Setelah sepuluh tahun berlalu tidak banyak yang berubah dari kota ini. Masih sepi, masih damai, masih tenang. Dan Jelok masihlah juga hening dan senyap. Atmosfer yang sangat cocok untuk menulis. Tetapi, tidak juga ternyata. Padahal, aku memang datang kemari dengan tujuan untuk mengembalikan kemampuan menulisku yang sepertinya sedang menghadapi writer block. Aku mendesah ke arah layar laptop-ku yang membuka ms words dan warna putih kertas masih memandangiku balik. Sudah lebih dari satu jam aku di depan laptop dan tidak ada satu kata pun yang dapat kutulis. Kalau begini caranya darimana aku dapat mencari nafkah? Aku hanya mampu menulis. Lantas jika tulisanku payah mana ada yang mau membaca dan matilah mata pencaharianku. Terdorong oleh rasa tertekan yang luar biasa, aku nyaris gila, dan malah tidak bisa menulis satu kata pun. Bahkan tidak ada satu ide pun yang mengalir ke dalam pikiranku. Tidak peduli seberapa banyak aku membasahi diri di dalam kamar mandi demi mendapatkan inspirasi, tidak ada satu pun yang terbayang. Aku bahkan akan menyerahkan diriku pada iblis jika aku bisa menulis lagi.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menulis. Aku bahkan akan melakukan apa pun, termasuk menjual jiwaku pada iblis jika aku bisa kembali menulis. Aku serius. Aku tidak mempunyai keahlian lain. Aku sangat kurang dalam berbagai hal. Aku sangat tidak berbakat dalam hal-hal lain. Aku sangat desperate … karena aku tidak bisa melakukan hal lain. Mataku nanar memandangi layar laptop yang masih kosong. Pikiranku kosong… kosong… kosong…. Tiba-tiba aku mendengar teriakan yang sangat kubenci. Teriakan ibuku. Teriakan ayahku. Jeritan-jeritan yang melebihi suara hantu mengerang di tengah malam. Atau, lolongan iblis di saat-saat tergila dalam hidup manusia. Suara-suara yang mendorong kegilaan muncul di dalam diriku. Dan, aku yakin seyakin udara yang kuhembus bahwa aku sudah gila meskipun tidak banyak yang tahu, kecuali noni Belanda yang muncul kembali di hadapanku setelah sepuluh tahun berlalu.
“Kamu sedang apa?” tanyanya dengan bahasa Indonesia dengan logat kaku khas orang Belanda yang sering ditirukan artis-artis di film lama yang kerap dibintangi oleh Suzanna cs.
“Ingin menulis,” sahutku, “tapi tidak bisa.” Entah mengapa mengobrol dengannya membuatku mempunyai logat yang hampir terdengar sama dengannya.
“Kamu jangan berpikiran macam-macam…,” ujarnya, “Aku bisa mendengarmu berpikiran yang aneh-aneh. Jangan pernah ingin berteman dengan setan… dengan iblis…,” aku memandanginya heran. Terlihat aneh karena sebenarnya sekarang ini aku sedang berteman dengannya yang sesosok hantu. “Aku bukan setan… bukan iblis… aku hanya tertinggal di sini… ini rumahku…,” dia mengerling ke arah rumah eyang buyut yang selama ini ditinggali oleh anak lelakinya dan istrinya beserta kedua anak lelaki mereka yang masih bersekolah.
“Aku hanya mengandaikan…,” dengusku. “Aku tidak bersungguh-sungguh.” Lanjutku. “Bersekutu dengan setan atau bahkan iblis adalah dosa di dalam agamaku. Tentu saja aku tidak akan melakukannya.” Aku nyaris terkekeh ketika nenek memanggilku dari kamarnya. “Nenek memanggilku…,” ujarku pada si noni yang mengaku bernama Anne. Aku beranjak dari kursiku diikuti oleh Anne yang berkelebat di belakang punggungku dengan gaun putihnya.
Sudah setahun ini nenek harus banyak beristirahat di tempat tidur karena kemampuan tulang yang mulai melemah. Nenek sudah berumur 80an dan tentu saja aku sangat bersyukur karena beliau masih menjaga tempat ini selama ini. Biasanya nenek akan berdua dengan seorang suster yang ditunjuk ayah untuk menemani nenek. Tetapi, karena aku memutuskan untuk tinggal di sini dalam kurun waktu yang belum bisa ditentukan si suster dapat beristirahat untuk sementara waktu karena ia tengah hamil lima bulan. Maka, di sinilah aku mengurusi segala keperluan nenek termasuk mengganti pampers, menyiapkan makan, dan membasuh tubuhnya setiap pagi dan sore. Tentu saja ini tidak mudah tetapi bukan berarti tidak mungkin. Aku bisa. Aku tahu aku bisa. Pengangguran sepertiku sudah selayaknya mendapatkan pekerjaan seperti ini; membalas budi baik nenek yang telah menimang-nimangku ketika bayi dulu dan ikut membuatkan susu cokelat untukku dalam botol dot.
Aku sedang mengganti pampers nenek dan membersihkan nenek dari tahinya sendiri ketika Anne duduk di ujung ranjang. Aku melirik ke arahnya dan dia tersenyum. Sebuah senyum yang tidak bisa kubaca maknanya. Ada apa dengan hantu satu ini?
“Ada seseorang datang kemari…,” ia tersenyum jahil.
“Siapa?” Bisikku, sebisa mungkin tidak membuat nenek curiga atau khawatir karena aku berbicara sendiri dengan udara kosong.