Yang Tenggelam di Dasar Kenangan

Herman Trisuhandi
Chapter #22

Aku Sudah Pergi

Kalau kau menemuinya, kau mau bilang apa padanya? Apa tujuanmu menemuinya? June, kau harus betul-betul memikirkannya. Ini sudah tahun keempat, seharusnya kau tidak membaca pesannya. Tapi sekarang, kita lupakan dulu soal itu. Fokus ke perkara ini; Kata-kata apa yang ingin kauucapkan pertama kali? Apakah kau akan mengucapkan kata-kata kuno semacam ‘halo apa kabar, lama tak jumpa’ atau yang terkesan formal tetapi tak bermakna apa-apa, seperti ini misalnya; ‘tidak menyangka karena sudah lama sekali, kau terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya, tapi tetap saja hampir membuatku tak percaya kalau ini adalah dirimu, dan ya, senang akhirnya berjumpa denganmu lagi’. Nah, apakah seperti itu? Atau, apakah kau hendak meminta maaf seketika itu? Kalau memang begitu, pada siapa dulu kau ingin meminta maaf? Apakah Tim atau seluruh keluarganya? Dahulu, semuanya sama penting bagimu. Tapi kau selalu punya prioritas. Jadi, yang mana? Siapa yang lebih dulu hendak kautemui? Kau berhutang janji pada mereka semua. Pada almarhum ayah Tim, pada saudara-saudaranya, ibundanya. Pada Riyo. Kau bahkan seperti berhutang pada bayanganmu sendiri. Sehingga ke mana-mana seperti ada tangan yang menengadah di depan wajahmu. Menuntutmu untuk melunasinya.

Sewaktu membaca informasi hilangnya Riyo di Internet, kau hanya diam dan tak melakukan apa-apa. Seolah-olah yang hilang itu bukan sesuatu yang asalnya datang darimu. Doa-doamu tak satu pun ada yang terkabul. Tidak kalau kau sudah tidak lagi melihat posting-an informasi itu. Saat kau meminta tolong, saudaramu mengirimkan foto yang memperlihatkan selebaran-selebaran yang ditempel pada dinding suatu bangunan kosong yang sering kau lewati dulu. Berkali-kali kau berpikir, kau sudah tak ada urusannya lagi dengan itu semua. Kau sudah berusaha tidak memerhatikannya. Tapi kau tetap saja tak bisa. Saat kau mengabaikannya, kau malah menyesali sikapmu.

Oleh sebab itu, kau seharusnya ikut bertanggung jawab. Lebih penting, tanggung jawab terbesarmu ada pada hilangnya Riyo. Sebab, bukan hanya Tim yang kehilangan. Tapi seluruh keluarganya.

***

Kau melihatnya mengenakan jaket parasut itu. Yang warnanya oranye dan dulu masih kedodoran. Sekarang jaket itu sudah pas di badannya. Bocah tampan itu sekarang sudah jadi laki-laki dengan tubuh tegap yang berisi. Bukan lagi bocah kurus yang senantiasa kelihatan menahan lapar, yang wajah tampannya menyembunyikan fakta itu. Kalau sekarang kau berbicara dengannya, kau pasti akan mendengar suara laki-laki keluar dari mulutnya yang sering muncul dalam mimpimu setiap kali kau merindukan kekasihmu itu dulu. Tetapi, kau sendiri tak tahu apakah kau memiliki keinginan untuk berbicara dengannya atau tidak. Sewaktu datang pikiran untuk menemuimya, kau tak tahu bagaimana pikiran itu bisa muncul? Sampai-sampai kau mengira kalau otakmu sudah tidak waras. Sehingga kau pergi mencari bantuan untuk membuangnya jauh-jauh. Kau menemui—lagi,  seorang psikiater yang kliniknya tak jauh dari rumah sepupunya yang membuka salon hewan peliharaan di Bogor. Saat kau pergi ke sana, kau melihat sepupunya setengah berlari menggendong seekor kelinci yang sangat besar. Kelinci itu pasti kenapa-kenapa, pikirmu, berhubung sepupunya yang kaulupa namanya itu cepat-cepat naik ke sebuah van hijau mentereng yang didesain mirip kendaraan sekelompok remaja detektif dari film Scoobi-Doo. Kau urung menyapanya karena ia bahkan tak mempedulikan keselamatannya sendiri. Dan setelah pintu geser van itu menelan dan membawanya kabur, kau tersadar bahwa kau juga tak tahu hendak mengucapkan kata apa untuk menyapanya. Ataukah ‘hai’ saja atau perlu ditambahi kalimat tak penting seperti misalnya; ‘apakah kau masih mengingatku? Ya, dulu aku sering ke tempatmu bersama Tim. Kalau pas musim-musim begini, saat bulu-bulu mengalami kerontokkan yang sangat parah, kami jauh-jauh menemuimu. Tapi sekarang, aku jauh-jauh ke sini bukan bersama siapa-siapa pun sehingga wajar kalau kau tak ingat’. Yang jelas, kau merasa beruntung sepupunya itu tak menyadari keberadaanmu di sekitar situ. Mungkin dia melihatmu. Tetapi karena tak ada urusan, dan urusannya menyelamatkan kelinci itu lebih mendesak, kau berpikir kalau sepupunya berpikir lebih baik dicap tak sopan—karena tak menyapamu, ketimbang gagal menyelamatkan hewan peliharaannya.

***

Waktu itu menjelang malam pergantian tahun 2018. Semua dokumen kepindahanmu ke Jepang sudah beres. Koneksimu menghubungimu beberapa jam lalu jika kau pergi pada tanggal delapan belas Januari, dia bisa menjemputmu di bandara dan langsung mengantarmu ke Kyoto. Namun jika jadwalmu tidak sesuai dengannya, dengan terpaksa kau harus menginap satu atau dua hari di hotel sebelum dia bisa mendapat cuti lagi agar bisa menemuimu. Kau mengiya, memastikan jadwalmu tepat. Kau bahkan menunjukkan tiket pesawatmu untuk meyakinkannya.

Sekitar pukul sembilan malam, kau mengenakan kardigan sepanjang lutut serta topi rajut berrumbai menutupi rambut dan telingamu, kau pergi ke toko swalayan membeli beberapa kebutuhan tambahan untuk pesta. Kau pergi bersama salah seorang sepupumu yang tidak mengenal Tim secara langsung. Dulu, kau hanya terpaksa bercerita padanya karena nyaris sepanjang waktu Timothius menjadi satu-satunya topik yang dibicarakan mengenaimu saat ada kumpul keluarga. Kau mungkin tak mau mengaku bahwa betapa terkejutnya dirimu saat melihatnya berjalan dengan gadis pelayan toko perlengkapan binatang peliharaan langganannya itu persis di depan toko swalayan. Kau bahkan tak melepas pandanganmu sampai mereka menghilang di antara lalu-lalang orang-orang. Kau memeluk kantung belanjaan di dada erat-erat, kedua pipimu merah. Sepupumu yang menyadari bahwa kau tengah memandangi seorang laki-laki tampan di luar toko tersipu-sipu. “Ya, aku tahu betapa tampannya laki-laki di luar sana itu.” Sepupumu menunjuknya dengan dagu.

Kau bergeming. Ludahmu terasa pahit. Namun, kau masih tak mau mengakuinya. Suasananya sedang luar biasa dingin, sergahmu membela diri pada dirimu sendiri, lihat saja orang-orang, orang waras yang mana yang tidak mengenakan pakaian hangat, jadi kalau aku jadi “begini”, itu semata-mata karena cuaca.

“He! June! Kalau jadi kau, aku sudah pergi keluar dan berpura-pura menabraknya. Kesempatanmu banyak. Suasana di luar memungkinkan siapa menabrak siapa. Jadi, ambil kesempatan itu. Persetan dengan umur. Persetan dengan aturan ini-itu, yang dibutuhkan hanya tindakan.”

“Apa maksudmu!”

“Maksudku ya laki-laki itu kan? Kau dari tadi memandanginya terus. Atau, jangan-jangan kau mengenalnya.”

“Kalau ya memang kenapa?”

“Ya tidak kenapa-kenapa. Yang jadi soal kenapa kau melihatinya seperti itu.”

“Seperti apa?”

“Kau tahu maksudku. Jangan berlagak bodoh.”

“Kenapa kau jadi begini padaku hanya karena aku tak bersikap seperti yang ada di kepalamu!”

Lihat selengkapnya