Yang Tenggelam di Dasar Kenangan

Herman Trisuhandi
Chapter #14

Aku Turut Berduka

“Kalau kau keluar dari sini, kau akan sulit menginjakkan kakimu lagi di sini.” Ibu berkata sambil bercucuran air mata. Steven memeluk kaki Ibu, begitu pula dengan kakak ipar. Seumur hidup, baru pertama kalinya kau menangisi kakak lelakimu. Dan kau pun menyesali dirimu yang pernah beranggapan bahwa Steven tiba-tiba saja ada di hidupmu hanya gara-gara ia tak pernah mengasuhmu. Saat kau memeluknya, kau memanggil dia kakak, dengan suara tulus yang nyaris tak kaukenali. Seolah-olah bukan dirimu yang memanggil-manggilnya. Tapi setelah kau memastikannya dengan baik-baik, tangismu tak bisa dihentikan lagi.

“Bu, maafkan aku.”

***

Tadinya kau mengira rasa takut itu sudah hilang. Tapi setelah kepergian Steven dari rumah, rasa takut yang tak bisa kaujelaskan pada dirimu sendiri menjadi hantu yang tak bisa kau usir begitu saja. Sekarang, di rumah besar itu ada dua tempat kosong yang mungkin tak akan diisi lagi oleh penghuninya yang lama. Juga tak akan pernah diisi lagi oleh siapa pun. Sewaktu kau memindahkan kandang Riyo, Ibu menatapmu dengan penuh tanya. Saat itu, Ibu tengah mengurut kaki Yeslin yang bengkak lantaran saat ini ia tengah mengandung. Usia kandungannya mendekati tujuh bulan. Kau pikir, Ibu pasti akan menanyakan hendak kau apakan kandang itu. Karenanya kau memikirkan jawaban bahwa temanmu lebih membutuhkannya. Sementara kau yakin, Ibu mulai memasrahkan kepulangan Riyo pada mukjizat mengingat kau sendiri hampir tidak pernah menyinggungnya lagi. Telepon-telepon itu juga sudah tidak ada lagi. Sekali-sekali, ketiga kakak perempuanmu menanyakan hal itu. Begitu pula dengan dua ipar lelakimu. Selain hanya mengangkat bahu, kau tidak memiliki jawaban lain. Tapi saat kau kembali ditanya terkait informasi di Internet yang belum dihapus, kau menjawab persis seperti yang dikatakan Diana tempo hari.

Kau merasa beruntung hanya karena Ibu tak memiliki akun Internet. Sehingga informasi yang masih ada di sana tak akan pernah dilihatnya sampai kapan pun. Sekali-sekali kau memastikan pada siapa saja bahwa Ibu tidak bersinggungan dengan Internet. Tapi bagaimana dengan selebaran yang ditempel di mana-mana?  Belum juga orang-orang yang mengetahui kondisi ini? Jangan menggampangkan, Tim.

Kali ini, kau yang diam-diam menatap Ibu lebih lama. Kau tidak mau gegabah, sewaktu kau mendapat celah, kau mulai berbicara soal Riyo. “Bu, ini sudah lebih dari sebulan, Riyo tidak pulang. Semua bantuan untuk menemukannya juga nihil. Aku akan memberikan kandang itu pada temanku. Bagaimana menurut Ibu?”

Ibu menarik napas sejenak. “Kalau kau mau memberikannya pada temanmu, itu terserah padamu saja. Tapi kalau nanti Riyo kembali, dia sudah tidak ada kandang lagi. Kau harus memikirkan hal itu juga. Riyo pasti akan mencarinya. Walaupun kita semua tahu, Riyo tidak betul-betul tinggal di dalam sana. Akan tetapi, bagaimana pun kandang itu miliknya. Kau harus betul-betul memiliki kepastian bahwa Riyo sudah tidak akan menempatinya lagi. Tapi selagi belum, sebaiknya kau punya cara lain untuk mengatasinya.”

“Jadi, Ibu keberatan?”

Pada saat Ibu menghela napas lagi, ia seperti tidak mau membalas tatapanmu. Sorot matanya mendadak kosong, persis seperti saat Steven mengutarakan niatnya keluar dari rumah dan tinggal sendiri bersama istri dan anaknya. “Bu.” Ketika kau memanggil-manggilnya lagi, Ibu tersenyum. Ibu menolehmu. Tapi kemudian kau menangkap ekspresi lain di wajah Ibu. Sesuatu yang sama persis seperti pertama kali kau sadar bahwa Riyo menghilang. Meskipun begitu, dengan tersenyum, Ibu berkata bahwa ia tidak keberatan, “Kalau Riyo pulang, kau bisa mengambil kandangnya lagi nanti.”

Kau mengangguk. Tetapi kau tak pernah memberikan kandang itu pada siapa pun. Kau hanya memindahkannya dari ruang tengah ke belakang. Meletakkannya di tempat jemuran baju. Terkadang, kau mengembalikannya ke tempat semula setelah dibersihkan. Biasanya pada hari libur, dengan waktu luang yang begitu melimpah, kau tak memiliki hal lain yang dapat dikerjakan. Sehingga bekas kandang Riyo menjadi pelampiasan.

***

Sewaktu kau berjongkok di sebelah kandang yang kosong itu, dengan kain lap basah dan seember air, Ibu mengawasimu dari balik jendela. Ibu berdiri di sana sambil menimang-nimang anak kedua Kristin yang baru berusia enam bulan. Sekali-sekali Ibu memanggil-manggilmu sambil mendekatkan wajah lucu keponakanmu ke jendela. “Uncle ... Uncle Timothius Kurniawan. Lihat aku ... bukankah aku setampan dirimu! Uncle ... uncle!” Sementara kau yang sama sekali tak menyadari hal itu, anganmu yang bebas terbang melayang-layang. Pergi menemui banyak tempat di masa lalu, yang di dalam benakmu kini teronggok seperti kota mati.

Salah satu tempat yang kaukunjungi adalah tempat penyewaan DVD langganan June yang letaknya masuk ke gang sempit. Tempat itu tidak jauh dari rumah. Kalau jalan kaki, kau hanya butuh waktu tidak lebih dari sepuluh menit. Tapi berhubung kau tidak begitu menyukai film, tempat itu benar-benar luput dari perhatianmu. Kalau June tak pernah ada di hidupmu, sepanjang hayat kau juga tak akan pernah mengetahui tempat itu pernah ada dan menjadi primadona di daerah situ. Sekarang tempatnya sudah tutup. Bangunannya dibiarkan terbengkalai dengan atap yang bolong-bolong, sebagian dindingnya juga nyaris roboh dengan kaca jendela yang berantakan. Terakhir kali kau melihatnya sekitar setahun lalu saat berkunjung ke tempat teman kerjamu yang baru pindah rumah. Sebelumnya, kau tak pernah berpikir apakah tempat itu masih ada atau tidak. Meskipun tempat itu menyumbang banyak kenangan, tetapi kau tidak menyediakan ruang khusus di dalam dirimu untuk mengenangnya. Bagimu, tempat itu sama saja seperti bis atau taman, atau jalan-jalan yang biasa kau lalui sebagai perantara kencanmu dengan June. Kau sendiri tak menyangka akan bersua kembali dengannya. Pada mulanya kau tak menyadarinya, kau memang merasa tidak asing dengan tempat itu tapi juga tidak memedulikannya. Saat kalian berbicara soal teman kalian yang lain, yang kabarnya sakit karena guna-guna, tiba-tiba kawanmu membahas bangunan kosong tersebut. Temanmu bilang, bangunan terbengkalai berjarak enam rumah dari situ adalah sarang dedemit. Dia berkata dengan serius, seolah-olah itu penting untuk kauketahui.

Temanmu memelankan suara, menengok ke kanan dan kiri seolah-olah ia takut pada sesuatu yang dapat mendengarnya, “Setelah tidak ditempati lagi, dedemit-dedemit bersarang di sana. Mereka membuat kerajaan baru. Karena itu pula, banyak orang asing datang dan menginap selama dua hingga tiga hari.”

“Masa sih? Buat apa menginap di tempat seperti itu? Ada-ada saja.”

Lihat selengkapnya