah beserta istrinya keluar, mereka jelas sekali langsung paham apa keperluan sang tamu malam-malam begini, pasalnya tak perlu mereka bertanya. Tak mau basa-basi diserahkan-nya buntelan kain yang dibawa kepada kedua suami istri, itu dirimu, oh Ra, itu dirimu. Bayi perempuan mungil yang masih terbungkus kain jarik itu dirimu, kaulah yang diserahkan kepada mereka, Antapoga dan Sagopi. Mereka membuka penutup jarik di wajahmu, lalu mengusap pipimu kecilmu.
"Oh wajahnya ... Kenapa wajahnya?!"
"Iya, wajahnya ... Kenapa wajahnya?! Kulitnya hitam, pipinya tembem, rambutnya jarang kemerahan-merahan seperti bulan!"
"Ya, kemerah-merahan seperti bulan di langit itu!"
Kedua pasang suami istri itu tersenyum sambil meneteskan air mata melihatmu yang damai terlelap, sedang bahagia sekaligus bersedih, sesuatu yang sering dilakukan Semar untuk menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kesedihan adalah dua hal yang sejatinya tak terpisahkan, tertawa tapi juga menangis, sama seperti Antapoga dan Sagopi malam itu. Keduanya bahagia melihat bayi mungil tak berdaya itu selamat, tetapi juga sedih menyadari betapa penderitaan sudah harus kau rasakan sejak kelahiran-mu, wajahmu yang buruk rupa, fisikmu yang tak sempurna, nasibmu yang malang menderita, oh, kasihan sekali, kasihan sekali. Tapi tak banyak waktu meratap atau bersyukur. Sudah saatnya sang ksatria berpamitan, pergi untuk selamanya meninggalkanmu kepada mereka. Tapi sebelum itu sang ksatria sempat memberitahu siapa nama si bayi, oh Ra, namanya Sembadra.
"Tapi itu cerita tentang Sembadra, mas! Bukan tentang Rara, bukan tentangku!"