Yang Tenggelam di Dasar Kenangan

Herman Trisuhandi
Chapter #6

Berhentilah Mengingatnya, Kumohon

27 Desember, setahun kemudian. Bis terakhir yang kau tunggu datang terlambat. Bahkan, waktu itu lebih sering terdengar bunyi panggilan dari ponselmu ketimbang suara bis yang lewat. Malam itu, kau memutuskan tidur di tempat kawanmu, karena kau merasa itu akan jauh lebih baik setelah kau tak datang ke perayaan ulang tahun Ayah ke-61. Sehingga esok, ketika Ayah memarahimu, kau juga akan merasa lebih baik ketimbang harus menelan kenyataan pahit tentang apa yang kau alami semalam.

Selama beberapa hari, Ayah tak mengajakmu bicara. Bahkan bakpao manis yang kaubuat bersama Ibu sebagai ungkapan permintaan maaf tak disentuhnya sama sekali.

Grace bilang, Ayah menyembunyikan sepotong bakpao dan memakannya diam-diam. “Hitung saja jumlahnya kalau kau tak percaya.” Tapi, baik dirimu maupun Ibu tidak menghitung berapa jumlah bakpao yang kalian buat. Waktu itu, kau hanya berpikir untuk menjualnya sebagian, karena dengan jumlah sebanyak itu—kira-kira dua panci besar, keluargamu tak akan sanggup menghabiskannya sendirian. Steven tak pernah suka bakpao manis. Dia hanya makan bakpao daging—dan kau tidak tahu kalau Ibu diam-diam membuat bakpao isi daging hanya untuk diberikan pada Steven. Jumlahnya tujuh buah. Bentuknya sedikit lebih besar daripada bakpao manis buatan kalian. Ibu sebetulnya tidak membuat perbedaan itu terlalu mencolok. Bahkan ia tidak memberi tanda spesifik hanya agar tidak tertukar dengan bakpao manis. Namun begitu, dengan cara-cara yang amat sulit didedah, Ibu dapat memisahkannya di antara bakpao manis dan yang spesial—yang isi daging untuk Steven tercinta.

Di meja makan, waktu Steven memamerkan bakpao daging itu pada kalian, ibumu berkata bahwa ia tidak akan membuatkannya bakpao lagi kalau ia bertingkah seperti itu terus. Sementara tangan Ibu yang kering dan kemerahan, mengingatkanmu dengan tangan June yang sama kering dan merahnya ketika ibumu mencubit perut Steven yang menonjol. Karena itulah kau cepat-cepat menghabiskan makananmu dan menyingkir. Sebab, kau tak mau berlama-lama melihat tangan Ibu. Kau tak bisa menahan ingatan yang amat menyiksa.

***

Kau tidak tahu jenis pakaian apa yang dikenakan June. Itu bukan sesuatu yang kuno maupun sebaliknya. Kau, hanya bingung mau mengatakan apa karena tumpukkan baju—semacam gaun sederhana dengan kardigan, lalu sepatu gunung warna lumpur dan topi rajut warna ungu dengan hiasan bunga matahari di atasnya. Kombinasi itu membuat kepalamu sakit. Kau hanya sedikit menyadari bahwa June, wajahnya tidak berbedak. Kecuali ia memakai lipstik merah menyala dan rambutnya, kau juga agak lama menyadarinya, dicat warna pirang. Kau berpikir, mungkin saja June baru memakai rol rambut semalaman, sehingga rambut panjang melewati bahunya menjadi lebih ikal dari sebelumnya. Dan cat kuku warna-warninya, kau, seakan-akan belum pernah berhadapan dengan June dalam karakter film yang ia tonton. Walaupun kau tidak bisa melupakan Kate Winslet yang mengesankan dalam Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Tapi kau juga memikirkan Naomi Watts. Hanya saja di film yang mana. Beberapa waktu yang lalu, ia menunjukkan foto Marsha Timothy dengan rambut pendek merah menyala. Film itu adalah Merah Itu Cinta.

“Ini gaya Marilyn Monroe,” kata June.

“Wah.”

“Aku melihatnya di sebuah majalah lama. Aku pergi ke kompleks toko buku bekas baru-baru ini dan melihatnya ada di sampul depan.”

“Terus kau membeli majalah itu?”

“Sayangnya tidak. Aku hanya mengingatnya baik-baik. Padahal aku bisa memotretnya dengan ponsel. Tapi aku lupa. Pacaramu lupa punya ponsel yang ada kameranya, Tim!”

“Itu bukan masalah besar. June. Pacarku. Yang jadi masalah adalah kalau kau lupa bahwa aku ini pacarmu.”

June menatapmu lekat-lekat. Lama. Dan kedua matanya berbinar. “Kurasa kau mengutip seseorang.”

Kau menggeleng. Tidak yakin.

“Sungguh. Kata-kata itu tidak asing. Hanya saja aku lupa film apa. Sayangnya, aku juga tidak membawa ke mana-mana pin-up milikku. Jadi aku tidak bisa memastikannya.”

“Apakah itu mengganggumu? Kalau ya, aku akan menarik ucapanku dan menggantinya dengan yang lain.”

“Wah. Itu mana boleh. Di keluargaku, hal-hal semacam ini pantang dilakukan. Apa-apa yang sudah kau keluarkan tidak bisa ditarik lagi.”

“Ya, kurasa keluargaku juga begitu.”

“Terus, kenapa kau bisa berpikir begitu?”

“Kurasa, kau tahu alasanku, June.”

“Alasanmu konyol, Tim.”

Kau diam dan tidak membalas karena kau tak tahu harus mengatakan apa. Kau tidak suka berdebat dengannya. Atau dengan siapa pun. Kau hanya mau berdebat dengan Steven sebagai upaya untuk menunjukkan pada kakak lelakimu bahwa kau berani mengutarakan isi kepalamu yang seumur hidup diabaikannya. Jadi, karena saat ini yang tengah berbicara denganmu adalah kekasihmu, kau hanya memilih diam. Membiarkan June menggerutu sambil menyiapkan tablet untuk mendengarkan film.

Beberapa waktu tablet itu ngadat. June mendiamkannya semalaman karena berpikir cara seperti itu akan membuatnya kembali normal. Tapi ternyata tidak. Ia lalu membawanya ke tukang servis dan menunggunya selama dua jam. Di sana, selama menunggu, June diizinkan memutar film dari Compact Disc miliknya. Tapi, begitu June malah duduk membelakangi televisi tabung dua belas inci yang digeletakkan di atas konter kaca itu, si Tukang Servis tampak menyesali sikap baiknya. Ia mengira kalau June kurang waras.

Tapi gara-gara itu, tablet milik June selesai dengan waktu yang tepat. Tak perlu menginap di tempat servis dan kengototannya untuk menunggu akhirnya dimaklumi si Tukang Servis. Yang sekali-sekali ia menoleh tukang cukur di kios sebelah sambil meletakkan jari dengan posisi miring di jidatnya.

June agak tersinggung pada mulanya karena sikap si Tukang Servis seperti sengaja tidak ditutup-tutupi. Tapi setelah ia mendapat diskon yang amat tinggi, ia merasa tidak perlu mempermasalahkannya karena ia mendapatkan keuntungan yang sebanding.

Sebetulnya kau tidak tertarik sewaktu June bercerita. Lebih suka, kau ingin membahas perkembangan Riyo dan bagaimana sikap orang rumah terhadapnya. Kecuali ibumu. Walaupun kau tetap dalam rencana semula, berkata bohong bahwa Ibu tidak keberatan dan sama antusiasnya dengan yang lain menyambut Riyo.

Karena kau tidak mau memotong dan mengganti topik, kau memilih menunggu June selesai bicara. Lalu kau berkata seperti ini, “Wah, dua jam itu lama sekali,” hanya agar tampak bahwa kau tertarik dengan topiknya. Lalu June menimpalimu. “Tidak juga. Eh, malah tidak lama sama sekali. Itu waktu yang normal. Proses operasi yang dilakukan dokter bedah juga bisa ditunggu. Jadi secara umum, proses memperbaiki alat elektronik yang rusak juga seharusnya bisa ditunggu. Kurasa, itu hanya akal-akalan tukang servis saja yang mengharuskan klien menginapkan barang rusak mereka yang ingin diperbaiki. Kecuali memang harus ganti komponen tertentu yang tidak ada. Tapi kalau memang keluhannya bisa ditangani hari itu, kenapa harus mengulur waktu.”

“Ya, kurasa sih tidak mengulur-ulur waktu,” sahutmu hati-hati. “Alasan mereka macam-macam. Kau sendiri bilang kalau memang keluhannya berat dan butuh komponen yang mereka tidak punya. Kalau kasusnya seperti ini sih sudah jelas harus menginap. Tetapi, yang paling jelas ialah, tukang servis itu tidak hanya harus membetulkan barangmu saja.”

“Ya, tapi tetap saja. Sudahlah, kita tidak harus membicarakannya terus. Sekarang ini, aku lagi kangen Riyo.”

“Aku tidak.”

Lihat selengkapnya