Berbeda dengan nenekku yang selalu pandai memasak segala jenis makanan, aku hanya bisa memasak resep-resep sederhana. Keahlianku hanyalah memasak sebangsa sayur kuah bening atau sayur asam yang berisi bayam, kacang panjang, dan sejenisnya. Aku juga cukup mahir membuat sayur bersantan, tetapi tidak cukup handal untuk memasak makanan-makanan sejenis soto dan rawon. Memasak keduanya cukup merepotkan bagiku. Namun, tidak bagi nenekku. Beliau mampu memasak segala jenis makanan dengan mudah seperti keahlian itu sudah mendarah daging di dalam dirinya. Jika ada yang bertanya apa keahlian luar biasa nenek akan aku jawab dengan memasak. Selain menjadi istri yang baik dan ibu yang melahirkan banyak anak dan cucu dan buyut dan cicit.
Seumur hidupnya nenek adalah ratu rumah tangga. Beliau menghidupi urusan-urusan domestik sementara kakek berjuang sepenuh tenaga untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kakek dan nenek tidak bisa dibilang makmur pada awal pernikahan mereka. Keduanya harus nunut atau menumpang di rumah eyang buyutku yang merupakan paman dari kakek di sebuah desa di Magetan, di kaki Gunung Lawu, hingga akhirnya mampu membangun rumah sendiri di tanah di sebelahnya yang sekarang ini kutinggali bersama nenek. Kehidupan pernikahan mereka dianugerahi delapan anak dengan satu meninggal ketika bayi. Ayahku adalah anak nomor dua. Sering kali ayah bercerita bagaimana susahnya zaman dulu. Untuk makan saja ayah harus berbagi makanan seadanya, seperti gaplek, ketela rebus, dan daun singkong dengan enam saudaranya yang lain. Berbeda dengan anak-anak sekarang yang cenderung egois, anak-anak zaman itu merasa mempunyai kewajiban untuk tepa selira atau saling pengertian. Mungkin sifat dari zaman lama inilah yang juga akhirnya menurun padaku; sifat pengertian yang kadang terlalu berlebihan sehingga mudah dimanfaatkan orang lain.
Konon rumah eyang buyut yang ditinggali oleh kakek dan nenek pada awal pernikahan mereka adalah rumah pertama yang dibangun di desa kami. Sebut saja desa kami bernama Jelok. Nama Jelok ini sendiri pun mempunyai kisah tersendiri yang cukup magis dan membuat siapa saja yang mendengarnya, khususnya aku dan saudara-saudaraku, merasa kami istimewa telah lahir dan besar di Jelok. Di Jelok inilah rumah eyang buyut kami dibangun dan menjadi saksi biksu perlawanan pribumi menghadapi penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Rumah itu masih berdiri kokoh hingga sekarang meskipun sudah dilakukan perombakan sedikit di sana sini. Seperti bangunan zaman lampau, rumah eyang buyut pun berbentuk seperti rumah-rumah Belanda kebanyakan dengan batu-batu besar yang ditata sebagai semacam bagian fondasi rumah dengan tiang-tiang penyangga besar sebagai salah satu ciri khas. Modelannya memang mengingatkan kita akan rumah-rumah Belanda di zaman penjajahan tetapi pemilihan pintu dan kusen jendela masihlah terasa sangat Jawa. Rumah ini tidak cukup jengki, tidak juga terlalu kolonial, dan juga tidak seutuhnya Jawa. Mungkin seperti orang-orang pribumi masa itu, rumah-rumah pun menunjukkan dual identitas. Kadang mereka terlihat pribumi. Kadang juga mereka lebih seperti Belanda. Masa perang membuat banyak orang, banyak tempat, banyak wajah bersifat mendua.
Aku tidak keberatan dengan pencampuran identitas yang sangat nampak di rumah eyang buyut. Sebaliknya, aku malah menyukai pencampuran yang hibrid seperti itu. Ketika memandang rumah eyang buyut aku seperti terlontar ke masa-masa dahulu yang tak terbayangkan peliknya. Kata kakek dan nenek, ketika ada pasukan Belanda datang menyerang, eyang buyut putri pun ikut angkat senjata. Kisah itu diceritakan dengan begitu heroiknya membuatku selalu membayangkan seorang perempuan Jawa tulen memegang senapan besar dan mengokangnya sebelum menembakkannya ke arah para musuh dari sebuah bagian rumah yang kami sebut dengan panggung yang pada masa-masa seterusnya ruangan ini dijadikan tempat berternak ayam dan sekarang dibiarkan kosong hanya diisi sebuah meja dan lemari pendingin di salah satu sudutnya. Perang membuat siapa saja menemukan jati diri mereka. Eyang buyut putri mungkin sebenarnya berjati diri seorang pendekar yang tersembunyikan dibalik setagen[1], kebaya dan jaritnya. Terhimpit dalam perang semua orang bergerak ke batas-batas kesadaran mereka sehingga mampu melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Tak terkecuali rumah eyang buyut. Dia bertahan dari segala serangan, tidak peduli berapa banyak tembakan sudah diarahkan padanya. Rumah itu bersejarah dan penuh gairah.
Menjadi tidak mengherankan ketika di sini aku menemukan beberapa sosok Belanda yang masih sering berkeliaran di sekitaran rumah. Seorang noni Belanda bahkan kadang menunjukkan bahwa dia ada kepada beberapa orang yang berada di sini. Entah melalui mimpi atau dalam keadaan terjaga. Aku tidak tahu sejarahnya, tetapi kutaksir mungkin dia salah satu yang pernah menghuni di daerah sini. Tidak jauh dari Jelok ada beberapa rumah yang berjajar rapi berbentuk sangat kolonial. Bisa saja zaman dulu deretan rumah itu adalah pemukiman Belanda. Bisa juga rumah tempat tinggal eyang buyut sebenarnya adalah milik keluarga Belanda yang kemudian didiami oleh keluarga eyang buyut dan dirombak mengikuti selera mereka. Atau, bisa juga noni itu adalah salah satu musuh yang tertembak oleh senapan eyang buyut putri. Aku tidak pernah tahu. Yang jelas dia ada.
Aku pertama kali melihatnya ketika sedang duduk di sofa menekuni acara televisi pagi hari yang tidak begitu menarik. Saat itulah ketika aku mendesah karena bosan dan memalingkan muka dari televisi, aku melihat sekilas tanpa sengaja dari sudut mataku melalui jendela kaca ruang tengah, seseorang tengah duduk di ayunan di bawah pohon cemara yang sudah berumur cukup tua. Entah mengapa kakek menanam dan merawat pohon cemara di halaman rumah padahal tidak ada yang merayakan natal di sini. Identik sekali natal dengan pohon cemara, maka ketika kecil aku terheran-heran dengan pohon cemara milik kakek yang nampak sangat ganjil harus tumbuh di halaman rumah keluarga muslim.
Mungkin hanya halusinasi karena kurang tidur, bisikku pada diriku sendiri ketika aku melihat noni Belanda itu sedang duduk di sana sambil menekuni sebuah buku, entah apa. Aku kembali memandang ke layar televisi. Acara kini berganti dengan acara musik yang berisi orang bersorak-sorak. Aku tidak bisa fokus mendengarkan nyanyian sumbang si pengisi acara karena sosok yang sedang duduk di bawah pohon cemara nampaknya lebih menarik untuk diamati. Sekali lagi, mataku melirik ke arahnya. Kali ini dia tidak sedang menunduk membaca buku. Dia pun sedang memandang ke arahku. Wajah seorang bule yang berkulit putih pucat dengan rambut coklat keemasan menatapku balik. Ada sedikit senyum terbersit di bibirnya. Jantungku berdegup kencang. Itulah pertama kalinya aku mungkin melihat sosok selain manusia. Semenit kami saling berpandangan dan momen itu terasa sangat panjang bagiku. Aku seperti membeku dan tidak tahu harus melakukan apa, sampai nenek memanggilku untuk membantunya di dapur, aku mengedipkan mata sedetik dan ketika kucari sosok itu di bawah pohon cemara, dia sudah tidak ada.
***