June, apakah kau merasa sudah benar-benar pergi jauh? Belum lama ini kau bertanya-tanya mengenai kondisi kesehatan Riyo. Bagaimana pun, menyembuhkan kondisi psikis butuh lebih banyak waktu dan tenaga. Tak terkecuali pada binatang peliharaan. Sewaktu kau memutuskan keluar dari kehidupan Tim, kau tak ingat soal traumatis yang dialami Riyo. Masalah yang berkecamuk di kepalamu hanya perkara Tim dan seluruh keluarganya. Kau sama sekali tak ingat bagaimana kondisi Riyo. Bahkan sehari sebelum malam perayaan ulang tahun ayahnya, tepat di mana kau memutuskan dirimu pergi dari kehidupannya, kaulihat bagaimana Riyo menyalak. Menggonggong dengan begitu keras sampai-sampai membuatmu merasa ketakutan. Kalau Steven tak ada, kalau seluruh keluarganya tak segera keluar saat kau berdiri di depan pintu pagar, anjing itu pasti akan menggigitmu. Seolah-olah kalian belum pernah sekalipun bersentuhan satu sama lain. Seolah-olah pelukanmu pada malam hujan saat umurnya baru beberapa bulan lenyap begitu saja dari ingatannya.
Waktu ingatan tentang Riyo muncul kau berusaha menepis pikiranmu sendiri, sisi lain dari dirimu, yang menertawakan dirimu. Bahwa kau belum ke mana-mana. Sebab, meski negara ini jauhnya ribuan mil dari tempat asalmu. Tapi ingatan-ingatan akan momen-momen di masa lalu seolah-olah baru terjadi kemarin sore. Seakan-akan hujan kemarin malam yang reda saat kau—terpaksa, merebus mi menggunakan panci pengukus adalah malam hujan di mana kau membiarkan Tim menunggumu hampir semalaman. Bahkan bunyi dering telepon, aroma nasi panas yang di atasnya ditaburi bawang goreng, serta bau kasur yang lembab tak ada bedanya dengan semua yang telah kautinggalkan selama ini. Sewaktu Ibu dan adik lelakimu yang bungsu melakukan video call, kau merasa seolah-olah sedang bertatapan langsung dengan mereka dan berbicara tanpa adanya mesin penghubung. Bau keringat ibumu yang seperti aroma jagung rebus, bau keringat adik lelakimu yang mirip seperti bau kembang pepaya menguar dan memenuhi rongga parumu. Semua itu, seperti lipatan waktu yang mengabaikan langkah kakimu selama bertahun-tahun.
Sekarang, kau menyesali tindakanmu membaca pesan dari Tim yang mengendap dalam ponselmu selama empat tahun. Kau merasa marah pada dirimu sendiri. Namun, perasaan itu lebih cepat lenyap mengingat hal tersebut tak ada gunanya juga. Selain daripada itu, kau memiliki lebih banyak kesempatan untuk menepis perasaanmu yang membusuk itu dari waktu ke waktu.
Pada suatu hari yang luar biasa—sebetulnya tak ada yang betul-betul terasa seperti itu, hanya perasaanmu yang masih terselaputi kabut tipis dan kau tak mau harimu menjadi buruk gara-gara itu, kau berdiri di depan pintu pada pukul enam pagi. Cahaya matahari membawa kecerahan harapan di antara pucuk-pucuk daun plum. Wangi udara musim panas serta bau rumput yang menyegarkan. Seorang tetangga yang ramah menyapamu—walau setelah agak jauh ia menoleh padamu dengan dahi yang tak ditutup-tutupi berkerut-kerut. Kau mempercayakan pada dirimu sendiri bahwa hari itu adalah hari yang luar biasa. Warung mi tak jauh dari tempat tinggalmu buka lebih pagi. Kau pergi ke sana untuk sarapan dan berpapasan di jalan dengan Nezumi yang entah bermalam di mana semalam tadi. Tapi Nezumi kemudian mengangguk padamu. Lalu bergegas meninggalkan gang sempit tempat kalian berpapasan itu. Setidaknya, walau Nezumi tampak kelelahan—sepertinya karena kurang tidur, tapi tak ada tanda-tanda sesuatu yang mencurigakan dalam dirinya. Kau telah menulis pesan-pesan dalam secarik kertas yang kautempel di mana-mana. Di dapur. Di tempat mencuci perkakas masak dan makan. Di meja ruang tamu. Kau menulis pesan-pesan di situ, bahwa kau telah membersihkan semuanya. “Kecuali baju-baju kotormu. Itu bukan tanggung jawabku kan? Jadi, kalau kau tak pergi ke tempat kerja atau apa pun, pokoknya kau yang harus mencuci sendiri. Ps: maaf, aku seharusnya tak menulis pesan ini ya padamu, Nezumi.”
Hari yang betul-betul sempurna. Selesai bekerja, Tada meneleponmu selama berjalan kaki menuju ke stasiun. Saat itu Tada sedikit merayumu dengan gombalan klasik yang membuatmu sedikit merasa hambar, “Kalau aku punya kendaraan yang bagus, kau tak perlu naik kereta pulang dan pergi ke tempat kerjamu.”
Kau membalas, “Kalaupun kau memilikinya, kau harus tinggal di Kyoto atau aku yang berada di Tokyo agar kendaraanmu dapat berfungsi sesuai fungsinya sebagai kendaraan.”
Tada membalasmu dengan penuh tekad, “Kalau begitu, apa menurutmu aku harus membuat kondisinya menjadi demikian?”
“Bukankah tidak lama lagi juga akan begitu ya?”
“Iya juga ya? Kau kan kurang dari setahun lagi, kontrak kerjamu di Kyoto selesai. Dan setelah itu, kuharap rencana-rencana yang telah tersusun dapat berjalan dengan baik.”
Kau menjawab dengan kurang bersemangat. Tapi bukannya kau tak menyukai gagasan percakapan semacam itu, kau hanya merasa bimbang jika hari itu datang. Entah tepat waktu atau terlambat sekalipun, saat berhadap-hadapan dengan sesuatu yang telah kaurencanakan, perasaanmu diselaputi keraguan. “Nah, untuk itulah. Fokuskan pikiranmu agar rencana itu tidak berantakan. Karena aku juga sedang berusaha sebaik mungkin.”
“Nah ya, aku pun setuju.”
Kau menarik napas agak panjang.
“Jadinya, Helsinski atau Korsika. Kalau aku sih masih kepingin Helsinski,” Tada melanjutkan dengan nada bicara seperti anak-anak. Kau tertawa.
“Kalau begitu, kita harus benar-benar mencari solusi yang pas karena aku juga masih belum mau goyah. Aku masih ingin tinggal di Korsika.”
“Ya, harus ada jalan tengah,” sekarang nada bicaranya berubah lagi, sesuai dengan nada bicaranya sebagai pria lajang empat puluh tahunan. “Kau punya usul?”
Kau menarik napas lagi. Sedikit merasa ragu tapi kau segera menepisnya. Saat itu kau sudah sampai di stasiun dan keretamu tak lama lagi akan sampai. Kau membalas, “Sejujurnya Nezumi telah lebih sering berkata padaku tentang rumah kalian itu. Dia berkata bahwa uangmu yang menempel di sana lebih banyak ketimbang kontribusinya. Selama ini memang dia yang merawatnya. Tapi itu juga karena dia yang telah menempatinya selama ini. Dulu, saat kekasihnya tinggal di sana juga ikut membayar biaya perbaikan toilet dan lantai depan. Ia mengganti biaya pintu toilet yang rusak gara-gara lapuk dimakan air.” Kau diam untuk memberi sedikit jeda. Di seberang, suara napas Tada teratur dan ia menunggumu dengan sabar. “Meski begitu, dan bagaimana pun juga, kalau kau ingin tinggal di sana dan menetap bersamaku juga, dia tak akan keberatan. Malah sebaliknya, sudah seharusnya memang begitu. Kalau tidak, seumur hidup dia akan merasa menjadi benalu. Sehingga lebih pantas, kalau ia memikirkan masa depannya lagi, ia harus keluar dari rumah.”
Tada menjawab dengan suara yang amat pelan. Dan kentara sekali, ia berusaha menguatkan diri.
“Apa kau memiliki pertimbangan soal itu?”
“Tidak.”
Tada lama membalas, “Sudah kuduga.”
“Kau sendiri? Apa kau masih tetap memiliki mimpi Helsinski-mu itu?”