Kangsa namanya, merupakan pemberian istimewa dari Begawan Kawita dan Patih Suratimatra, kakek dan paman-nya, begitulah yang diceritakan para pendongeng di pertunjukkan-pertunjukkan mereka. Tapi lagi-lagi, mereka tak tau, oh Ra, mereka tak tau. Mereka tak tau apapun tentang si lelaki yang kelak akan menjadi mimpi buruk keluargamu. Tapi aku tau, oh Ra, aku tau. Aku tau bahwa nama itu bukan berasal dari hasil pikiran kedua-nya, sama seperti nama Rara Ireng yang bukan pula berasal dari kedua orangtuamu, wajah Kangsa memang begitu mirip dengan Gorawangsa, saudara tua Suratimatra, dan dari alasan itulah namanya berasal.
Dia tumbuh dengan luar biasa cepat, fisik dan kesaktiannya matang dalam usia belasan tahun saja.
"Ah, mas, ya, ya, abah dan mbok pernah bercerita tentang dia, begitu juga kedua orangtuaku! Ya, ya, aku ingat nama itu! Lelaki yang hidupnya dipenuhi dendam kebencian itu kan?"
Ah, dendam dan kebencian, begitu naif dirimu jika menganggapnya begitu. Bagiku, ya bagiku, tak ada yang cintanya sebesar Kangsa. Tidak, jika kau memang paham siapa dia.
"Tapi mas, dia itu begitu kejam! Kejam sekali dia hingga membuat banyak rakyat Mandura menderita, membuatku menderita!"
"Betapa manusia harus melalui penderitaan terlebih dahulu untuk bersatu dengan Cinta yang Sejati, yakni Allah."
- Jalaluddin Rumi -
Oh, penderitaan, hehehe. Penderitaan siapa yang kau maksud? Sementara Kangsa menghabiskan masa kanak-kanak-nya tanpa pernah mengenal orang tuanya, sama sepertimu. Dia dibesarkan tanpa cinta, setidaknya dalam hal itu kau masih mendingan, karena Antapoga dan Sagopi tak kurang-kurang memberimu kasih sayang. Yang dia lakukan hanya berlatih ilmu beladiri, mengafal jurus dan mantra, dia hadapi kehidupan berat penuh penderitaan itu tanpa sedikitpun mengeluh.
Karena sejatinya itu bukanlah penderitaan, melainkan kebahagiaan cinta. Bukankah penderitaan itu kasih sayang yang menyamar? Bukankah saat menderita itulah seseorang sedang dipanggil oleh sang kekasih? Bukankah luka-luka merupakan jalan bagi cahaya untuk memasuki diri kita?
Oh Ra, bahkan penderitaan itu adalah pemahaman spiritual yang ada dalam setiap agama. Umat Islam memperingati Hari Raya Qurban, umat Kristiani memperingati Jumat Agung, umat Buddhis mengenal ajaran Samsara dan Dhukka. Bukankah itu semua adalah penderitaan? Kekejaman yang menjadi pelajaran untuk mencapai cinta dan kebahagiaan. Jadi menurutmu, oh Ra, masihkah itu disebut kekejaman ataukah cinta? Bukankah semua tergantung bagaimana caramu melihat dan menyikapinya?
Sama seperti para pendongeng menceritakan kekejaman Sengkuni, dia yang kemudian terpaksa memakan 99 saudara dan kedua orangtuanya karena dipenjara Destarasta akibat menikahkan dirinya dengan sang adik, Gandari, yang ternyata janda kambing. Dalam penjara itulah Sengkuni terpaksa memakan seluruh keluarganya untuk bertahan hidup dan membalas dendam atas nama kedzoliman yang mereka alami, sebab mereka hanya diberi makan sebutir beras untuk satu hari. Oh Ra, menurutmu yang dilakukan Sengkuni dan Destarasta itu kekejaman, penderitaan ataukah cinta?
"Kekejaman atau cinta, penderitaan atau bahagia, tetap tak menjadi alasan kamu boleh merampas kehidupan orang lain dengan berbuat kekejaman, kan mas?"
Benar, benar sekali, oh Ra. Kata-katamu itu cocok untuk Kangsa, tapi lebih cocok ditujukan kepada ayahmu, raja Mandura.
"Hah? Kenapa dengan raja Mandura? Siapa yang disakiti olehnya? Bukankah dia itu raja yang berkuasa dengan sangat adil kepada rakyatnya? Bukankah tak pernah dia berbuat kedzoliman? Siapa yang dia sakiti?"
"Tak ada yang lebih tau jawaban pertanyaan-mu selain Kangsa!"
Karena ketika tumbuh dewasa, Kangsa akhirnya mempertanyakan perihal kedua orang tua yang tak pernah dikenalnya, dan diceritakan-lah tentang riwayat Gorawangsa dan Dewi Maherah, kedua orang tua-nya yang mati karena Busudewa, ayahmu. Maka keinginan membalas dendam itu memenuhi relung hatinya, dan itu tercipta karena cintanya kepada kedua orang tua yang selama ini selalu dia dambakan.
"Bagaimana bisa Raja Basudewa yang membunuh kedua orang tuanya? Apa salah mereka?"
Jawabanku sama, semuanya selalu tentang cinta. Jauh sebelum kau dan aku lahir, bahkan kakak-kakakmu, ayahmu yang terlahir sebagai anak sulung sudah dipersiapkan jauh hari menjadi putra mahkota, yang kelak akan diangkat sebagai raja. Dan kegemaran ayahmu berburu-lah yang menjadi awal dari semua garis takdir ini.
"Ah mas, jika kamu saja belum dilahirkan, lantas bagaimana bisa tau cerita itu?"
"Aku tau, oh Ra, aku tau. Berapa kali harus kukatakan bahwa aku tau? Karena cinta adalah rasa yang di wariskan dari zaman ke zaman!"