Selebaran itu ditempel di banyak tempat. Isinya jelas. Berita tentang kehilangan seekor anjing dan ke mana seseorang bisa menghubungi kalau melihat, atau menemukannya. Ini sudah hari keempat, tapi setiap telepon yang masuk tidak satu pun memberikan kabar memuaskan.
***
Kau melihatnya, Ibu ditemani kakak lelakimu, Steven, yang kau anggap tidak perhatian. Mereka membagi-bagikan selebaran di depan gereja tidak jauh dari wilayah taman tempat Riyo lepas dari pengawasan Ibu. Pemandangan itu membuat matamu panas. Tetapi, kau tak bisa mengalihkannya. Pandanganmu dari mereka.
Hanya ada satu titik kecil di dalam dirimu, yakni berharap mereka enyah dari sana. Entah bagaimana caranya. Namun, setelah beberapa saat, tak ada yang pergi juga. Malah sebaliknya, justru rasa sesal dalam dirimulah yang kemudian datang bertubi-tubi. Mendorongmu enyah dari kenyataan yang nyaris tidak sanggup kauhadapi.
Tak lebih dari pukul tujuh petang barusan, seseorang menelepon. Dia mengaku telah melihat Riyo di sekitar gereja, mengendus tempat sampah sebelum berlari ke arah samping menuju ke paviliun.
Orang itu amat yakin bahwa yang ia lihat adalah Riyo. Semua ciri-ciri yang ia sebutkan sama persis. Kecuali kaki kiri bagian depan yang sedikit agak pincang. Tampaknya karena luka baru. Bukan karena kondisi yang sudah lama. Hanya sangat disayangkan, orang itu lupa mengambil fotonya. Tetapi semua keterangannya sudah cukup mengidentifikasi bahwa peranakan shiba-inu dengan warna kuning keemasan terangnya adalah Riyo.
Seandainya panggilan itu masuk ke ponselmu, kau pasti tidak akan memberi tahu Ibu karena kini kau lebih mementingkan kesehatannya. Tetapi, semenjak Riyo hilang, dan kau memutuskan membuat selebaran itu, radar pendengaran Ibu seperti hanya tertuju pada telepon seluler masing-masing kalian. Setiap kali benda-benda itu berdering membuat Ibu siaga. Kecuali dirimu, seluruh keluargamu tak ada yang dapat menyembunyikannya dari Ibu.
Lagi pula bagaimana bisa. Ibu senantiasa hilir mudik dari sudut ke sudut. Mengikuti ke mana kalian pergi seperti bayangan. Sebab, kegelisahan yang menghantui Ibu tumbuh dari rasa bersalah yang tak habis-habis.
Tidak peduli seberapa sering kalian meyakinkan, bahwa Riyo pasti kembali, Ibu sama tidak yakinnya dengan siapa pun dari kalian sampai Riyo betul-betul kembali. Meringkuk di atas kasur atau sofa ruang keluarga sebelum kedapatan Ibu yang pasti segera mengomelinya. Atau, mengencingi bak sampah di depan pagar supaya tak ada anjing liar yang datang mengendusnya. Sehingga dengan tabah, Ibu menelan kebohongan yang pahit itu sambil terus merapal harapannya paling getas dalam hati.
Kau memutuskan pergi tak lama setelah Yeslin, kakak perempuan pertamamu terpaksa memberi tahu Ibu perihal telepon itu. Namun, seperti yang sudah kauduga—begitu pun saudara-saudaramu menduganya, kau tidak mendapatkan Riyo di sana pada saat itu juga. Firasatmu sama seperti yang keluargamu pikirkan, mungkin Riyo sudah tidak ada. Atau, ia yang tak mau kembali ke rumah keluarga kalian karena menemukan rumah yang baru. Mungkin saja, mengingat ini sudah hari keempat.
Riyo tahu jalan pulang. Kau sendiri telah mengajarinya dengan sangat baik. Sudah sering, semenjak Riyo bertumbuh, kau sengaja meninggalkannya di banyak tempat. Di gimnasium, GOR, atau kafe-kafe yang biasa kau kunjungi untuk berkencan dengan kekasihmu misalnya. Tapi, sejauh itu Riyo tak pernah tidak kembali. Bahkan suatu kali ia pernah pulang membawa teman, yang kemudian lebih cepat disusul majikannya sebelum kau maupun saudaramu berhasil membuat pemberitahuan di media sosial.
Paling jauh, kau pernah meninggalkan Riyo di Bogor. Di tempat sepupumu yang mencari nafkah dengan membuka jasa Salon Hewan Peliharaan. Kira-kira, itu tiga tahun lalu, atau mendekati empat. Kau ingat kapan persisnya. Kau hanya tidak mau membahasnya. Bahkan di dalam kepalamu sendiri.
Waktu itu kau sedang dalam kondisi yang amat kacau. Pertikaian dengan kekasihmu tak kunjung ketemu titik penyelesaiannya. Karena itu, kau berpikir hal tersebut pasti akan berimbas pada pemeliharaan Riyo tanpa memperhitungkan keberadaan keluargamu di rumah. Sehingga “kado” Natal yang terlambat itu, sengaja kau “titipkan” di sana.
Tetapi kau kecele. Bahkan sebelum kau berhasil menyadarinya, Riyolah yang menyambutmu pulang pada hari itu juga. Gonggongan Riyo yang membangunkan seisi rumah membuatmu merasa bodoh sepanjang waktu. Karenanya pula, kau berniat membawanya kembali ke Bogor. Kau menelepon sepupumu hampir tengah malam. Memprotesnya bagaimana Riyo bisa lepas dan sedikit memaksa agar ia mau datang ke Jakarta untuk mengambilnya kembali.
Sambil tertawa, dengan suara ketus sepupumu berkata, “Kau seharusnya bertanya sendiri pada anjingmu, kenapa ia memutuskan pulang ke rumah yang sudah membuangnya?”