Opera Garnier atau Palais Garnier yang terletak di 9th Arrondissement di Boulevard des Capucines, pusat Kota Paris, berkilau indah. Lampu-lampunya yang menyala membuat bangunan dari marmer itu sukses memancarkan cahaya keemasan dibawah guyuran hujan salju bulan januari. Nampak kontras dengan jalanan Place de l'Opera di hadapannya yang kini lenggang dan perlahan berubah memutih. Dibangun antara tahun 1861 dan 1875 dengan gaya Renaisans dan Barok ala Napoleon III, Opera Garnier merupakan salah satu pusat teater dan rumah opera terbesar di dunia.
Di sanalah aku, oh Ra, berdiri diam membeku seperti mannequin di depan pintu ruang masuk Auditorium, sambil menikmati interiornya yang penuh hiasan dinding, mosaik, serta dekorasi berlapis marmer dan emas karya banyak seniman ternama, mulai dari Marc Chagall, Charles Gumery, Aime Millet, dan Paul-Jacques-Aimé Baudry tercatat pernah menggoreskan karyanya di tempat ini. Jika tak percaya dengan keindahannya, datang saja sendiri.
Tentu aku tak sabar masuk kedalam, tapi segala keinginan itu ku kesampingkan demi menunggumu, oh Ra, demi menunggumu. Meski kau seakan lupa suhu saat itu mencapai -3° celsius, terasa membeku walau berada didalam ruangan ber-penghangat ini. Huh, mantel dan scarf hitam yang melilit tubuhku seakan tak berguna, dingin, tapi tak sedingin sikapmu kepadmu, hehehe. Maka kubiarkan saja kau puas memilih makanan khas Perancis yang tersedia di L'Opera Restaurant untuk kita santap bersama nanti, daripada nantinya kau kembali merengut marah kepadaku.
Apalagi sisa kemarahan-mu karena kejadian bulan lalu masih membekas, meski kini kau mengaku telah menerima kenyataan bahwa lurah Antapoga dan sinden Sagopi ternyata memang kedua orang tua angkat Sembadra, tak hanya pengasuhnya saja. Cinta mereka kepadamu ternyata lebih tulus daripada cinta seorang pengasuh kepada anak majikannya yang kerap kali ditentukan oleh besaran gaji perbulan. Penerimaan -mu perlahan menghapus kemarahan itu, apalagi ditambah liburan ke Paris dan jalan-jalan sore ini, hehehe.
Seminggu yang lalu salah seorang sahabatku tiba-tiba menelepon, dia orang Perancis, namanya Albert Camus, tapi nama itu terlalu susah untuk ku ucapkan, jadi lebih sering dia ku panggil Mas Mus, ku panggil mas karena usianya memang lebih tua dariku.
"Adinda, apa kabarmu? Comment ça va?"
Aku langsung mengenali aksen khas itu, langsung tau siapa dia meski nomornya aneh dan tak bernama.
"Ah, Mas Mus, aku baik-baik saja, bagaimana denganmu? Hehehe,"
"Je vais bien, aku juga baik-baik saja."
Mas Mus membawa kabar gembira, oh Ra, untukku dan nantinya untukmu. Sebab sebagai seorang penulis, karyanya kini terus dicetak ulang. Dan oleh sebab itu dia mengundangku untuk ikut merayakan kesuksesan-nya dengan datang ke Paris, bersama satu orang terkasihku, dia tanggung semua biaya tiket pesawat, kamar hotel dan makanan ala Perancis tiga kali sehari, termasuk dua tiket VIP pertunjukkan Opera Garnier kita hari ini, hehehe. Tentu saja, oh Ra, tentu saja, tak perlu berpikir panjang aku menyetujuinya, dan mengajak satu orang terkasihku, dirimu.
Dan disinilah kita sekarang, berdua di kota cinta yang termasyur itu, meski bukan kehangatan yang kurasakan saat ini, melainkan dingin puncak musim salju yang menusuk.
"Ah, mas, maaf kalo sampeyan menunggu terlalu lama,"
"Oh, tak apa," Bukankah tugas lelaki memang bersabar menghadapi keterlambatan wanita?
"Eh mas, ayo! Kita hampir telat!"
Ah, benar, orang-orang mulai berdatangan menyesaki ruangan, mereka semua tentu sama tak sabarnya dengan kita, oh Ra, telinga mereka sudah lapar sama seperti telinga kita, sudah sampai puncak menahan hasrat ingin menikmati karya indah Beethoven sore ini. Lagi-lagi soal kesabaran, dan orang-orang Paris sepertinya lebih pintar mengelolanya ketimbang rakyat Mandura, mereka dengan sendirinya membentuk antrean, tanpa dikomando, lalu satu persatu masuk kedalam. Mungkin salah satu ciri negeri yang rakyatnya sudah maju adalah kemampuan mereka mengendalikan diri sendiri, hehehe.
Bagian dalam Auditorium ternyata lebih indah daripada yang pernah ku banyangkan, meski tetap tak seindah dirimu. Panggung dengan interior ala Italia berwarna emas itu berdiri megah, mungkin cukup untuk menampung 400 orang penampil berbarengan. Di sisi penonton, 1900 kursi terpasang berjejer rapi memenuhi lima lantai yang bergaya dekaden yang sore itu hampir penuh sesak.
Ah, tapi tempat kita lebih istimewa, di lantai tiga tepat menghadap pusat pertunjukkan, kelas VIP itu terasa lebih spesial karena ku tempati bersamamu, entah nikmat mana lagi yang ku dusta-kan?
Pelayan lelaki berambut kribo masuk menghidangkan masakan khas Perancis pesanan-mu tepat ketika simfoni pertama, Fidelio, mulai dimainkan oleh grup orkestra kenamaan, Royal Concertgebouw.
"Ah, bekicot rebus," Itulah alasanmu memilih menu ini, mirip yang ada di Mandura, hehehe, dua porsi bekicot rebus dengan bumbu hijau.
"Escargot, madame, escargots in garlic and parsley butter,"