Seseorang menghubungimu lewat media sosial. Dia bilang bahwa dia telah menemukan Riyo. “Tolong rekamkan videonya,” pintamu pada orang itu. Tak lama kemudian, ia mengirimimu video. Durasinya kurang dari tiga puluh detik. Dalam pesannya, laki-laki itu mengimbuhkan, “Kondisinya parah. Malnutrisi. Dia juga banyak luka. Jadi, mungkin kau akan sedikit tidak mengenalinya.”
Sedikit atau banyak bukan masalah. Sejauh kau hanya melihatnya dari video, itu tidak cukup meyakinkanmu. “Kirimkan aku empat juta seperti yang kaujanjikan,” pinta laki-laki itu.
“Uang apa. Kami tidak menuliskan sejumlah imbalan dalam selebaran yang kami buat beberapa waktu lalu. Tapi kami akan memberikanmu uang kalau memang dia anjing kami. Tolong beri tahu alamatmu. Kami akan ke sana sekarang juga.”
Orang itu tidak membalasmu. Ia bahkan tak bisa dihubungi lagi. Sewaktu kau membalas bahwa kau tak menuliskan sejumlah uang imbalan, Steven menyuruhmu mengatakan padanya bahwa kau akan memberikan sejumlah uang yang ia minta. Yang tidak kau ketahui, pertimbangan Steven karena ia ingin menyudahi rasa bersalah Ibu seperti halnya dirimu. Tapi karena kau juga tak tahu maksud kakakmu, kau pun tidak setuju. Kau tidak mau orang itu salah mengerti, walaupun kau juga bersedia memberikannya imbalannya. Hanya saja tidak sebanyak itu.
“Aku akan membayar setengahnya kalau kau keberatan.”
“Masalahnya bukan itu, Kak. Anjing dalam video bukan Riyo. Laki-laki itu pasti mau menipu kita.”
“Apa kau yakin?”
“Yakin. Kurasa, kalau kita menunjukkan video ini pada Ibu juga ia akan memiliki pendapat yang sama. Ini sudah sepuluh hari. Di kota besar seperti ini, yang melihat Riyo pasti berpikiran mengambilnya untuk dimanfaatkan sendiri kalau ia tak mau repot mencari dan menghubungi pemiliknya. Percayalah, aku juga sudah mengirimkan video ini kepada dr. Gino, orang dari salah satu animal communicator yang kumintai tolong. Dan, ia sependapat denganku.”
“Ya, terserah kaulah. Tapi, kau mau apa sekarang?”
Aku mau apa sekarang? Selama beberapa waktu kau tidak membuat keputusan apa-apa. Kau juga tidak menjawab pertanyaan Steven. Di dalam kepalamu, pertanyaannya terus berkecamuk sehingga sering memengaruhi fokusmu. Kau berdiskusi dengannya untuk mencabut selebaran-selebaran yang ada di mana-mana. Termasuk menghapus informasi yang kausebar di Internet. Tapi jawaban Steven tetap sama juga, ia berkata seolah-olah mengatakannya sambil lalu, “Terserah kau saja”. Namun, saat kau berdiskusi dengan ketiga kakak perempuan dan kakak iparmu, Diana mengutarakan jawaban lain yang sependapat dengan jawaban semua orang. Diana berkata, “Biarkan saja.” Kau memandangnya minta diterangkan, karena kau yakin jawaban itu pasti tidak hanya terdiri dari dua kata saja. Dan benar. Setelah beberapa saat ia memberikan keterangan yang lebih rinci. Katanya, itu demi Ibu. “Kalau kita mencabut selebaran-selebaran itu, bisa-bisa Ibu mengira kita sudah tidak mau mencarinya lagi. Mungkin memang begitu. Tetapi, membiarkan Ibu paham sendiri bahwa kemungkinan yang terburuklah yang akan kita hadapi, kurasa hal itu akan mengurangi dosa kita padanya.”