Yang Tenggelam di Dasar Kenangan

Herman Trisuhandi
Chapter #26

Seandainya

Tak ada gunanya juga menangis. Ujarmu berkali-kali di dalam hati. Perjalanan menuju ke bandara menjadi momen yang paling menyakitkan bagimu, padahal. Tetapi apa gunanya menangis? Semua orang mendoakanmu itu lebih dari cukup. Semua orang ikut pergi mengantarmu ke bandara membuatmu semakin tegar. Walaupun mereka tak bisa menahan diri, tetapi apa yang diberikan padamu, melepasmu pergi sebanding dengan rasa pedih yang telah kautorehkan. Sekarang berbahagialah. Sebab, mereka, seluruh keluargamu tidak bersedih untuk melihatmu bersedih. Jadi jangan lakukan itu. Jangan buat seolah-olah mereka tak membantumu.

***

Dua hari setelah kau pergi, rumahmu mirip kapal pecah. Begitu berantakan. Piring kotor bertumpukkan di tempat cuci. Wastafelnya mampet, dan kalau adik lelakimu tak kebetulan pergi ke sana, seluruh ruangan itu pasti telah dipenuhi air. Ruang makannya bau nasi basi. Debu melapisi lantai keramik yang biasa mengilap. Hampir selama dua hari itu pula lampu-lampu tidak dinyalakan. Kenapa? Ada apa? Ke mana semua orang? Ayah, apakah adik-adik tidak membersihkannya? Apakah Ibu tidak menghubungi orang yang biasa datang untuk membersihkan semua kekacauan itu?

Tidak. Orang itu tidak datang. Ibu menghubunginya untuk tidak datang sementara waktu. Ibumu tidak melakukan apa-apa, yang artinya ia juga tidak mengizinkan siapa pun mengerjakan pekerjaan rumah. Kalau lapar, kami membeli makanan di luar. Itu tidak masalah. Yang menjadi masalah karena ibumu hanya berbaring di kasur selama itu. Dia hanya bangun untuk ke kamar mandi. Saat kami memberikannya makan, ia hanya diam saja. Kami telah berusaha membujuk, tapi ibumu bilang dia baik-baik saja. Dia berkata bahwa ia tak akan mati hanya karena tidak makan. Saat kami tak berhenti membujuk, Ibu berkata dengan marah bahwa kami seharusnya menyadari situasi berkabung yang menyelimuti keluarga ini. Kepergianmu June, Ibu anggap sebagai peristiwa pahit. Balasan setimpal atas perilaku buruk keluarga ini pada mantan kekasihmu dulu. Jadi inilah saatnya, saat balasan atas dosa-dosa yang telah kami semua perbuat, mau tak mau kami harus menanggungnya. Jika dibandingkan dengan rasa pedihmu, suasana rumah yang kotor dan berantakan ini belum ada apa-apanya. Sambil bercucuran air mata, ibumu berkata dengan suara yang serak, “Beginilah penampakkannya dalam hati seseorang yang berhasil membuat perasaan orang lain menjadi buruk.”

Kakak sulungmu berkata bahwa itu tidak benar. Yang ibumu rasakan saat ini hanyalah bentuk kesedihan yang seharusnya mudah diatasi. Sebab segalanya telah selesai. Kau memilih tinggal di luar negeri karena itu jauh lebih membantumu. Kakak sulungmu berkata dengan penuh keyakinan, semuanya akan baik-baik saja. Kau akan kembali kapan pun waktunya. Lagi pula, apa gunanya telepon kalau jarak menjadi persoalan seolah-olah kau pergi ke dunia yang tak bisa kami jangkau lagi. Tapi ibumu tetap bersikeras, ia menganggap kami semua tak mengerti.

“Bagaimana Ibu bisa berkata seperti itu? Kalau benar kepergian June adalah balasan atas dosa-dosa yang telah kami perbuat, bukankah kami juga tengah menanggungnya? June pergi, meskipun dia akan kembali, kami juga merasa kehilangan dan tersiksa karena itu. Bahkan saat menyadarinya semenjak awal dan Ibu tak bisa mencegahnya pergi, jauh di lubuk hati Ibu pasti Ibu menyetujui bahwa keputusannyalah yang akan membantunya.”

“Jadi, sekarang kau menyalahkan ibu?”

Pada hari keempat, kami menemukan Ibu tergeletak di sofa ruang tamu. Meskipun matanya membuka dan ia masih bernapas, tapi ia tak bergerak sama sekali. Iparmu yang laki-laki yang membopongnya dan membawanya ke rumah sakit. Ibu tidak kenapa-kenapa, kepalanya terasa sakit karena ia menolak makan selama empat hari. Tubuhnya lemas dan ia kena malnutrisi. Waktu adik perempuanmu yang bungsu menghubungimu, Ibu menolak berbicara denganmu. Sebaliknya, Ibu meminta agar ia tidak mengatakan apa-apa padamu. Meski ia berkata bahwa kau tak perlu bicara apa-apa padanya, tapi kami semua mengerti bahwa ia tak mau membuatmu kuatir. Selama berbulan-bulan, Ibu tak mau mendengar apa-apa tentangmu. Kalau kau menelepon, ibumu pura-pura tidur atau pura-pura tak mendengar. Saat kami berkumpul di ruang tamu untuk melakukan video call denganmu, diam-diam Ibu menyelinap pergi ke rumah kerabat lewat pintu belakang. Ibu akan pulang setelah dua atau tiga jam. Tetapi kadang-kadang, saat adik perempuanmu yang bungsu pergi mencarinya, Ibu tak bisa menolak ajakannya pulang. Saat ia berkata pada ibumu dengan wajah berbinar-binar, memberi tahu betapa cantiknya dirimu memakai kimono merah muda dan kau menyelipkan bunga sakura di telingamu, Ibu bergegas pulang untuk segera melihatmu. Walau setelah pandangannya terpaku pada layar laptop dadanya terasa sesak hingga membuatnya tak bisa berkata apa-apa. Saat kau berkata bahwa kau sangat merindukannya dan memuji kalu Ibu terlihat cantik, sesudahnya Ibu akan menyembunyikan tangisnya lantaran memakai baju serba hitam pada hari-hari di mana kau akan menelepon ke rumah. Seolah-olah kini hukuman itu hanya diberikan pada Ibu seorang.

Sewaktu kami membuat perayaan ulang tahun untukmu, Ibu diam-diam membuat kue beras yang di dalamnya diisi daging ayam cincang dan bunga kecombrang. Ibu mencampur beras dan beras ketan lalu mengaronnya dengan santan. Sehari sebelumnya, setelah ia mencuri dengar percakapan kami di ruang tamu, Ibu menyuruh wanita yang bekerja membersihkan rumah di sini mencari daun bambu. “Harus yang besar dan sudah tua.” Sewaktu ia bertanya buat apa, Ibu menjawab dengan kesal kalau ia akan membuat kue beras untuk perayaan ulang tahunmu. “Nyonya, apakah cara membuatnya seperti itu ya? Aku tidak tahu soalnya.” Ibumu tidak membalas pertanyaannya. Ibumu bahkan tidak tahu secara pasti resep dari kue beras yang asli seperti apa. Dan bagaimana juga cara membuatnya. Ibu hanya mengerjakan pekerjaannya membuat kue beras mengikuti kata hatinya saja. Dulu, saat Ibu kehabisan ide membuat masakan apa, ia hanya coba-coba mencampur bahan yang ini dengan bumbu itu. Lalu dimasak seperti itu. Saat mendengar kue beras sewaktu masih muda dulu, yang ada di dalam pikirannya ialah mencampur beras dan beras ketan dengan perbandingan yang sama lalu mengaronnya dengan santan. Selagi menunggu nasinya setengah matang, ia membuat isian dari daging babi atau ayam yang entah mengapa selalu dicampur dengan bunga kecombrang kalau bukan rebung. Setelah itu ia akan membungkusnya dalam bungkusan daun seperti ketupat dan mengukusnya selama tiga puluh menit. Daunnya akan lebih beraroma kalau memakai daun bambu yang sudah tua. Seperti ikan pindang. “Bukankah pakai daun pisang juga sama sedapnya?” tanya wanita itu. “Jelas tidak,” jawab Ibu. “Daun pisang akan memberi warna hijau pada nasi seperti daun jati memberi warna merah. Daun bambu itu sudah paling benar.”

Saat semua orang menikmati kue beras buatannya, Ibu bercerita tentang perjuangannya membesarkanmu yang lahir prematur. Meski sudah berpengalaman melahirkan tiga orang anak, tapi melahirkan bayi prematur membuatnya kewalahan. Ibu tak berdaya seolah-olah tak tahu bagaimana caranya mengurus bayi. Ibu menangis lebih lama darimu yang menangis karena kehausan atau karena mengompol saat tengah malam. Karena keseringan tidur telentang dan keberadaanmu di sisinya nyaris tak kelihatan, Ibu merasa seperti belum melahirkan. Tapi setelah kau mengeluarkan suara lirih dan ia memegangi perutnya, ia segera meraihmu dan memeluknya di dada.

Lihat selengkapnya