Mimpi yang mana yang menjadi kenyataan? Pertanyaan itu menggantung di kepalamu yang kerap kali tiba-tiba kosong. Setelah hari itu, kau seperti dapat mengulang mimpi yang sama dalam tidurmu. Kadang-kadang kau memanggil Ayah. Lalu Ayah datang sambil tertawa-tawa bersama dengan Riyo. Saat mimpi itu lenyap, kau sadar kau tidak terluka gara-gara itu, melainkan karena kau takut kau tak akan dapat memimpikannya lagi.
Sewaktu kau membaca-baca berita di internet, orang-orang mendapatkan kembali hewan peliharaan mereka setelah sekian lama mencari. Seseorang bahkan berujar dengan begitu mudahnya bahwa hewan peliharaannya hanya tersesat, sebelum kemudian muncul secara tiba-tiba di depan pagar rumahnya di antara panas dan rutinitas kota yang menjemukan. Di sisi lain berita itu, setelah berita tentang penggagalan upaya penyelundupan binatang, sebuah laporan tentang cuaca mengingatkanmu pada malam-malam hujan yang kaulalui dalam kendaraan melintasi perasaanmu yang hampa.
Malam itu, lampu di seluruh kota padam dan jalanan macet. June duduk di satu kursi dan kau di kursi lainnya. Bus malam itu hampir sepenuhnya kosong. Hanya ada sopir, kondektur yang kaukira setengah mabuk, serta laki-laki paruh baya yang tertidur pulas di kursi paling belakang. Sinyal telepon pun mati. Kau tak ingat, bagaimana persisnya malam itu merambat dalam kegelapan. Lampu-lampu dari kendaraan membuat malam itu terasa semakin suram. Yang menyala dalam ingatanmu, kau dan June tidak sedang baik-baik saja. June bahkan tak mencopot penyuara telinga saat ia berbicara denganmu. Seolah-olah, ia tak mau berbicara denganmu tetapi, ia juga tak memiliki pilihan lain.
Sewaktu kau mendekatinya, June tidak bereaksi apa-apa. Ia hanya menatapmu selewat pandang penuh tanya yang seakan-akan tak ada jawabnya. Saat kau hendak mengatakan sesuatu, ia menggerakkan kedua matanya dengan agak lamban memintamu berhenti. Bahunya tetap melorot dengan kedua tangan menelusup ke dalam saku.
Beberapa jam lalu, June muncul dengan kardigan cokelat dan sepatu bot yang solnya sudah agak licin. Rambutnya masih setengah basah dan angin membuatnya sedikit berantakan. Karena itulah ia menoleh ke arah dari mana datangnya angin. Walau sejujurnya, dia sedang tidak ingin menatap wajahmu saat kau menatapnya.
Di pasar buku bekas, sebelum hujan menenggelamkan separo kota, kau memberitahunya bahwa ia mirip Rose Dawson. June tertawa dan menjawab, “Rose masih tujuh belas tahun.”
“Aku tidak tahu soal itu.”
“Rose sudah memiliki tunangan. Seorang laki-laki kaya yang tampan tetapi kejam. Dan ibunya wanita yang mengerikan.”
“Kalau itu aku tahu.”
June akhirnya menoleh dan menatapmu. Angin masih menerbangkan rambutnya yang perlahan-lahan mulai kering seperti daun gugur musim kemarau.
“Apalagi yang kautahu?”
“Jack Dawson punya bakat melukis.”
“Ada lagi yang lain?”
Kata-kata yang hampir meluncur dari mulutmu kautelan lagi. June menatapmu lebih dalam seakan-akan ia hendak menunjukkan sesuatu padamu. Tapi kau tahu itu apa. Bahkan tanpa diberi tahu, kau telah mengetahuinya dengan begitu jelas. Hanya saja kau tidak sedang ingin membicarakannya saat itu juga. Kau tidak mau bertindak ceroboh karena tak bisa berpikir cepat saat membicarakan masa depan. Kau menyadari betapa pengecutnya dirimu lantaran tak bisa menjawab pertanyaan mudah begitu. Tetapi, kau juga tidak memiliki pilihan lain. Kau tak mau berbohong hanya demi menenangkan perasaan orang lain. Meski kau merasa yakin tidak sebaik itu, meski kau tidak bisa tidak mengolok-olok dirimu sendiri dan menertawakanmu sepanjang waktu, tapi momen-momen seperti itu memerasmu hingga membuatmu merasa bertanggung jawab.
***