Ibumu selalu bilang, berterima kasihlah pada orang yang membuat jalan.
Kau menuliskan kalimat itu pada tugas akhir kuliah yang kaupersembahkan untuk Ibu. Sejujurnya, hingga kau menuliskan kata-kata itu pada skripsimu, kau belum mengerti makna apa yang disampaikan oleh ibumu. Setiap kali melintasi jalan yang baru pertama kali kaulewati, kau teringat dengan kata-katanya. Secara harfiah, jalan yang dimaksud Ibu ialah jalan-jalan yang menghubungkan satu daerah dengan daerah yang lain. Dengan dibangunnya jalan-jalan tersebut, orang-orang dapat menjalani rutinitas sehari-hari dengan lebih efisien. Zaman Ibu masih kecil, bahkan jalan-jalan besar pun belum sebagus sekarang. Dulu juga belum banyak lampu penerangan di pinggir-pinggir jalan. Kalau malam hari tiba, jalanan gelap gulita.
Jika dibandingkan dengan sekarang, di pelosok-pelosok desa pun jalan-jalan kecil sudah diaspal. Dulu, kalau musim penghujan tiba, jalan-jalan yang kontur tanahnya tidak rata itu pasti becek dan digenangi air. Apabila curah hujannya tinggi, genangan air itu tidak meresap ke dalam tanah selama beberapa waktu. Sehingga baik katak maupun nyamuk akan bertelur di sana. Setelah beberapa hari, genangan air itu berubah menjadi peternakan berudu. Tentu saja kondisi seperti itu bukan hanya mengganggu. Orang-orang yang takut dengan katak akan merasa diteror. Setidaknya Ibu. Tapi Ibu tidak takut pada binatang lunak itu. Ibu hanya merasa geli dan itu terasa lebih mengerikan ketimbang rasa takut. Karena menurut Ibu, rasa takut sedikit lebih bisa diatasi. Ada banyak cara untuk mengatasinya.
Karena itulah, kata Ibu dengan nada lembut yang tulus, berterima kasihlah pada orang yang membuat jalan. Jalan-jalan itu menghubungkanmu dengan kemudahan-kemudahan.
Kini, setelah kau mengerti sedikit-sedikit tentang makna jalan selain jalan yang Ibu maksud, kau malah kebingungan harus memulai dari siapa untuk mengungkapkan rasa terima kasihmu. Sewaktu kau menyebut satu nama di dalam kepalamu, kau melihat ke belakang dan mendapati catatan hutangmu menggunung. Sehingga kau mulai didera rasa ragu, apakah tumpukkan hutang yang menggunung itu bisa dihapus hanya dengan ungkapan rasa terima kasih? Bahkan kalau kau membalas semua budi baik orang-orang yang telah kauhutangi, rasanya apa yang kaulakukan tak akan bisa sebanding. Gundukkan hutang-hutangmu itu tak ubahnya seperti jalan yang tak memiliki ujung. Meski kaususuri setiap hari, tak akan habis-habis.
Khususnya hutangmu terhadap Diana. Setiap hari, kau seperti menggali lubang di tanahnya, kemudian kau mengisi lubang itu dengan setumpuk hutang yang sama tanpa pernah ada selintas pikiran pun untuk menguruknya
Seperti itulah, akhirnya kau berpikir, bahwa jawabanmu yang ia tunggu-tunggu adalah hutang. Suka maupun tidak, kau harus melunasinya. Terlebih, Diana masih menunggumu dengan wajah penuh harap. Menanti dengan rasa sabar tanpa batas yang sepertinya memang hanya diperuntukkan padamu.
“Tim, kalau kau tidak memberi tahuku, bagaimana kita bisa menyelesaikan ini?” Diana berkata dengan suara yang sedikit agak keras.
Kau membisu. Pikiranmu masih berkutat pada rasa khawatir yang menahanmu.
“Dan ... jangan kau kira aku tak mengerti bahwa kau menyesal telah memberitahuku perihal masalah ini. Kau tahu sudah terlambat menarik diri. Jadi katakan padaku, walau tidak mudah, tapi kau harus mengatakannya padaku, Tim.”
Akhirnya kau menoleh. Kau mendapati wajahnya yang merah karena menahan amarah. Kalau kondisinya tidak sedang seserius ini, dengan ekspresi wajah seperti itu, kau akan lebih memilih untuk menyingkir. “Kau tahu, tadinya aku hanya ingin bicara saja. Aku berharap kau hanya akan mendengarkanku. Dan sampai sekarang, keinginanku masih tetap sama.”
Diana menatapmu seolah-olah tak percaya. “Kalau hanya itu yang kau inginkan, bicaralah saja. Aku akan mendengarkanmu.” Kau menatap kedua matanya mencari-cari kepastian. “Tapi kau harus ingat, kita sudah membahas ini kemarin dulu. Bahwa gadis itu mirip June, pendapatku masih tetap sama. Apa gunanya dia meniru-niru June kalau tujuannya hanya untuk menarik perhatianmu. Dengarkan aku, yang dilakukan gadis itu tak akan mengganggumu kalau kau mengabaikannya. Masalah pun akan selesai di situ. Seperti halnya June, yang kalau kau punya sedikit nyali, kau hanya perlu menemui keluarganya dan menanyakan keberadaannya. Kalau kau pergi, bukan tidak mungkin juga kau akan menemukan Riyo di sana. Tapi kau tak pernah melakukan itu.”
***