Dalam perjalanan ke kantor setelah masa cutimu selesai, kau melihat anjing Shiba inu di dalam sebuah kandang di pet shop. Sepintas kau melihatnya sebagai anjing yang sehat, bulu-bulu keemasannya berkilau ditimpa cahaya matahari. Sambil memegang rantai pengikat, Maya berdiri di sebelah kandang bersama seorang laki-laki dengan badan terlatih dan seorang bocah perempuan berseragam TK. Walau kau bisa mengira-ngira, tapi kau tak mau tahu apa yang sekiranya sedang mereka bicarakan. Sebaliknya, saat ia menyadarimu tengah lewat sambil memperhatikannya, gadis itu menganggukkan kepala.
Setibanya di kantor, Maya mengirimu pesan, “Bagaimana kabar Jacky?” Meski kau memiliki waktu yang cukup luang, tapi kau tak mau segera membalas pesan itu. Selang tiga jam, kau baru membalasnya. Menyempatkan di antara kesibukanmu mengejar tenggat waktu.
“Jacky?”
Tapi Maya membalas lebih cepat dari reaksimu, “Anjingmu yang baru. Dan maaf kalau asal. Kau belum memberi tahuku siapa namanya. Jadi, aku asal saja menamainya Jacky.”
“Tidak. Tak perlu minta maaf. Namanya Franky.”
“Namanya bagus. Apa ada maknanya?”
Kau berpikir sebentar. Tapi kau tak mau membuat kebohongan baru. Lebih tepat, kau ingin menyudahi kebohongan itu. Namun, kau juga merasa hal itu sudah terlambat dilakukan. Jadi, kau memilih membiarkannya saja. “Aku tidak tahu. Kakakku yang memberinya nama.”
“Kalau begitu, kakakmu pasti yang tahu maknanya apa.”
“Mungkin saja. Tapi aku yakin sih tidak. Kakakku juga terbiasa asal. Walaupun tidak asal-asalan juga.”
“Begitu ya? Tapi bisakah kau memastikannya untukku? Tentu saja kalau kau tidak keberatan.”
***
Kau mengetik balasan. Tapi kau mengurungkannya. Kau punya alasan. Pertama karena selama kau cuti, pekerjaanmu menumpuk. Dan yang berikutnya, kau bingung. Kau tak bisa memutuskan apakah membalas pesan-pesan gadis itu berguna atau tidak? Saat kau memikirkannya lagi, kau merasa sangat marah karena berpikir bahwa ia hanya sedang mempermainkanmu. Kau marah lantaran tak bisa menghentikan bayangan-bayangan yang berkecamuk di dalam benakmu. Tapi kau juga tidak bisa berbuat apa-apa hanya karena tindak-tanduk gadis itu terlihat mirip June. Disengaja atau tidak, sikap gadis itu tidak sepenuhnya dapat disalahkan karena kau tak bisa memastikannya juga, apakah sikapnya yang mirip June ditujukan khusus padamu? Bahkan saat orang-orang sengaja membuat dirinya menjadi semirip mungkin dengan orang lain, siapa pun tak bisa menggugatnya. Setidaknya karena kau telah melihat kakak lelakimu bergaya seperti Kurt Cobain[1] selama ia kuliah dulu. Membuat ibumu selalu mengeluh karena kakak lelakimu tak memiliki celana jins yang tidak robek di bagian lututnya. Ibu merasa khawatir pakaian Steven akan membawanya pada masalah di kampus. Walaupun ia mahasiswa yang berprestasi, kata Ibu, tapi sopan santun harus tetap dijaga. Terlebih, apa yang dilakukannya hanya agar terlihat mirip seorang artis.
Napasmu terasa berat. Meski enggan, tapi kau juga tak bisa berhenti memikirkan hal-hal yang bisa dikatakan mirip antara kekasihmu dengan gadis itu, yang mana semakin lama malah membuat kepalamu sakit seperti ditusuk-tusuk.
Hampir tak ada upaya yang dapat menghilangkan rasa sakit kepalamu. Setelah minum obat pun, rasa sakitnya tak kunjung berkurang. Sambil memijat-mijat kepalamu sendiri kau berpikir, bisa saja dengan mengalihkan pikiranmu, sakit kepala yang kaurasakan tak akan membuatmu sampai linglung selama masih di kantor.
Pelan-pelan, kau berusaha menghadirkan ingatan yang jauh lebih mudah kauhadapi. Kau mengingat-ingat saat Ibu mengungkapkan perasaannya terkait pakaian Steven dengan mata berkaca-kaca. Steven mendudukkan Ibu di sofa ruang tengah. Sambil memeluk Ibu, Steven berkata-kata manis yang dapat menenangkan hatinya. Dia membalas kata-kata Ibu dengan suara yang begitu lembut, meyakinkan bahwa ia tak akan berhadap-hadapan dengan masalah hanya karena pakaian. Di universitas mana pun, katanya mengimbuhkan, mahasiswa laki-laki memanjangkan rambutnya juga tidak apa-apa. “Benarkah begitu?” ujar Ibu, tangannya yang gemetaran menggenggam erat tangan kakak lelakimu yang melingkar di pundaknya. “Benar Bu.” Kau tidak yakin, apakah Ibu benar-benar tidak tahu, atau hanya luluh saja pada Steven.
Suatu perasaan aneh yang tiba-tiba muncul membuatmu merasa cemas. Kau tak hanya tak bisa menghindarinya, tapi kau juga tak kuasa menghadapinya. Setiap kali melihat sikap manis Steven kepada Ibu, kau bertanya-tanya pada dirimu sendiri, sanggupkah kau bersikap demikian pada Ibu? Sanggupkah kau melakukan hal-hal yang membanggakan seperti yang dilakukan kakak lelakimu? Seharusnya bisa, kau menekan dirimu sendiri, mudah saja melakukan hal-hal yang dilakukan Steven karena kau mewarisi semua isi lemarinya begitu tubuhmu membesar begitu cepatnya. Meski sebagian besar celananya yang robek-robek itu tampak kekecilan karena menggantung di atas mata kaki. Tapi apa yang ditinggalkan Steven pada pakaian bekasnya tidak pernah menguap. Sebaliknya, di dalam pakaian itu ada roh suci yang akan menuntunmu menuju ke jalan itu. Jalan menuju hal-hal besar yang mesti kaulakukan untuk menjawab keraguan pada dirimu sendiri.
Sewaktu kau mengenakannya untuk pergi ke kampus, kau tidak memikirkan apa-apa. Apakah roh suci itu akan menuntunmu atau tidak? Bahkan kau juga tidak sepenuhnya percaya dengan hal-hal semacam itu. Saat kau keluar kamar, baik Ibu atau pun Ayah sama-sama memandangimu dengan wajah berbinar-binar. Di meja makan, Ibu berkata dengan kebahagiaan yang meluap-luap bahwa akhirnya kau mirip dengan Steven. “Mirip sekali.” Kau marah karena ada yang tertawa. Seolah-olah kata-kata itu sudah lama dinanti-nantikan untuk menertawakanmu.
“Akhirnya!”
Kau menekan kata-kata itu.
“Ya. Karena kalian memang tak ada mirip-miripnya sebelum ini. Tapi sekarang tidak lagi. Bahkan susah dibedakan mana Steven dan yang mana Timothius.”