Esok harinya, kau bangun dengan kepala hampir meledak. Saking sakitnya, sampai kau tak bisa membuka mata. Kau pun berteriak-teriak memanggil Ibu. “Bu! Ibu!”
Perlahan kau membuka mata. Kau mendapati wajah Ibu teramat dekat dengan pandanganmu. Entah kau tersenyum padanya atau tidak. Tapi Ibu juga tak tersenyum padamu dan hanya ekspresi wajah datar yang terpancar seperti biasa setiap pagi melihatmu keluar kamar. Seolah-olah Ibu takjub melihatmu, atau barangkali Ibu hanya menahan luapan rasa bahagianya lantaran akhirnya kau keluar kamar dan masih hidup.
“Tim, kau kenapa?” tanya Ibu padamu, suara lembutnya terdengar murung dan putus asa.
Kau perlu waktu sedikit agak lama untuk mengingat-ingat. Alergimu tidak sedang kumat. Sejak kambuh yang terakhir, yang membuat Steven tak bisa menahan rasa takutnya, kau senantiasa mawas dengan segala yang kaumakan. Belakangan, kau juga mulai jarang mengunci pintu kamarmu. Terkadang, saat kau bangun kau mendapatinya dalam kondisi setengah terbuka. Kau tidak menyalahkan siapa-siapa lantaran ingatanmu pulih segera bahwa kaulah yang ceroboh tak menutup. Tapi sekarang, entah kau mulai terjangkit penyakit yang baru, kau belum juga berhasil mengingat sesuatu. Sehingga selama beberapa waktu lagi, kau belum juga membalas pertanyaan Ibu.
Kau mengatur napas agar ingatanmu segera kembali. Sambil terisak-isak—walau kau tak melihat ada air mata atau matanya memerah, atau semacamnya yang menandakan adanya lonjakan kesedihan itu, Ibu mengusap-usap rambutmu. Sewaktu masih kecil, setiap kali berusaha menidurkanmu, Ibu meletakkan kepalamu di atas bantal kapuk. Lalu Ibu mengelus-elus rambutmu sambil berdendang. Kalau kau tak kunjung tidur, Ibu akan menepuk pantatmu sambil menggerutu, “Kenapa kau cepat sekali tidur kalau kakakmu yang menyuruh! Kenapa kalau ibu yang memintamu tidur, kau seperti ingin menambah-nambah pekerjaan ibu.” Saat Ibu melihatmu pura-pura memejamkan mata, Ibu akan membungkuk di atas kepalamu seraya berbisik, “Timothius, ibu harus bekerja. Kalau ibu tidak pergi ke belakang sekarang, pekerjaan ibu akan bertambah lebih banyak lagi.” Setelah mengecup pipimu, Ibu beringsut dari kasur dan keluar kamar. Kau lalu bangun dan mengguncang-guncangkan bahu Diana dengan begitu keras. Saat kakakmu akhirnya terbangun, hal pertama yang ditanyakannya adalah apakah kau lapar? Tapi setelah kau menggeleng dan kesadaran Diana telah penuh, kau bertanya padanya kenapa pekerjaan Ibu selalu banyak? Kenapa Ibu dan Steven selalu bangun tengah malam dan membuat susu kedelai yang tidak boleh kalian minum? Kenapa keluarga kita tidak memiliki pembantu seperti keluarga tetangga? Bahkan di rumah bibi ada dua orang yang bekerja mengurus rumah. Sampai-sampai kau pernah mendengar, bahwa bibimu sudah lama sekali lupa bagaimana caranya mencuci baju. Sambil memberengut, bukannya membalasmu, Diana akan berkata seperti ini; “Kau selalu bertanya begitu. Padahal aku sudah menjawabnya dan kau bilang kau sudah mengerti. Dengar Tim, kau hanya lupa. Jadi, ingat-ingat lagi!” Setelah kata-katanya selesai, Diana kembali menelusup masuk ke dalam selimut. Ia bahkan tidak menyuruhmu segera tidur.
Perlahan-lahan, ingatanmu pun mulai muncul. Dari sepercik cahaya menjadi kobaran api yang sulit dipadamkan. Kau bahkan mengingat semua mimpimu dengan jelas. Mengingat semua hal sebelum tenggelam ke dalam tidur. Termasuk kenapa tempo hari Ibu masak banyak sekali. Bahkan Ibu membuat sup akar teratai. Makanan favorit Ayah yang hanya boleh dimasak untuk hari besar saja. Iparmu bilang, sepuluh hari lagi adalah perayaan ulang tahun Ayah. Ibu sengaja masak banyak untuk mengingat hari itu. Sehingga kalau kemudian Ibu marah-marah padamu itu wajar. Dan kalau kau bilang kau tak tahu lantaran tak ada yang memberitahumu, tekan iparmu, itu salahmu sendiri. “Kau melihat kami. Kesibukan kami di luar hari-hari biasa. Kau juga tahu ada akar teratai. Jadi, kau seharusnya tahu tanpa diberi tahu. Atau paling tidak, bertanyalah. Tapi kau hanya diam saja. Mengurung diri walau itu kebiasaanmu, tolong jangan memaksa orang memahamimu terus.”
***
Ketika ingatan tentang sweter putih itu muncul, kau mulai berbicara pada Ibu. “Bu, aku mimpi Ayah bersama Riyo semalam. Mereka makan bakpao daging buatan Ibu.”
Ibu berhenti mengusap rambutmu. Pandangan kalian bertaut selama beberapa waktu. Ibu menghela napas. Sebelum membalasmu, Ibu menggerakkan matanya menoleh ke arah lain. Saat membalas, bukannya membalas perkataanmu, Ibu malah mengulangi pertanyaannya tadi. Nadanya serius, dan Ibu tak dapat menyembunyikan perasaan khawatir kendati wajahnya masih belum memancarkan ekspresi apa-apa selain datar seperti sebelumnya.
“Kau kenapa? Berteriak-teriak membuat seisi rumah ketakutan.”
Yeslin masuk membawa semangkuk bubur. Ia berdiri di samping tempat tidur setelah meletakkan mangkuk bubur di meja. Wangi bubur nasi menyeruak ke penciumanmu. Dan kau mulai sadar bukan hanya Ibu atau Yeslin yang ada di kamarmu. Bahkan Grace ada di situ, memakai pakaian rumah dan rol rambut yang masih di kepala. Ia duduk di ujung tempat tidur. Sementara Steven berdiri di sisinya, digelayuti Clayton yang entah menurutmu, terlihat pucat.
“Aku mimpi Ayah dan Riyo, Bu,” jawabmu.
Ibu menghela napas lagi. “Ibu pikir alergimu kambuh. Kau bahkan tak bergerak sama sekali. Tapi memang tak ada tanda-tandanya. Setelah diingat-ingat, sejauh ini, sampai ibu masak tadi, tak ada udang di dapur kita. Jadi kau kenapa? Apanya yang sakit?”