4 Mei 1998
Pukul lima pagi rumah keluarga Ismail perlahan semarak. Seperti biasa, Ismail akan memimpin salah subuh berjemaah. Setelah itu sang istri, Suci, akan mulai menyiapkan sarapan dibantu Melati dan Rahma. Bayu biasanya akan mengobrol bersama kaka tertua, Arya. Namun, belakangan kegiatan itu absen dia lakukan karena Arya, sejak semester lalu ngekos di dekat kampusnya di Salemba.
Bayu memilih mendengarkan siara radio selagi menunggu sarapan siap. Beberapa kali memutar siaran radio, topiknya tidak jauh dari demo besar-besaran di Medan, Bandung dan Yogyakarta akibat kenaikan harga BBM. Bayu tidak terlalu mengikuti isu-isu terkini tekait negerinya, tidak seperti Arya, tapi setidaknya dia tahu kalau belakangan banyak rakyat yang mulai jengah dengan pemerintahan Orde Baru hingga aksi protes menuntut adanya reformasi mulai masif di mana-mana.
Pip.
Siaran radio terputus, rupanya Ismail yang mematikan siara radio itu. Ismail sudah mengenakan seragam Yogya Mall Klender, pusat perbelanjaan yang tak jauh dari rumah mereka. Ismail awalnya merantau dari Solo dengan membuka toko batik di Tanah Abang. Usaha Ismail waktu itu berkembang pesat hingga berhasil membuka dua cabang lain. Sayangnya, resesi global yang terjadi membuat usahanya mulai lesu dan berakhir gulung tikar. Beruntung tetangga mereka yang bekerja di Yogya Mall memberitahukan adanya lowongan di pusat perbelanjaan itu. Ismail yang sadar akan tanggung jawabnya menafkahi anak-istri akhirnya mencoba peruntungan. Meski akhirnya diterima office boy, Ismail bersyukur masih ada pekerjaan yang tersedia untuknya yang sudah mulai memasuki usia senja.
“Pulang sekolah nanti langsung pulang, situasi di luar rumah sedang tidak kondusif,” kata Ismail menasihati Bayu.
Bayu hanya mengangguk saja.
“Sudah sana mandi, mumpung kamar mandi kosong,” ujar Ismail. Satu kamar mandi di rumah yang isinya tujuh orang—sekarang enam—memang kerap menjadi rebutan.