Yang Tenggelam di Dasar Kenangan

Herman Trisuhandi
Chapter #28

Semua Yang Sama

Apa kau cukup yakin dengan kata-katamu?

Apa aku cukup yakin dengan kata-kataku? Apabila yang kaumaksud adalah, apakah aku cukup jujur terhadap diriku sendiri? Maka yang akan kaudengar adalah kalimat-kalimat panjang membosankan yang akan menenggelamkanmu ke dalam tidur lebih cepat ketimbang gara-gara mabuk minuman. Tapi, karena kau orang yang sangat keras kepala dan tidak sabaran, tak peduli kau akan terkantuk-kantuk, atau bahkan mengumpat dan mengancam akan memukulku, kurasa aku mulai tak mempedulikan hal itu lagi. Selain karena kau tak pernah benar-benar memukulku atau semacamnya, kata-katamu barusan betul-betul membuatku merasa tersinggung. Seolah-olah aku bocah kemarin sore dan yang kuucapkan tadi hanyalah kalimat-kalimat asal lontar.

Aku tahu, kau pun tidak cukup yakin pada dirimu sendiri. Kau merasa bahwa setiap keputusan yang kauambil selalu salah karena kau senantiasa dicermati dan disalah-mengerti. Sehingga, kau pun lebih sering menumpuk hal-hal yang tak beres ketimbang yang beres manakala mengerjakan sesuatu. Sampai-sampai kau pernah dijuluki Nezumi-si-jauh-dari-kerja-beres. Seakan-akan seluruh dunia tak akan menyangka apabila kau berhasil mengerjakan sesuatu. Orang-orang lebih suka berpikir bahwa itu hanyalah keberuntungan kalau bukan-murni hasil kerja kerasmu sendiri. Pasti ada semacam ‘mukjizat’ yang menjadi pijakan kakimu agar kau terlihat melakukan sesuatu. Seperti misalnya saat kau berhasil masuk Universitas Kyoto. Orang tua asuhmu bahkan tersenyum ragu-ragu kalau itu hasil kerja kerasmu sendiri. Lebih percaya, itu karena campur tangan kakakmu, Tada, yang membuatmu bisa masuk universitas negeri terbaik di Kyoto ini. Yang entah bagaimana caranya, kakakmu itu pasti bisa mengatasi tiap hambatan agar dapat membantumu. Begitu pula saat kau lulus dengan nilai yang tidak mengecewakan. Lalu bekerja di tempat yang banyak diimpikan orang. Saat mereka memberikan selamat, raut keheranan mereka lebih menonjol ketimbang ucapan mereka sendiri. Seseorang, entah karena ia begitu lugu sehingga cukup mampu untuk berterus terang padamu atau sebetulnya ia hanya sedang mengejekmu? Ia bertanya di depan sebuah toko roti pada sekitar hari Rabu musim semi setelah turun hujan, dia berkata dengan nada yang seakan-akan telah lebih sering ia ungkapkan ketimbang yang tidak, “Dari mana kau mengenal dukun andal yang membantumu?”

Kau, yang entah sama lugunya atau sebaliknya, cukup pintar untuk mengakali pertanyaan mengesampingkan seperti itu, dengan wajah polos menjawab, “Kau mau pergi ke sana juga? Kalau iya, tenang saja. Aku masih menyimpan alamat rumah dan nomor teleponnya.” Gadis itu, yang kaukenal semenjak masih kelas tiga semenjak pindah ke sini sebulan paska tragedi, hanya melotot padamu sebelum pergi. Tapi—entah karena kau menemukan cara tepat untuk mengatasi permasalahan seperti itu atau karena kau masih sama lugunya, memanggil-manggil namanya dengan bersuara agak keras, “Nami, orang yang ingin kautemui namanya Aka! Dia tinggal di desa Hedo di dekat bekas kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi! Nami-san!”

Nezumi, atas alasan itulah kau beranggapan semua orang juga melakukan semua apa yang pernah kaulakukan. Seperti misalnya, anak paling pintar di kelas enam dulu, dia pernah ketahuan membawa seekor hamster yang bukan miliknya. Hamster itu dia pungut diam-diam dari kandang seorang anak gadis SMA saat menunggu bus di halte. Kau mengetahui hal itu karena kau melihat anak itu diam-diam membukan kandang dan mengambilnya. Anak itu bahkan menatapmu selama beberapa saat selagi mengambil dan buru-buru memasukkannya ke dalam tas. Di sekolah, anak laki-laki itu tak berani menatapmu saat berpapasan. Hal itu berlangsung hingga kelas enam. Waktu itu kejadiannya saat kelas empat. Dan pada hari kelulusan, anak laki-laki itu menghampirimu dan meminta maaf. Kau bahkan tidak begitu ingat siapa namanya. Wajahnya pun terkadang dapat kau ingat meski hanya samar-samar. Termasuk saat ia tiba-tiba mendekatimu lalu membungkuk dan berkata, suaranya bergetar, “Maafkan aku!” kau hampir tak bisa mencerna apa yang dilakukannya itu padamu sebelum akhirnya kau teringat pada gadis malang itu, yang pasti amat sedih kehilangan seekor hamster dari kandangnya. Pun begitu ia pasti juga tak habis-habis menyalahkan dirinya sendiri karena sudah teledor sehingga binatang peliharaannya itu lepas begitu saja serupa gelembung busa meletup di udara.

Lain hari dan lebih awal dari hari pemungutan diam-diam hamster oleh anak laki-laki paling pintar di kelas, gadis yang dua belas tahun lalu memenangi kontes kecantikan dulunya pernah mengompol di celana di dalam kelas. Gadis itu menangis histeris sembari meminta maaf. Guru yang menyadari hal tersebut segera mendekat dan membantunya.

Sungguh, sejujurnya amat mudah memberikanmu jawaban sederhana. Dan bukannya mencekokimu dengan serentetan cerita rumit yang mungkin membuatmu senewen karena merasa dipermainkan. Tapi maafkan aku juga, sungguh. Bagaimana pun, aku sama keras kepalanya denganmu. Dan di situlah letak permasalahannya. Bahwa aku hanya sedang memperalat kata maaf untuk menghindari pertanyaan-pertanyaanmu yang tak ingin kujawab. Seperti misalnya sewaktu kau bertanya apakah aku masih lajang atau tidak. Sebetulnya aku memiliki jawaban pasti mengenai ‘statusku’ pada waktu itu. Satu bagian di dalam diriku mendorong aku untuk menjawabmu. “Apa susahnya, hanya tinggal jawab ya dan tidak saja!” Tapi satu bagian yang lainnya lagi mencegahku. Merekatkan lidahku erat-erat pada dinding mulut hingga rasanya kebas.

Aku berada di titik tengah yang rapuh. Saat aku terdiam dan membuatmu merasa tidak enak hati padaku—walau kau juga sok memperlihatkan ekspresi tak peduli, tapi itu jauh membantuku. Sungguh aku sangat berterima kasih padamu karena itu. Maafkan jika terlampau egois. Sebab kalau tidak, segala upayaku menjadikan satu masa dalam cerita hidupku di masa lalu yang telah kutinggalkan hanyalah sebatas peristiwa biasa akan berantakan. Perjudianku dengan waktu hanya akan membuat peran penting seluruh keluarga di dalam hidupku menjadi tak berguna sama sekali. Maafkan jika aku tak berani seperti dirimu. Tapi jauh di dalam lubuk hatiku aku memiliki tekad. Perlahan-lahan aku memikirkan cara lain mengingat upaya lama rasanya terlampau lamban mendekatkan aku dengan tujuanku. Padahal, aku sudah pergi sejauh ini. Jadi aku memikirkannya tiap malam. Bukan. Bukan hanya tiap malam. Tapi sepanjang waktuku yang merambat pelan-pelan di pelataran tanah dingin ini. Setiap ingatan yang menetes seperti lelehan salju pada atap di ujung musim dingin. Tiap tetes yang meresap ke dalam tanah menumbuhkan akar kenangan yang sulit tercerabut. Aku musti menguatkan diri. Kuingat-ingat lagi bagaimana sikapku saat tekad ini muncul. Saat aku memutuskan untuk berhenti menghubungi maupun menerima panggilan dari Timothius. Masa lalu yang kusembunyikan darimu maupun dari kakakmu rapat-rapat. Bukannya aku berbuat sesuatu yang tak pantas terhadap kalian berdua. Tetapi, inilah yang tengah kuupayakan agar peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi bukan sesuatu yang harus kusesali karena telah mencampakkannya. Salah satu alasan yang mendorongku meninggalkan seluruh keluarga di tanah kelahiranku.

Namun begitu ketahuilah, aku bukannya tidak pernah memikirkan dampak dari tindakanku yang, katakanlah, telah semena-mena. Orang-orang yang telah kucampakkan tak akan pernah lupa dengan perilaku pahitku yang membuat perasaan mereka sengsara. Aku tidak mengatakannya untuk membela diriku sendiri kalau aku pun terluka, dalam kondisi semacam itu memang siapa yang tidak? Tapi aku tak memberi tahunya alasan kenapa aku pergi, kenapa aku berhenti mengangkat teleponnya hanya akan membuatku berhenti mendekati tujuanku.

Sewaktu saudara-saudaraku meminta agar aku membicarakan masalah yang timbul antara diriku dengan Timothius dari hari ke hati, aku hanya diam. Saran-saran yang mereka lontarkan tak kusentuh sama sekali. Kakak perempuanku meminta agar aku mempertimbangkan usiaku yang mendekati tiga puluh tahun. Di negaraku, apabila perempuan telah berkepala tiga dan masih lajang, kami akan mendapat cap buruk. “Kau sudah tua,” kata kakakku. “Memangnya siapa yang bilang aku masih remaja?” kataku dengan perasaan yang tercabik-cabik.

“Perilakumu!” kakakku menekan kata-katanya dengan urat mata yang menonjol. Rahangnya mengeras. Dan kedua tangannya mengepal, persis seperti ketika kau menghardik hendak memukulku.

“Memangnya kenapa dengan perilakuku?”

Bukannya menjawab, kakak perempuanku berlari ke kamarku. Ia lalu membuka lemari pakaianku dan mengeluarkan setengah isinya. Menebarkannya di lantai seolah-olah barang-barang itu hanya sumpalan-sumpalan yang tak ada gunanya. Pada saat itu aku berteriak memintanya berhenti, aku bahkan menarik kardigan dari gantungan yang dia pungut dari tangannya.

“Kau ini kenapa!”

“Membantu memperbaiki perilakumu!”

“Memangnya ada masalah apa dengan perilakuku!”

Lihat selengkapnya