Ibu pergi ke pet shop langgananmu yang baru buka. Ia mengamati ke dalam selama beberapa waktu sebelum akhirnya memutuskan masuk, lalu mengambil sebungkus biskuit anjing. Pelayan tokonya telah mengetahui perihal hilangnya Riyo. Ia membaca selebaran itu. Bahkan tanpa diminta ikut membagikan fotonya di Internet. Namun begitu, ia tidak bisa menghalangi Ibu memungut biskuit dari rak kemudian mencatat tagihannya ke atas namamu. Tapi yang ditinggalkan oleh Ibu adalah nomor ponsel June.
***
Seorang laki-laki pedagang kaki lima membetulkan adanya seekor anjing yang berkeliaran di sekitar gereja baru-baru ini. Ia melihat kaki depannya pincang. Tetapi tidak jelas, apakah anjing yang ia lihat sama dengan anjing yang ada di dalam foto di selebaran. Sewaktu kau menunjukkan video Riyo dari ponselmu, laki-laki paruh baya itu mengerutkan dahi.
“Bisakah Anda memberi tahu kami seandainya melihatnya lagi? Anda bisa menghubungi nomor-nomor ini. Semuanya aktif selama dua puluh empat jam. Tolong juga ambilkan fotonya. Kami akan memberi Anda imbalan,” Ibu berkata seraya memberikannya selebaran. “Ya,” jawab laki-laki itu dengan ekspresi yang tidak meyakinkan. “Tolong jangan ya saja. Dia sangat penting bagi kami.”
“Nyonya, saya bukan seorang pengangguran. Kalau kesempatan itu datang, saya pasti akan mengusahakannya. Tetapi, sebelum ia tiba, kalau jadi saya Anda pun belum tentu dapat memastikannya.”
“Saya mengerti. Hanya saja, tolonglah."
Kau semakin tidak yakin upaya-upaya ini akan memberikan hasil. Mendengar kata-kata memohon ibumu, kau disadarkan bahwa Riyo semakin menjauh dari jangkauanmu.
Kemarin, sewaktu kau baru pulang dari mencari nafkah, kau berbicara empat mata dengan Kristin, kakak perempuanmu yang kedua. Kata kakakmu—yang paling berpikiran realistis itu, polisi baru saja membongkar sindikat perdagangan daging anjing. Dia melihat beritanya di televisi pada pukul dua belas siang, “Ibu sedang di atas bersama Clayton, jadi tidak tahu ada berita itu.” Kau tidak tahu apakah mendengarnya—bahwa Ibu tidak mengetahui berita itu membuatmu merasa lega. Sampai kau kemudian mendengarnya berkata, “Tetapi anjing jenis apa pun bukannya tidak bisa dimakan. Orang hanya perlu memikirkan caranya saja.”
Di atas kandang Riyo yang kosong, ada sebungkus biskuit anjing yang masih utuh. Di sampingnya ada mangkuk alumunium tempat makan Riyo yang juga sama kosongnya. Semenjak Riyo hilang, setidaknya sudah dua kali kau melihat Ibu mencuci mangkuk itu tanpa pernah digunakan. Ibu bahkan mencucinya di wastafel, diam-diam, seakan-akan apa yang dilakukannya bukan sesuatu yang pantas hanya karena Ibu pernah berkata akan membuangnya.
Dulu, saat tahu berapa harga mangkuk itu sewaktu kau membelinya dari toko online, Ibu memarahimu habis-habisan. Meskipun kau menggunakan uangmu sendiri, bukan berarti kau bisa membelanjakannya seenakmu, kata ibumu dengan mata berkaca-kaca. “Kalau ayahmu masih ada,” imbuh Ibu sambil menahan sengguk di dadanya, “Kau tidak mungkin masih bisa bertindak sesukamu seperti ini.”
Waktu kau melihatnya, sejujurnya kau sedikit berharap bahwa ibumu telah membuangnya. Seperti saat kau menyeret dirimu dari kursi paviliun menemui Ibu, kau berharap bahwa pertemuan tidak sengaja itu bukan karena permasalahan rumit kehilangan binatang peliharaan. Melainkan karena malam itu malam Minggu, semua orang pergi ke taman kota. Tidak terkecuali ibumu. Tetapi, gara-gara Steven bersikap sinis padamu, kau tidak bisa tidak membalasnya. Steven berkata bahwa seharusnya Ibu tak perlu memohon-mohon seperti itu, karena yang dilakukannya bertentangan dengan prinsip mendiang Ayah.
“Itu karena kau membiarkannya pergi?” katamu dengan marah.
“Aku? Kau pikir ada yang bisa menghalanginya pergi hanya karena Ibu mengalah padamu?”