Walau tidak susah, tapi kau tak mau mengingat detail hari itu di mana tiba-tiba kau mengumpulkan semua barang dari June dan membawanya berkeliling menyusuri jalanan Jakarta. Di TPA, menjelang dini hari kau meletakkan kardus yang kaubawa dan meninggalkannya begitu saja. Kau tidak tahu bagaimana persisnya perasaanmu saat memungut dan memasukkan barang-barang itu ke dalam kardus lalu meninggalkannya di antara gundukkan sampah seakan-akan kau hanya perlu membuangnya begitu saja. Kau bahkan tak berpikir dua kali. Tak menolehnya sekali pun saat meninggalkan TPA.
Sambil menepuk pundakmu Diana berkata bahwa apa yang kaulakukan barusan adalah pertanda. “Pertanda apa?” tanyamu. Diana mengangkat bahu. Tapi setelah kau menuntut diterangkan, Diana memberikanmu segala yang kauinginkan. Bahwa pertanda yang ia maksud—tentu saja, adalah sesuatu yang bagus. “Tak tahu seberapa bagus. Pokoknya bagus.” Kau menggeleng sambil tersenyum. Sebab di telingamu, kata-kata itu tidak terdengar sama bagusnya.
“Kau yakin?” ujarmu dengan dahi berkerut. Kau menoleh Diana, tapi kakakmu melempar pandangannya ke lain tempat.
“Ya,” sahutnya dengan suara pelan. Kau merasa marah karena sikapnya tidak mencerminkan kata-katanya. Saat menyahutmu, dia masih memandang ke arah lain. Pada saat-saat seperti inilah, sedikit rasa ragu mengintip dari balik tirai dadamu. Kau mulai bertanya-tanya seberapa mirip dirimu dengan Ayah. Sebab, kalau kau betul-betul mirip Ayah, rasa marah yang timbul itu akan membawamu pergi. Kau akan meninggalkannya dan tak mengajaknya bicara sampai ia sadar bahwa ia telah bersikap buruk padamu. Sebab Ayah tak akan meladeni orang yang tak menghadap wajahnya saat ia bicara padanya.
“Seberapa yakin?”
Baru setelah kata-katamu yang menyiratkan bahwa kau tak akan berhenti sebelum mendapatkan keterangan yang kau inginkan, kakakmu menoleh. Ia menelan ludah dan memandangmu dengan tatapan tak percaya. Saat ia menyahutmu, kata-katanya terdengar marah.
“Tidak kurang tidak juga lebih. Itu sudah jelas dari semenjak jawabanku yang pertama.”
“Buatmu. Buatku tidak. Karena aku menangkap kesan kalau kau tak sungguh-sungguh.”
Sewaktu masih kecil dulu, Diana tak segan memukul kepalamu sembari memarahimu kalau kau tak kunjung berhenti menekannya begitu sudah diperingatkan. Kadang-kadang, Diana sampai menangis dan berkata bahwa ia tak akan mau berbicara padanya sampai kau yang memintanya. Waktu itu kau belum cukup mengerti apakah kata-katanya sebuah peringatan atau hanya sekadar luapan amarah. Kau hanya menangkap yang kedua. Yakni luapan amarah itu. Sehingga kau pun turut menangis. Kau menangis lebih keras dari kakakmu. Membuat Diana luluh dan menghentikan tangisnya sendiri. Lalu dia memelukmu dan memintamu berhenti menangis sambil memeluk dan mengusap air matanya. Terkadang, ia masih ingin memukulmu seperti halnya Ibu. Tapi ia tak pernah meloloskan keinginannya itu. Bukannya karena merasa terbebani usia atau semacamnya. Melainkan karena ia merasa tak akan ada gunanya memukulmu.
“Jadi menurutmu aku asal bicara?”
“Tidak juga. Aku merasa kau hanya sedang membuatku merasa senang saja.”
“Aku tidak sepengangguran itu, Tim!”
“Kalau begitu beri aku bukti.”
“Buat apa?” Diana menatapmu lekat-lekat. Kedua ujung matanya berkedut. Kau merasa bahwa ia tengah menyusun lebih banyak kata-kata. Lebih banyak lagi hal-hal benar yang entah bagaimana bisa tak sampai kaupikirkan. Untuk itulah kau menyiapkan diri. Menunggunya menggelontorkan segambreng kalimat yang ternyata kaubutuhkan seperti tempo hari.
“Karena aku akan merasa lebih baik ketimbang melakukan sesuatu tanpa alasan.”