Sampai kapan kau akan mengulur waktu? Percayalah, kau sendiri memahami itu dengan baik. Sebelum mendapat jawaban, aku tak akan berhenti mengejarmu. Tak peduli kau tidak akan tinggal di sini lagi. Tak peduli besok kau menghilang, selagi aku masih memiliki tekad, aku harus mendapatkan jawaban darimu!
***
Pertama kali datang ke kota ini kau seperti orang linglung. Dandananmu tidak terlihat norak atau kampungan. Bagaimana pun, orang-orang saat pertama kali melihat juga setuju kalau kau cantik. Tada hampir tidak yakin kalau gadis itu adalah kau. Dia perlu beberapa waktu lebih lama untuk meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang ditipu. Dan ia, Nezumi, yang menyambutmu dengan jumpsuit merah kedodoran yang sepertinya belum dicuci sejak empat hari lalu terbengong-bengong lama saat melihatmu berdiri di depan pintu. Ia menatapmu. Lalu menatap kakak laki-lakinya. Menatapmu lagi seakan-akan kau mahluk hidup yang mustahil ditemuinya di dunia ini. Kau, June, kau seperti baru dikeluarkan dari kotak rapat yang membungkusmu selama bertahun-tahun. Sehingga saat kau keluar, menatap kehidupan yang baru kausinggahi membuat kepalamu gegar.
Wajar saja. Siapa yang tidak. Setelah perjalanan selama berjam-jam, angin dingin bulan Januari membuatmu membeku, kau bahkan nyaris lupa bagaimana caranya menyapa orang dengan benar. Di kepalamu, kau hampir tak bisa lupa dengan pertanyaan kakak lelakimu saat ia ikut mengantarmu ke bandara bersama seluruh keluarga yang seakan-akan tengah menghantarmu ke peristirahatan terakhir. Isak tangis yang disertai pelukan erat membuatmu kewalahan. “Mau kerja apa di Jepang?” dia satu-satunya orang yang tidak menangis. Lebih tepatnya berpura-pura kelihatan tidak menangis. Sewaktu kau mendatangi rumahnya untuk berpamitan, ia satu-satunya keluargamu yang menanyakan bagaimana hubunganmu dengan Timothius. Meski kau berkata sudah berakhir, dan itu memberikan penjelasan yang cukup untuk yang lain, baginya kata-katamu hanyalah kalimat sederhana sekadar menyumbat arus. Kakak lelakimu itu menginginkan penjelasan berhubung ia telah berbicara tentang keseriusan Timothius padamu. Sewaktu kau bilang alasan kalian putus lantaran tak cocok, ia tak percaya begitu saja. “Seharusnya jangan putus hanya karena dia lebih muda darimu June.” Namun sewaktu kau meminta dukungan padanya, ia berkata bahwa yang perlu kau lakukan ialah memantapkan dirimu.
Hari itu, penghujung tahun 2017, artinya sudah lebih dari dua tahun semenjak kau tak menjumpainya di halte pada malam hujan waktu itu. Kakak lelakimu berkata dengan sepenuh hati bahwa yang kaulakukan bukan cara terbaik apabila masih ada hubungannya dengan mantan kekasihmu. “Kenapa kau masih membicarakannya di saat-saat seperti ini Kak?” tanyamu dengan mata sembab. Ibumu memperhatikan kalian dengan seksama di sisi lain tempat terakhir yang kaupijak sebelum pergi meninggalkan tanah kelahiranmu. Sementara ayahmu seperti tak mau menyaksikan apa-apa. Pura-pura tidur dan tetapi sebetulnya memperhatikan tiap detail gerakanmu di situ.
“Karena aku tak mendengar adanya ribut-ribut di antara kalian,” jawab kakakmu.
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Bahwa usia kami terpaut jauh dan dari situlah hal-hal buruknya berasal, aku sama sekali tak bisa menampiknya. Sewaktu kami berusaha mengatasinya dan menurut penilaianku itu gagal, aku juga tak bisa memaksa diriku lagi. Kak, tolong jangan bahas itu lagi.”
“Kalau kau tak ingin membahasnya, kenapa kau harus pergi sejauh ini?”
***
Hujan mulai turun saat kau masuk ke dalam pesawat dan duduk di dekat jendela. Beberapa hari sebelumnya, saat sepupu-sepupumu datang untuk mendoakan keselamatanmu selama perjalanan, Steven memberikanmu sebuah kado. Katanya, itu bukan kado perpisahan. Tetapi hadiah ulang tahunmu ketiga puluh dua yang kau rayakan tahun depan di negara lain. Saat ia memberikan kado tersebut, kedua matanya merah. Ia memelukmu sambil menahan sengguk. Tapi ia tak bisa menahan tangisnya juga. “Semoga hadiah itu cocok buatmu,” ujarnya sambil menyembunyikan matanya yang sembab. Kau tertawa, tapi kau tidak bisa tidak menangis juga. Kau tidak sepenuhnya menangis karena Steven. Tetapi karena sampai hari itu, sampai hari keberangkatanmu ke bandara, ayahmu belum juga memberikanmu restu secara lisan. Sewaktu kau memberi tahunya akan pindah ke Jepang dan bekerja di sana untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, ayahmu hanya mengangguk. Itu pun dilakukannya agak lama dan seperti setelah memikirkannya terlebih dahulu. Kau tidak mendengarnya bicara secara langsung, tapi ibumu berbicara pada adik perempuanmu yang bungsu di dapur. Saat mereka sedang memasak makan malam berdua dan ibumu tak berhenti menahan air matanya lantaran kau pergi meninggalkan masa-masa sulit hubunganmu yang rumit dengan Timothius.
Suaranya memang tidak jelas, karena serak juga lantaran dadanya yang sesak akibat menahan rasa pedih. “Kalau begini jadinya, dulu aku sudah menuruti kata-kata ayahmu agar ia tidak memiliki hubungan apa-apa dengan bocah itu.”
Adik perempuanmu mengusap-usap punggung ibumu yang mulai bergetar. Di sisi lain dapur rumahmu yang luas, adik lelakimu memangku saudara kandung Riyo sambil menggelitik bagian belakang telinganya. “Bu, sudahlah,” kata adik perempuanmu. Tapi kata-katanya justru membuat tangisan ibumu semakin keras.
“Sudah-sudah bagaimana! Kakakmu pergi gara-gara bocah laki-laki itu. Kalau bukan karenanya, kakakmu pasti tak akan ke mana-mana juga!”
“Bu, Ibu. Mungkin ada benarnya juga June pergi karena masalahnya dengan Timothius. Tetapi dia tak sembarang pergi. June akan bekerja di sana. Bukankah saat ia meminta les privat bahasa Jepang Ibu bertanya-tanya padanya, apakah ia akan pergi ke sana suatu kali? Bu, aku masih ingat. Waktu June menggeleng menjawabmu, ibu berkata padanya, ‘pergilah ke sana, itu kan gunanya kau belajar bahasa Jepang’. Bu, kalau sekarang dia pergi ke sana, pasti karena dorongan itu juga.”