Apakah kau akan pulang?
Oh, tidak. Bukan itu pertanyaannya. Melainkan ini; apakah kau punya tempat untuk pulang? Apakah kau punya alasan untuk pulang?
Kau tak mau menjawab pertanyaan itu. Lebih suka, kau mengatakan hal yang lain, meskipun lawan bicaramu tak mau mendengarkannya. “Jepang sudah penuh, jadi kusarankan, setelah kontrak kerjamu selesai, kembalilah ke negara asalmu. Bukan tidak mungkin aku akan kangen padamu. Atau malah mengunjungimu ke sana kalau kau dan kakakku menikah nanti.”
“Menurutmu aku dan kakakmu akan menikah?”
“Tentu saja. Kakakku telah membesarkan aku dengan baik. Dia pasti akan menjadi suami dan ayah yang baik untuk anak-anak kalian.”
“Apakah dia berkata padamu kalau ia ingin menikah?”
“Menikah denganmu maksudnya?”
“Dengan siapa saja.”
“Tidak sih. Kakakku tidak cukup terbuka padaku soal itu. Kau sendiri tahu, hubungan kami baik lagi gara-gara kau datang ke mari. Ya, harus kuakui, kau ini semacam mukjizat yang nyata buatku. Tapi, maaf-maaf saja, kakakku tak pernah bicara soal itu padaku. Yang kukatakan tadi adalah murni pikiranku sendiri. Ini juga karena kakakku sudah mau empat puluh tiga tahun. Di umurnya segitu, kalau dia sudah menikah, pasti ia memiliki anak-anak yang sedang beranjak remaja. Dan ya walaupun tetap saja miskin, bisa kujamin kakakku itu laki-laki yang bertanggung jawab. Dia tak akan menelantarkanmu.”
“Kalau soal itu aku juga yakin. Tetapi katakan juga padaku, kenapa kau memiliki pemikiran seperti itu? Kau ini seperti mak comblang saja.”
“Entahlah. Pikiran seperti itu sering muncul secara tiba-tiba. Dan lagi, aku tak pernah berusaha mencari tahu alasannya kenapa. Bikin pusing. Biarkan mengalir saja. Nah, katakan padaku, apakah kau mau menikah dengan kakakku?”
“Apakah dia menyuruhmu bertanya seperti itu padaku?”
“Jelas saja tidak. Kakakku laki-laki yang memiliki inisiatif. Dia yang memegang kendali. Kalau dia menginginkan sesuatu, dia tak mau mengandalkan orang lain.”
“Lalu?”
“He! Kau ini! Bukankah sudah kuterangkan tadi? Ini datang murni dari pikiranku sendiri. Dan mumpung aku sedang mood bicara denganmu, anggap ini sebagai kejadian langka dan aku layak mendapat imbalan. Bagaimana? Cukup adil kan?”
“Ya, memang. Tapi kau juga cukup aneh.”
“Aneh katamu!”
“Ya, apalagi namanya kalau bukan aneh. Tahu-tahu kau muncul di kamarku jam segini. Lalu kau bertanya-tanya hal yang seharusnya tidak kautanyakan. Selain tidak sopan, kau juga melanggar peraturanmu sendiri.”
“Untuk itulah, jadikan pelanggaranku memiliki ganjaran yang setimpal. Jangan biarkan usahaku menjadi sia-sia.”
“Apanya yang sia-sia, kau kan tak melakukan usaha apa-apa. Kau hanya perlu berjalan beberapa langkah dari kamarmu. Kau bahkan tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Jadi, di mana letaknya usahanya?”
“Itu karena kau tidak menutup pintu. Sudahlah jangan berbelit-belit. Hari ini aku mengalami hari yang sial. Pasti kemarin dulu kau menyumpahiku setelah aku memarahamimu di kereta waktu itu. Sehingga, aku mendapatkan balasannya hari ini. Kau tahu, mantan kekasihku, yang dulu tinggal di kamar yang kautempati sekarang tahu-tahu muncul di depanku. Menyebalkan sekali. Seolah-olah tak ada bar lain di Kyoto ini. Kenapa sih harus memilih bar yang sama denganku. Sudah begitu, dia masih menyapaku seolah-olah kami tak pernah memiliki masa lalu. Begitu saja. Betul-betul sial. Kau tahu apa yang dia lakukan? Dia melambaikan tangan padaku dari mejanya. Lalu teman-temannya juga menolehku. Setelah itu, dia menghampiri mejaku. Mengusir separo teman-temanku yang memang sudah sejak dulu membencinya. Lalu dia bertanya ini-itu sok akrab. Dia bahkan dengan bangganya bilang padaku kalau sekarang, setelah rujuk dengan istrinya dia menempati apartemen baru setelah mendapat promosi. Benar-benar tak tahu diri sih! Kau tahu, aku kesal sekali padanya. Semakin kesal karena teman-temanku menganggapku mau balikan lagi sama dia!”
“Itu kan masalahmu. Kenapa jadi aku yang harus menanggung kekesalan pribadimu?”
“Itu karena kau tidur di kamarnya! Aku bahkan yang membersihkan kamar ini dari bau keringatnya. Menggosok lantai dari bekas injakan kakinya. Menjemur kasur dari bekas peluhnya. Pokoknya semua kulakukan agar residu-residu si gurita betul-betul lenyap!”
“Itu kan memang sudah tanggung jawabmu. Lagi pula, apa bau keringatnya separah itu ya sampai kau harus menggosok lantainya segala macam?”