Kalau kau diam saja, kau akan ketinggalan banyak hal. Kata-kata Ibu tak berhenti menggema di dalam kepalamu. Meskipun kau memasang penyuara kuping dan mendengarkan musik. Meskipun kau memaksa Ibu berbicara hal yang lain. Tetapi suara Ibu yang menegurmu, seperti tak mau hilang dengan cara apa pun. Di mana saja suara Ibu ada. Seolah-olah melekat di banyak benda, mengisi setiap ruang.
Hari begitu panas. Padahal mendung hampir saja menidurkan hari. Kau berjalan hilir mudik di depan AC. Ibumu bilang AC-nya ngadat lagi. Tapi kau tahu bukan karena itu. Steven sengaja mematikan AC karena tagihan listrik membengkak bulan lalu. Ia memang hanya diam. Tapi tidak juga membicarakan hal tersebut untuk dicarikan solusinya bersama-sama. Lalu kau berbicara dengan ketiga kakak perempuanmu. Bukan hanya mereka, Grace dilibatkan juga untuk mengantisipasi kesalahpahaman.
Yang hendak kau bicarakan ialah soal tagihan listrik. “Bagaimana dengan suami kalian?” kata Grace kepada Yeslin dan Kristin. “Bagaimana pun, kalian hendak menggunakan uang mereka. Ini bukan soal keberatan atau tidak keberatan, kalian berbicara seperti ini denganku, tanpa melibatkan Ibu dan juga Ayah, sudah pasti kalian hanya ingin permasalahan ini diselesaikan antara kita saja. Aku mengerti,” Grace menghentikan Yeslin yang hendak memotong kalimatnya. “Aku paham dengan apa yang hendak kalian lakukan. Tetapi, suami kalian berdua kurasa juga harus dilibatkan. Mereka harus diberi tahu tentang ini. Aku tak mau justru mereka yang salah mengerti. Bagaimana pun, aku juga mengenal Andreas dan Piyus sama baiknya seperti kalian berdua. Hanya saja, harus kalian pahami. Yang hendak kita rundingkan adalah soal uang. Itu hal yang sangat riskan. Tak boleh ada yang ditutup-tutupi. Sekecil apa pun pengeluarannya suami kalian harus tahu. Apalagi, pengeluaran dadakan ini sifatnya untuk kepentingan banyak orang. Jadi, mari kita bicarakan lagi setelah kalian berbicara dengan suami kalian.”
“Tapi masalahnya sudah seperti ini. Bagaimana jika Ayah dan Ibu tahu?” ujar Yeslin sambil menekan sengguk dalam suaranya.
“Kau tak perlu khawatir. Aku akan menyalakan AC-nya.”
“Kak, jangan ribut dengan suamimu hanya karena masalah ini.”
Grace tersenyum untuk pertama kalinya semenjak kalian berbicara diam-diam di balkon. Di lantai atas. Menyingkir sejauh mungkin dari Ayah dan Ibu, yang entah mengapa, kuping mereka mendadak jadi sensitif kalau ada pembicaraan yang berkaitan dengan masalah keluarga.
“Tidak perlu pakai ribut.”
“Kak ....”
“Tenang saja.”
***
Kau berbaring dengan mata menerawang di dalam kamar. Penyuara kuping itu masih menyumpal kupingmu. Suara-suara yang mengalun kadang terdengar seperti suara kereta. Kadang terdengar bunyi peluit. Kadang terdengar suara kondektur bis menagih ongkos pada penumpang.
Dengan mata yang susah sekali dipejamkan, kau bertanya-tanya dengan heran, kenapa masalah-masalah seperti itu mudah sekali diselesaikan? Masalah-masalah di dalam rumah yang setiap kali muncul terasa seperti memecah belah setiap orang.
Kau tahu, kakak iparmu pasti akan memaksa Steven dan mengomelinya kalau ia mempersoalkan masalah tagihan listrik lagi. Masalahnya, bahwa ia menanggung lebih dari setengah tagihan air dan listrik adalah karena kemauannya sendiri. Pada saat tagihan listrik membengkak, semua orang juga menambah jumlah uang patungan mereka. Jadi, keliru apabila ia memutuskan sepihak mematikan AC. Sehingga, mudah bagi Grace menunjukkan kekeliruannya. Sehingga lagi, masalah-masalah seperti ini lebih cepat beresnya. Sementara masalah yang kau hadapi dengan June, kau berpikir seharusnya sama mudahnya juga. June hanya perlu mengangkat telepon. Atau menghubungimu balik. Minimal mengirim SMS. Sehingga masalah-masalah kurang komunikasi semacam ini seharusnya tidak usah menjadi masalah serius.
June, pikirkanlah baik-baik.
Diana meneleponmu sekitar pukul dua siang. Itu tak lama setelah kau selesai berunding dengan kakak ipar dan kedua kakak perempuanmu yang lain. Dalam teleponnya yang singkat, Diana menanyakan apakah June jadi datang hari ini? “Kemarin dia kirim SMS, sudah menyiapkan kado untuk Ayah. Dia seharusnya datang sebelum pukul dua belas. Tapi jalanan sedang macet parah, kan? Jadi, June pasti terlambat gara-gara itu.”
Sambil memikirkan kenapa ada masalah-masalah yang mudah beres dan ada masalah-masalah yang tidak mudah beres, kau terbayang pada hari di mana kau dan June pertama kali membahas soal kunjungan ke rumah. Untuk pertama kalinya kau memikirkan popok setelah sebelumnya benda itu hanya berseliweran di depan matamu. Kau tidak merasa heran kalau benda itu hampir tak pernah muncul di dalam kepalamu. Tapi semenjak percakapanmu dengan June pada waktu itu—sewaktu berkendara sambil menyimak film yang diputar dari tablet June, benda itu mulai ada di kepalamu yang sejauh ini lebih banyak terisi dengan tugas-tugas kampus beserta tuntutan-tuntutan Ayah agar kau cepat lulus dan hasilkanlah uang sebanyak mungkin.
Awalnya terasa aneh, bagi pemuda lajang memikirkan popok adalah hal di luar kebiasaan bagimu. Tapi kau juga berpikir bahwa itu mungkin salah satu cara pendekatan yang intens pada suatu hubungan. Jadi, kau mulai mengikis perasaan aneh itu. Lalu mencoba membiasakan diri.
Memang, yang kau lakukan bukanlah dengan memegang popok atau mencoba memakaikannya pada keponakanmu. Kau hanya memikirkan betapa normalnya memegang atau membicarakan popok senormal membicarakan salah satu kebiasaan atau adat istiadat di rumah pacarmu lalu menjadi akrab dengannya. Pokoknya hal-hal yang tidak ada atau belum ada di sepanjang hidupmu. Seperti misalnya, kebiasaan June mendengarkan film alih-alih menontonnya. Tidak jarang kau diselimuti perasaan waswas karena tindakan June kau nilai sebagai tindakan ilegal. Namun, setelah beberapa waktu kau menjatuhkan diri ke dalam kebiasaan itu, rasa waswas yang dulu senantiasa merambang-rambang di kepala dan dadamu mulai kehilangan pengaruhnya. Sehingga perlahan-lahan kau mulai mengabaikannya dan malah mulai menjadi bagian dari kebiasaan itu.