Yang Tenggelam di Dasar Kenangan

Herman Trisuhandi
Chapter #3

June

Bagaimanapun, ada banyak jalan pulang. Ada banyak cara untuk pulang. Akan tetapi, siapa pun akan pulang apabila memang mau. Demikian kau berpikir. Pada akhirnya.

***

Selama beberapa waktu kau mengira Ibu akan terus membisu. Adakalanya kau merasa itu jauh lebih baik. Akan tetapi, setelah kau memikirkannya lagi, kau menyesali sikapmu yang tak memperhatikan ibumu, sewaktu kau berdebat dengan Steven pada malam itu, kau seharusnya mengalah. Kau bisa mengalah. Tetapi kau tak mau.

Kau teringat dengan Ibu sewaktu mengelus-elus punggungmu setiap kalian berdebat. Kau juga mengingat Ibu melakukan hal yang sama pada Steven. Tapi sambil mengelus-elus punggungnya, mulut Ibu akan mengeluarkan banyak kata yang seringnya tidak cukup kau mengerti. Bukan pada kalimat-kalimatnya yang membuatmu bingung. Akan tetapi, kenapa Ibu tidak seperti itu juga setiap kali ia mengelus punggungmu saat kau marah. Kau ingin tahu apa yang dikatakan Ibu padanya. Karena itu membuat Steven terlihat gembira sesudahnya dan bersikap baik lagi padamu, seakan-akan ia tidak baru saja hampir menelanmu hidup-hidup.

Seperti contohnya sewaktu ia menggores pahamu menggunakan pisau pramuka. Raungan tangisanmu bahkan masih bisa kaudengar hingga kini tiap kali ingatan tentang hari itu muncul ke permukaan. Hari itu sehari setelah Imlek. Kau mengambil seluruh atribut Pramuka milik Steven karena ia sudah tidak menggunakannya lagi. Bahkan ia tak pernah menggunakannya, katamu. Benda-benda itu hanya tersimpan di laci meja dapur dalam bungkusan keresek begitu saja. Steven memilikinya tanpa pernah menggunakannya mengingat ia lebih memilih mencari uang ketimbang ikut kegiatan di luar jam sekolah. Tapi Steven tidak mau memberikannya padamu. Khususnya belati kecil berwarna perak yang bahkan lebih tumpul dari garpu. Tetapi Steven mengasahnya dengan batu bata dan air. Teman-temannya memberi tahumu kalau ia pergi ke rel kereta api suatu siang. Menunggu kereta lewat dan ia meletakkan pisau kecil itu di atas relnya. Padahal teman-temannya yang lain menggunakan paku. Tetapi Steven membawa benda lain yang tak mereka pikirkan sebelumnya. Itu brilian, kata teman-temannya padamu.

Mendengar hal itu ayahmu tidak percaya. Sebetulnya kau pun begitu mengingat belati pramuka seharusnya bukan dibuat sebagai benda tajam dan dapat diasah. Namun, di luar perkiraan, yang kau lihat memanglah demikian. Steven membuat benda itu bisa digunakan untuk memotong dan pada akhirnya, karena saking kesalnya padamu ia menggores pahamu, lima belas senti dari atas lutut dengan posisi melintang sewaktu kau memanjat pohon jambu di pekarangan belakang.

Kau memang tidak hanya menangis tersedu-sedu. Tetapi, membuat pembalasan setimpal dengan merobek baju seragamnya sembari memaki-maki di depan saudari ibumu yang pada waktu itu datang untuk merayakan ulang tahun Ibu yang terlambat dua hari. Karena mengetahui bagaimana perjuangan Steven turut menghidupi kalian, rasa tidak percaya bibi-bibimu, dan ayahmu maupun Ibu, membuat bibi-bibimu malah balik memarahimu. Mereka menganggapmu kasar dan berani. Lalu, salah satu di antara mereka menyalahkan Ibu karena menganggapnya telah memanjakanmu. “Apakah itu yang diajarkan ibumu? Anakku juga bersekolah di sekolah swasta, tapi ia tidak mendapatkan pelajaran merobek baju saudaranya yang lebih tua seperti itu.”

Waktu itu, setelah mendengar bibimu berkata seperti itu di hadapan Ibu, kau pergi ke pekarangan belakang. Diana membantumu mencari becikot di sekitar rumpun pohon pisang. Karena itu musim penghujan, bekicot terlampau mudah  untuk ditemukan. Dengan telaten, Diana memecah bagian ujung cangkangnya yang runcing. Lalu menetes-neteskan air yang keluar dari situ di atas goresan lukamu sebagai obat. Kau meminta Diana membebat lukamu dengan kain, tapi kakakmu itu menolak. Katanya, jika itu dilakukan justru akan berakibat sebaliknya. Lukamu akan semakin parah. Dan seekor bekicot yang ia korbankan tidak akan berfungsi apa-apa. Kau menurut dengan apa yang dikatakannya lalu kalian pergi ke rumah tetangga untuk numpang menonton televisi.

Adakalanya, kau merasa seperti mendapat kutukan setiap kali mengingat hal-hal memilukan di sepanjang hidupmu di masa lalu. Tidak apabila semua detailnya begitu terang. Seakan-akan setiap satu kali ingatan adalah bahwa kau tengah mengulang kembali peristiwa-peristiwa tersebut di hari itu. Ditambah pula, Diana selalu ada di situ. Di setiap kesempatan yang membuat hidupmu nelangsa. Membuat perasaanmu terkait hal itu tak tergoyahkan.

Dua malam yang lalu, sewaktu Steven mengusirmu dari dalam mobil saat pulang dari taman kota, Diana ikut turun bersamamu, meskipun pada saat kau berdebat dengannya, ia bersikap seolah-olah tak mau ikut campur.

Kau memandangnya agar ia kembali ke dalam mobil Steven sebelum terlambat. Tapi kemudian Diana berkata, “Jangan merasa bisa sok sendirian. Aku akan tetap bersamamu. Dan kalau kau mau, kita bisa kembali ke gereja. Batere hapemu masih cukup, kan?”

Lihat selengkapnya