Sampai kapan kau masih ingin di sini, aku tak akan keberatan menunggumu.
Tim.
***
“Apa kau sudah ingin pulang sekarang?” katamu. Saat itu hampir pukul satu dini hari, taman kota sudah sepi. Lampu warna-warni itu mulai hening walau tak ada tanda-tanda bahwa ia sudah lelah juga. Adakalanya kau mendengar suara bisikan sewaktu ada angin berdesau. Atau suara orang tertawa. Di beberapa sudut, kau melihat beberapa hal masih berserakan. Kepalamu sudah penuh dengan segala ingatan yang mencuat dari dasar masa yang telah lampau. Dan lebih banyak lagi ingatan-ingatan serta keinginan yang timbul, membuatmu semakin merasa tak berdaya.
Kau mengirim pesan pada Kristin, bertanya apakah Ibu sudah tidur? Yang membalas pesan adalah Piyus, belum, katanya. Yang benar saja? Ya, memang. Tolong, kau memohon, beri tahu ia agar segera tidur. Kalau Ibu mau, Tim. Kali ini Kristinlah yang membalas. Memangnya apa yang sedang kalian lakukan? Kami? Bukan kami Tim. Kau tahu siapa? Dan tolong jangan membuat keributan lagi.
Kedua matamu menatap lekat-lekat layar ponsel. Pada satu sisi kau menyesali tindakanmu, tapi pada sisi lainnya kau tak bisa mengabaikan niatmu untuk lebih memperhatikan Ibu. Kau ingin mengetik hal yang lain. Yang ada di kepalamu juga untuk menerangkan bahwa kau tidak sedang mencari keributan. Namun, setelah kau menyadari makna dari kata-kata yang ditulis kakakmu itu, kau pun mengurungkan niatmu. Kau mematikan ponsel dan mengantunginya lagi.
“Aku? Apakah aku ingin pulang? Yang benar saja. Kau sendiri, bagaimana denganmu?”
“Tergantung dirimu saja. Kau ikut pergi bersamaku tanpa bertanya lebih dulu. Jadi, kali ini aku yang akan mengikutimu.”
“Kalau begitu, kita tidak harus pulang sekarang juga.”
“Ya, memang. Tapi, apa kau tidak lapar?”
“Tidak terlalu. Kalau kau lapar, kelihatannya masih ada warung yang buka. Kita bisa pergi ke sana.”
“Ya,” katamu. Lalu kalian pergi ke warung yang sama di mana Ibu telah memohon sambil menunjukkan foto Riyo. Warungnya mau tutup, tetapi saat kalian datang, pemiliknya tak keberatan bertahan sebentar lagi.
***
Sewaktu kau pergi ke pet shop untuk melunasi tagihan belanja Ibu, pelayannya yang agak juling bertanya padamu, apakah Riyo sudah ditemukan? Kau menjawab hanya dengan gelengan kepala. “Beberapa temanku mengira kalau ia adalah salah satu anjing majikanku, sewaktu aku ikut menyebarkan berita kehilangannya di internet. Aku bilang bukan. Tapi mereka bilang akan ikut membantu,” kau tersenyum mendengar kata-katanya yang terdengar tulus dan berkata, “Terima kasih banyak.” Gadis itu menjawab agak gugup, “Sama-sama.”
Sebelum kau pergi, pelayan itu memberi tahumu bahwa ia melihat Ibu saat membawa Riyo ke taman. Sebetulnya kau tidak ingin tahu juga. Kau tidak mau mendengarnya berbicara mengenai Ibu. Atau, siapa pun membicarakan Ibu. Kau tak mau. Kau tak suka orang luar membicarakan Ibu karena membuatmu merasa buruk. Bahwa seseorang yang membicarakan Ibu, berarti ia adalah orang yang sangat memedulikan ibumu. Saat ada orang lain yang memerhatikannya, seolah-olah itu karena kau tidak memperhatikannya.
“Kami bertemu di halte saat aku baru turun dari bis. Ibumu sedang duduk di sana sambil mengipas-ngipas. Kami berbicara sebentar. Saat kutanya apakah ia pergi bersama kakakmu, dia menjawab tidak. Dia bilang hanya pergi dengan Riyo. Aku menawarkan diri menemaninya sampai ke taman. Tapi ibumu malah tertawa dan berkata seperti ini (gadis itu menirukan suara Ibu, kau tertawa hanya untuk menghargainya dan bukanya karena ia terlihat lucu atau mirip dengan ibumu) ini hanya taman, dan kalau aku sampai kesasar, itu namanya dia taman yang kurang ajar sama orang tua. Tetapi yah ... selain anjing, taman juga satu-satunya tempat yang tidak akan mengecewakan orang tua.”
Agak lama kau menatapnya dan membuatnya tampak semakin grogi. Tapi untuk melenyapkan desakan perasaan itu, ia tersenyum dan meneruskan kata-katanya.