Ternyata, membalas senyuman Ibu tak sulit dilakukan. Memang, dan mungkin itulah satu-satunya masalah yang dapat kaupecahkan. Tapi kau tidak menyadarinya.
***
Kau hampir tidak percaya, kau melewati angka dua puluh tujuh usiamu tanpa rasa takut terhadap apa pun. Sewaktu memasuki usia dua puluh, kau menulis doa-doa di selembar kertas dan memasukkannya ke dalam amplop-amplop berwarna merah. Setelah selesai berdoa, kau mengeluarkan kertas dari dalam amplop dan membakarnya. Kemudian mengisi amplop itu dengan selembar uang dua puluh ribuan sebagai simbol usiamu. Sebanyak dua puluh amplop itu lalu kau bagi-bagikan ke tunawisma yang sengaja kautemui di sepanjang jalan. Satu hari satu orang. Karena menurut aturannya tidak boleh dibagikan sekaligus.
Di dalam kertas yang kaubakar itu, isinya antara lain keinginan lulus kuliah sebelum kau berusia dua puluh empat tahun. Memiliki pekerjaan setelah itu dan menikah paling tidak sebelum usiamu dua puluh enam tahun.
Dulu, kau takut sekali kalau doa-doa itu tidak akan terkabul. Kau hampir menangis setiap kali mengingatnya lalu berdoa dengan amat khusyu pada tengah malam. Terkadang kau berdoa sampai pagi hingga kau terlihat seperti gembala yang sedang dalam jalan menuju Tuhan. Tapi kau tak mempedulikan apa yang tampak di permukaan, kau menginginkan keinginan yang juga diinginkan oleh banyak orang. Ayahmu. Ibumu. Kakak-kakakmu, termasuk ipar-iparmu. Sementara kau tak bisa membayangkan bagaimana kalau nanti kau mengecewakan semua orang: adik bungsuku yang membanggakan, oh adik bungsuku yang tampan, kenapa kau mengecewakan kami! Apa salah dan kurang kami sehingga melakukan pekerjaan mudah saja kau tak mampu! Adikku, adikku yang tampan, tidakkah kau lihat tanganku yang begitu kasar dan kapalan, tidakkah kau mencium bau pesing di tubuh kami karena ompolmu! Adikku, tangan kasarku karena aku telah menyingkirkan semua batu serta duri di jalanmu. Bau tubuh kami yang pesing ompolmu demi kau tak terganggu dengan fokusmu, oh ... adikku tampan! Tidakkah terpikirkan untuk menjadikan pengorbanan kami seimbang? Adikku yang tampan, Timothius yang gagah, berusahalah. Jangan kecewakan kami!
Karena rintihan-rintihan di dalam kepalamu itulah, kau tak mungkin bisa melewatkan ritual memohon dikabulkan doa-doa setiap tahun. Sepanjang tahun kau senantiasa diingatkan dirimu sendiri. Kau tak bisa lupa. Tak boleh lupa. Ritual memohon terkabulnya doa mengemban banyak harapan yang sebaiknya tidak kaupatahkan.
Di tahun ketiga, Ayah marah-marah padamu sewaktu mengetahui ritualmu itu. Padahal kau tak pernah memberi tahu siapa pun juga. Tapi kau menyadari betapa tipisnya dinding rumahmu, sehingga saat kau berdeham pun, seluruh keluargamu pasti dapat mendengarnya dengan begitu jelas. Ayah memintamu menerangkan semua hajadmu padanya. Semuanya, dengan superrinci, “Jangan ada yang ditutup-tutupi.” Berhubung Ayah sudah tak dapat teralihkan oleh topik apa pun, kau lantas menerangkan semuanya. Menjelaskan semua ketakutan-ketakutanmu yang di dalamnya terdapat harapan semua orang. Sewaktu kau berbicara, kau tak sengaja melihat Ibu sedang menatapmu. Wajahnya tegang, dan tatapanmu membalasnya seolah-olah kau mengatakan bahwa kau akan baik-baik saja. Kata-kata yang hampir tak pernah bisa kauucapkan setiap kali Ibu terlihat merasa khawatir terhadapmu. Sementara Ayah menyimak semua perkataanmu dengan begitu serius, seakan-akan di kepalanya, ia mendedah tiap kata-katamu agar dapat memahami inti dari permasalahanmu dengan begitu jelas. Begitu kau selesai bicara, Ayah berkata, “Ceroboh sekali! Tahu tidak yang kau lakukan itu tidak benar. Bukan begitu caranya. Kalau kau ingin membuat permohonan, lakukan dengan baik. Ikuti petunjuk dan aturannya.” Kau hanya diam, memikirkan siapa yang sekiranya mengadu pada Ayah. Tapi percuma, apa pun yang kaupikirkan juga tak ada gunanya. Sekarang semua orang tahu. Ibumu tahu. Kau berpikir, yang perlu kaulakukan adalah mengikuti kata-kata Ayah, dan jangan memedulikan orang-orang menertawakanmu karena pasti orang-orang tengah menertawakan tindakan konyolmu itu. Lalu, untuk memperbaiki kesalahanmu, Ayah berkata bahwa ia akan melakukan sembahyang leluhur.
Meskipun hal itu terasa berlebihan, tapi kau juga tak bisa merasa keberatan. Tak lebih dari seminggu kemudian, seluruh keluargamu berkumpul. Ibu bertanya pada Ayah, apakah perlu mengundang sanak family? Ayah berkata tak usah. Lalu semuanya sibuk mempersiapkan keperluan dengan saling terdiam. Itu bukan tanpa alasan. Ayah yang meminta agar semua orang puasa bicara. Ayah tidak menjelaskan maksudnya, tapi semua orang cukup mengerti. Walaupun hampir tak ada yang tidak menyembunyikan rasa keberatan mereka. Grace misalnya, dia berbisik diam-diam pada Yeslin saat mereka membersihkan ayam untuk persembahan bersama-sama. Dia bilang, bahwa Ayah seharusnya hanya cukup meminta semua orang tidak banyak bicara, “Karena cara seperti ini hanya mempersempit ruang gerak. Lihat saja, pekerjaan ini tak selesai-selesai juga hanya karena mulut kita dipaksa dikunci. Kita memang tidak bekerja menggunakan mulut. Tapi kita tetap membutuhkannya.” Yeslin hanya mengangguk. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi rasanya susah sekali membuka mulut. Dia begitu bukan karena rasa patuhnya terhadap Ayah, melainkan karena ia merasa tak sampai hati jika mengatakan sesuatu yang pahit tentang adiknya. Walaupun ia juga sama setujunya dengan kakak ipar, tapi ia merasa tidak seharusnya mengatakan sesuatu jika hanya akan memperkeruh suasana. Jadi dia berusaha meredam amarah kakak ipar yang tersulut. Mempercepat kerjanya agar cepat selesai. Tapi tiba-tiba Kristin membalas kakak ipar, “Kak, hati-hati kalau bicara seperti itu. Takut Ayah dengar.” Amarah kakak ipar pun jadi membesar, walau tidak sampai membuatnya meledak-ledak, tetapi ia tak berhenti menggerutu, hal-hal yang tak pernah terdengar sebelumnya pun akhirnya muncul. Kemarahannya hampir tidak bisa diatasi. Ketika persiapan sembahyangnya selesai, Ayah berkata jika puasanya pun selesai. Kakak ipar mulai menangis. Tapi selain Yeslin dan Kristin tak ada lagi yang tahu perihal apa yang membuatnya menangis. Steven menduga bahwa istrinya terharu selama prosesi sembahyang berlangsung. Tapi saat Ibu menatapnya, ketika sembahyangnya sudah selesai, kakak ipar mengalihkan muka.
Sampai beberapa waktu, sikap kakak ipar sedikit berubah. Ia menjadi jarang bicara, dan sekalinya berbicara, ia tak menghadap muka lawan bicaranya. Kadang-kadang Ibu bertanya-tanya, “Kau kenapa? Apakah kau sakit?” Kakak ipar tidak pernah menjawab Ibu selain bertanya balik, “Kenapa Ibu bertanya seperti itu?” Ibu tidak menjawab, sewaktu pandangannya tidak dibalas, Ibu menghela napas dan memilih berlalu.
Tapi kemudian Ibu masih mempertanyakan hal itu. Sekali-sekali Ibu bertanya padamu, “Apa kau tahu kakak ipar kenapa?”
“Tidak. Memangnya kenapa?”
“Lah, kau ini!”
“Lah, aku ini kenapa, Bu?” katamu pura-pura serius.
“Timothius, ibu sedang serius. Beri tahu ibu kalau kau mengerti sesuatu.” Ibu yang khawatir dengan kondisi kakak ipar, mulai putus asa dan betul-betul menaruh harapannya padamu. Saat ia bertanya pada semua orang rumah, jawaban yang Ibu dapatkan selalu sama. Bahwa mungkin kakak ipar sedang ada masalah dengan Steven. Tapi Ibu merasa yakin persoalannya bukan itu. Steven tak terlihat sedang ada masalah. Sementara Ibu juga yakin bahwa kau punya jawaban yang ingin didengarkannya.
Kau yang mulai mendapat kesan bahwa Ibu betul-betul serius berkata, “Bu, kalau Ibu sedang tidak serius pun, aku akan selalu menjawab pertanyaan Ibu.”