Seorang wanita petugas kebersihan jalan mendatangimu. Ia menyodorkan sebotol air mineral dengan wajah mengasihani. Kau menatapnya terheran-heran. Namun hal itu tak membuatnya urung mengasihanimu.
“Aku sudah sering memperhatikanmu belakangan ini. Kau tidak ke mana-mana sampai gadis itu datang, bahkan sampai kelaparan. Tak usah malu. Aku melihatnya dengan jelas. Ambillah. Dan jangan salah paham. Aku memberikanmu minumanku karena aku tak mau menganggapmu sesuatu yang harus kubersihkan dari jalan.”
Kau tersenyum sambil memungut air mineral di tangannya. “Terima kasih,” ucapmu.
Wanita itu mengangkat bahu. Dia terlihat seperti wanita yang galak. Dengan posturnya yang lumrah seperti perempuan paruh baya kebanyakan, dan wajahnya yang mengilap minyak membuatmu merasa sebaiknya menghindarinya setiap kali kalian berpapasan. Tetapi setelah mendengar suaranya yang mirip anak kecil, perasaan burukmu terhadapnya lenyap seketika.
“Kalau boleh tahu,” tanyanya kemudian seusai kau membuka tutup botol dan meminumnya. “Memangnya kau tidak meneleponnya? Kau sudah lama sekali menunggunya. Walau sudah terbiasa, kurasa tidak harus begini juga.”
Kau memandanginya, dan ia masih memandang mengasihanimu, seolah-olah ia tak mau tidak bersikap seperti itu padamu.
“Sudah. Dia bilang dia sedang ke sini,” jawabmu.
“Jalan kaki seperti biasa?”
“Ya.”
Kau meminum air mineral itu lagi sampai tinggal setengahnya. Berharap ia akan pergi. Tapi ia tak pergi juga.
Di seberang jalan, dua petugas yang lain duduk sambil—tampaknya, berbagi makanan. Kau ingin mengusirnya pergi dengan menanyakan apakah ia tidak makan seperti dua rekan kerjanya? Tetapi karena tak enak hati, kau mengurungkan niat itu meski kau juga tak merasa nyaman dengan keberadaannya. Dan sedikit lebih lama lagi, kau menyesali sikap ramahmu barusan.
“Ceritakan tentangnya.”
Kau terdiam. Perlahan-lahan raut mengasihani itu lenyap. Lalu muncul warna penuh tanya di sana yang membuatmu merasa telah berhutang budi.
“Apa yang ingin kau dengar?”
“Pertama-tama, siapa namanya?
“June. Namanya June.”
“Kalau namamu?”
“Timothius. Kau bisa memanggilku Tim.”
“Baiklah. Tim, kau sepertinya seusia dengan anakku.”
“Siapa nama anakmu, Bu?”
“Fikar.”
Kau mengangguk, lalu menghabiskan minumanmu.
“Kau tidak ingin tahu siapa nama lengkapnya?”
Tidak. Terima kasih. Kuharap kau pergi saja.
“Beri tahu saja. Aku senang mengetahuinya.”
“Namanya Zulfikar. Dia tinggal bersama adikku di kampung.”
“Di mana?”
“Di Jawa.”
Pergilah, Bu. Bukankah kau ingin pergi?
“Kau tidak ingin tahu apa pekerjaannya? Atau, di mana dia sekolah?”
“Sesungguhnya memang tidak. Karena aku tidak suka membicarakan orang lain saat sedang berbicara dengan siapa pun. Kecuali, orang yang kami bicarakan punya urusan dengan kami. Dan kalau kau tak keberatan, Bu. Ceritakan saja tentang dirimu. Aku lebih senang membicarakan itu ketimbang orang yang tak ada di sini.”
“Memangnya apa yang ingin kauketahui dariku?”