Yang Tenggelam di Dasar Kenangan

Herman Trisuhandi
Chapter #10

Tak Ada Yang Sesabar Steven

Ibu berkata dengan suaranya yang lemah lembut. “Jangan ada yang pergi dari rumah. Tolong, jangan buat ibu memohon.” Tidak, tak akan ada yang pergi, Bu. Percayalah.

Ibu berjalan hilir mudik dari sudut ke sudut. Terkadang Ibu juga duduk di balkon. Lebih sering, Ibu mengajak Clayton sambil memegangi tangannya erat-erat. Seolah-olah ia takut cucunya akan lepas dan tak akan bisa dipegangi kembali.

Setelah Steven berkata bahwa ia hendak pergi dari rumah, Ibu tak bisa menyembunyikan tangisnya selama beberapa hari. Terkadang Ibu berusaha melakukannya. Tapi tak bisa. Ibu tak pernah menangis kalau ada pertengkaran di rumah sebelumnya. Lebih sering Ibu bersikap tegar, menjadi peredam dengan kesabaran yang teramat luas. Tetapi saat Steven berdebat dengan Ayah dan membuatnya mengatakan bahwa ia lebih baik keluar dari rumah, Ibu hanya tak menjerit histeris dan berlari keluar mencegahnya. Sebagai gantinya, air mata Ibu merembes sepanjang waktu selama beberapa hari. Setelah masa-masa sulit yang mereka lalui bersama saat ia masih kecil dulu, Ibu merasa belum pernah membahagiakannya. Sehingga saat mendengarnya mengatakan kata-kata semacam itu, Ibu merasa bahwa hidupnya belum lepas dari kesengsaraan.

Air mata Ibu berhenti merembes saat Steven akhirnya menyadari kekeliruannya dan meminta maaf. Sambil memeluk Ibu, ia berjanji tak akan ke mana-mana. Namun, Ibu tak percaya begitu saja. Setiap malam, Ibu terbangun hanya untuk memastikan pintu kamarnya tidak terbuka dan ia bersama keluarga kecilnya masih ada di dalam sana. Lalu Ibu juga melongok ke kamarmu. Dan setelah melihat pintu kamarmu tertutup, Ibu berjalan pelan-pelan menuju ke sana. Di depan pintu, Ibu mengulurkan tangannya yang gemetar dengan hati-hati dan memutar selotnya. Kalau dikunci, menurut hemat ibumu, berarti kau pun berada di dalam dan tak ke mana-mana juga. Dan memang begitu, pintunya kau kunci dari dalam. Kau bahkan selalu mengunci kamarmu. Sejak kau menempati kamarmu sendiri, kau selalu menguncinya. Baik saat kau sedang di dalam, maupun saat kau tak ada di rumah.

Selama beberapa hari Ibu bangun pagi-pagi sekali, sebelum subuh dan hanya diketahui oleh Riyo. Napas Ibu naik turun tak beraturan, tapi ibumu berusaha untuk tidak membuat suara apa-apa. Sekali lagi yang dilakukannya ialah mengecek kalian semua masih ada di kamar masing-masing. Begitu pula dengan kamar-kamar di lantai atas. Menjelang tidur, Ibu juga akan memastikan kalian semua masuk ke dalam kamar masing-masing dan menjadi orang yang tidur paling terakhir. Ayah memintanya agar Ibu tidak melakukan hal itu terus. Bagaimana pun, kata Ayah, pertengkaran mereka sudah reda. Hari yang muram itu telah berlalu, jadi Ibu tak perlu mengkhawatirkannya lagi.

“Kalau kau begini terus, kau akan membuat Timothius berpikir kalau kita semua tidak menyukai temannya itu. Bagaimana pun belum setujunya kita, tak seorang pun yang membencinya. Jadi, tolong tidak menciptakan kesan seperti itu.” Ayahmu berbicara dengan pelan, sekitar pukul sepuluh pagi, tak lama sepulang mereka dari taman mengajak Riyo berjalan-jalan.

“Aku tidak membencinya,” kata Ibu dengan mulut gemetar. “Kita bahkan menerimanya dengan sangat baik,” ibumu menunjuk Riyo dengan mata berkaca-kaca. “Kita hanya belum siap membicarakan-nya saja.”

***

Meskipun semuanya telah kembali normal, tapi kebiasaan baru Ibu—tapi Ibu menolak disebut bahwa bangun pagi-pagi sekali adalah kebiasaan baru, lebih tepat ujarnya dengan sungguh-sungguh, Ibu hanya menjalani aktivitas semula yang pernah ditingalkannya tanpa sengaja, tak berubah juga. Kadang-kadang, Ibu tertidur lagi di sofa ruang tengah saat kalian semua sudah pada bangun dan memulai aktivitas. Kemudian suara dari dapur, atau deru mesin mobil Steven yang sedang dipanasi membangunkannya lagi. Dengan agak tergesa-gesa Ibu lalu menyiapkan teh dan sarapan untuk Ayah. Setelah itu, setelah melihat Ayah duduk dan mulai sarapan, Ibu pergi mengecekmu yang sedang siap-siap ke kampus. Ibu berdiri di depan pintu kamarmu yang terbuka setengah. Dengan amat hati-hati Ibu melongokkan kepalanya. “Apa kau akan sarapan di rumah?” kata Ibu saat kau menoleh. Kadang-kadang kau mengangguk. Tapi lebih sering kau menggeleng dan segera keluar kamar setelah menyambar tasmu di meja. “Apa kau mau pergi dengan Steven? Kalau mau, Ibu akan memberi tahunya,” ujar Ibu lagi selagi kau mengunci pintu.

“Tidak.”

“Apa uang bekalmu cukup untuk hari ini?”

“Cukup.”

“Betulkah?” kata Ibu, ia lalu merogoh kantung bajunya dan mengambil selembar uang seratus ribuan yang dilipat-lipat, kau diam saja saat Ibu menjejalkan uang itu ke tanganmu. “Ingatlah. Hati-hati kalau makan di luar. Ingat alergimu. Kalau lengah, apa saja bisa sangat mungkin terjadi. Makanan yang dijual di pinggir jalan juga mengandung ikan dan udang.”

Kau diam saja sambil memasukkan uang itu ke dalam kantung celana. Sebelum pergi, kau memberi makan Riyo terlebih dahulu. Ibu mengantarkanmu sampai di depan pintu meskipun kau juga tidak berpamitan. Biasanya, kalau melihatmu pergi begitu saja, Steven memarahimu. Sambil mengangkat tangannya, dia memaksamu untuk sekadar mengatakan kata-kata yang pantas pada Ayah dan Ibu sebelum pergi. Tapi kau tak pernah melakukannya. Kau memiliki cara yang lain dalam berpamitan. Yakni, membiarkan Ayah dan Ibu melihatmu pergi. Dengan cara ini, kau tak harus berhadapan dengan rasa canggung mengingat kalian tak memiliki kebiasaan seperti itu semenjak kecil dulu. Berpamitan dengan cara yang seperti Steven maksudkan misalnya.

Namun, berhubung kau dan Steven sama keras kepalanya, selama beberapa hari setiap pagi Steven tak terlihat muncul selain di mana ia memanaskan mobilnya. Ia menghindarimu. Walaupun saat terpaksa bertemu muka, ia juga tak akan berpaling dan hanya berekspresi seolah-olah kau tak ada. Begitu pula kau sebaliknya.

Sambil tersenyum-senyum, Ibu yang menyadari akan hal itu berkata bahwa di dunia ini tak ada orang yang sesabar Steven. Akan tetapi, tak seorang pun di rumah yang tak memahami jika kalimat-kalimat rayuan semacam itu sudah tidak berfungsi lagi. Bahkan di belakang Ibu, kau mendengar jika ketiga kakak perempuanmu saling setuju jika sikap Ibu yang begitu malah berkesan menganggap Steven kekanak-kanakan.

Kristin berkata pendek, dengan ekspresi wajahnya yang seakan-akan ia tengah menghina kakak lelaki pertama kalian, “Kata orang, sampai tua pun anak pertama akan terus menjadi bayinya ibu.”

Lihat selengkapnya