Yang Tenggelam di Dasar Kenangan

Herman Trisuhandi
Chapter #27

Dengarkan Apa Kata Hatimu

Selamat malam, June.


Pesan yang kauterima pertama kali setelah mengenalnya. Bahkan saat itu masih pukul 18.20. Belum malam, jawabmu. Lalu ia menjawab; “Baiklah. Kalau begitu, ‘hai June’”. Kau menjawabnya setelah beberapa saat. Setelah semua urusanmu selesai dan omelan ibumu berhenti berdenting bersama kesibukanmu di dapur. Kau baru saja menyingkirkan piringmu saat ayahmu menanyakan pendapatmu tentang laki-laki yang dikenalkannya minggu lalu. Kau mencari-cari alasan, berkata kalau laki-laki selain tukang minum juga perokok berat. Selain itu, ia juga tampak seperti mata keranjang. “Jangan sembarangan! Memangnya dari mana kau bisa tahu mengenai hal itu.” Aku mempelajarinya dari Ibu, ujarmu. June, tak ada salahnya kalau kau dikenalkan dengan laki-laki yang dikenal baik oleh ayahmu. Setidaknya ayahmu telah melihat sendiri sisi-sisi baiknya, ujar ayahmu memohon. Kau tidak membuang muka. Sebaliknya, kau menatap ayahmu seakan-akan kau tidak baru saja mendengarkan kata-katanya yang memohon seperti itu. “Memang tidak. Tapi dijodohkan seolah-olah dua puluh sembilan tahun sudah tak memiliki kesempatan memilih sendiri jodohku.”

June, ayah sudah tua. Tolong untuk tidak hanya memikirkan dirimu sendiri.

***

Kyoto, Rabu 24 Juli 2019. Dini hari. Seluruh rumah bau ikan rebus dan keju. Botol sake di mana-mana. Balon warna-warni juga memenuhi lantai. Tidak begitu banyak, di atas meja, di pinggir kotak pizza yang sudah kosong tergeletak setengah bungkus balon yang belum ditiup. Dan, seolah-olah itu untuk pertama kalinya, kau menonton televisi bersama Nezumi yang sekarang sudah teler. Tidur telentang dengan posisi kaki yang ke mana-mana. Gadis itu mengizinkanmu menyalakan tivi, walau sebetulnya tak ada perjanjian khusus kalau kau tak boleh menyentuh benda itu. Tapi saat ia datang ke tempat kerja sampinganmu dan membeli sake, ia berkata seolah-olah benda berukuran empat belas inchi itu baru ada di sana. “Hari ini kau boleh menyalakan tivi. Semalaman juga tak apa-apa. Aku sedang baik padamu karena hari ini hari ulang tahunku.”

“Apa kau menginginkan hadiah dariku?”

“Tidak. Tak perlu. Aku tak menginginkan uangmu.”

June, kau selalu menyadarinya. Kenapa kau selalu terheran-heran juga? Sudah lama, ya? Tapi rasanya baru kemarin. Sekarang usiamu tiga puluh empat tahun. Kalau ada yang mengatakan kau sudah cukup tua, maka kau akan menjadi sangat tua. Begitu pula sebaliknya. Namun begitu, kenapa sih umur seseorang selalu dicermati?

Sebelum tidur, Nezumi menggeremengi banyak hal. Tentang usianya yang sudah tiga puluh delapan tahun, dia bahkan lebih tua empat tahun darimu, tapi sikap dan sifatnya tak jauh berbeda dengan anak TK. Tentang bagaimana sulitnya masa kecil Tada dahulu. Bukan hanya karena ia harus menanggung beban hidup mereka berdua setelah kebakaran rumah yang menghanguskan keberlangsungan hidup mereka seketika itu, tapi karena semasa hidup pun, sang ayah lebih banyak memberikan penderitaan ketimbang sebaliknya. Saat produksi tahunya lancar dan sukses, ayahnya berkata kepada orang-orang bahwa kesuksesannya berkat memiliki anak seperti Tada. Ia semacam jimat hidup, ujarnya. Tapi setelah pabrik tahunya bangkrut dan ayahnya menjadi seorang pemabuk, penderitaan yang ia timpakan selama ini, yang ditutup-tutupi dengan sikap manis, tak bisa disamar-samarkan lagi dengan cara apa pun. Sehingga ia tak pernah tak bisa menduga bahwa tragedi kebakaran rumah yang menewaskan ayah dan ibunya bukan lain karena disengaja. Dan ayahnyalah pelakunya. Tak peduli bukti-bukti mengacu bahwa kebakaran itu dipicu oleh listrik yang korslet. Tetapi, orang seperti ayahnya bisa saja melakukan hal-hal semacam itu seolah tak perlu berpikir dua kali.

“Ah, sudahlah. Kalau diingat-ingat hanya bikin kesal. Kau juga, bisa-bisanya tak memintaku berhenti menceritakan hal sedih begini di hari ulang tahunku!”

“Kenapa aku lagi yang salah? Bukankah tadi aku sudah menyela ya? Aku bertanya padamu, kenapa tidak merayakan di luar? Kenapa kau tidak menghubungi Tada?”

“Sudah kubilang, lewat usiaku tiga puluh lima aku tak mau pesta haha-hihi. Sementara kakakku, paling-paling dia akan mengucapkan selamat. Atau pura-pura lupa kemudian baru mengucapkan selamat. Belakangan dia sibuk sekali. Kau sendiri tahu pekerjaannya di bidang properti itu bagaimana repotnya. Belum lagi, saat kami bicara, dia selalu melibatkanmu di dalamnya. Itu membuatku senewen. Aku kan hanya pengin ngobrol yang tentang kami berdua saja. Tapi kakakku selalu saja punya alasan untuk menyebut namamu. Seolah-olah aku tak akan melihatmu di rumah minimal delapan jam sehari. Menyebalkan sekali.”

Lihat selengkapnya