Ibuku tidak berkata apa-apa mengenai pertengkaranku dengan kakak perempuanku. Tentu saja, kalau itu boleh disebut pertengkaran. Kakak sulungku meneleponku pada sekitar pukul tujuh malam tak lama setelah aku menelepon Tim. “Aku tidak akan berkata panjang lebar, aku hanya ingin kau tak lupa kalau aku tak suka kau bersitegang dengan saudaramu hanya karena anak laki-laki itu.” Di dalam mulutku, kata-kata pembelaan bahwa Tim bukan pemicunya—walaupun persoalan yang terjadi itu masih bersinggungan dengannya, lumer bersama air ludah yang pahit dan tetapi terpaksa aku telan juga. Kakak sulungku tak keberatan jika aku punya pendapat lain, namun aku memilih untuk tidak memperpanjang masalah itu. Lebih penting, aku merenungkan kata-kata ‘anak lelaki itu’, mencari-cari apakah ada yang salah dengan penyebutannya sehingga dapat kuperbaiki atau tidak sama sekali.
Esok subuhnya, ketika bangun, ibuku sedang menatapiku. Ibu tidak sedang menangis, walau saat itu aku merasa ibuku sedang menangis. Saat aku bertanya ada apa? Ibu hanya diam saja. Lalu bangkit dari tempat tidurku dan berjalan menyingkap jendela. Karena di luar masih gelap, Ibu kembali menutup jendela dan duduk di tempat tidurku. “Ini masih gelap, kenapa kau bangun. Tidurlah.” Kata Ibu.
Aku tidak tahu harus berkata apa, jadi aku pun diam saja. Sementara Ibu, meski ia menyuruhku kembali tidur, ia sendiri tak pergi tidur lagi juga. Setelah agak lama, Ibu mulai bicara. Suaranya pelan. Hanya terdengar seperti suara kecap-kecap saja. “Apa yang dikatakan kakakmu, ada benarnya juga.”
Di bawah selimut, aku memeluk bantal begitu erat. “Lalu di mana letak salahnya, Bu?”
Ibu menatapku lagi. Kali ini, kelihatannya hampir seperti bahwa ia hendak menangis. Tetapi, ibuku wanita tegar yang rasa-rasanya tak tahu bagaimana cara terbaik untuk bisa menangis. Seolah-olah ia memang tidak tahu menahu perkara menangis itu apa? “Tidak ada yang salah hanya karena kakakmu mengatakan sesuatu yang seharusnya ia katakan. June ....” aku menunggu Ibu melanjutkan kata-katanya, itu terlalu lama dan sangat lama. Hingga di dalam kepalaku, yang sudah terasa cenat-cenut semenjak kupeluk bantal, muncul wajah muram Timothius yang membuatku merasa bersalah. Amat merasa bersalah terhadapnya. Wajahmu muncul seperti kau ingin meminta sesuatu padaku. Sesuatu yang amat berat kuberikan padamu.
“Bu, Ibu.”
“Tidurlah.”
“Sebetulnya amat banyak yang ingin kutanyakan padamu. Aku tahu kau pasti memiliki jawabannya. Karena itulah aku hanya ingin bertanya padamu.” Aku bahkan tak percaya bahwa aku dapat mengungkapkan hal ini pada ibuku. “Bu, Ibu, bencikah engkau pada Timothius? Dulu, setiap kali baik kakak atau adikku hendak menikah, Ibu selalu berkata bahwa Ibu tak memiliki alasan untuk tidak menyukai calon menantu Ibu. Walaupun kadang-kadang Ibu juga tak menyukai seseorang tanpa sebab, tapi untuk calon menantu Ibu, Ibu tak akan mencari-cari kesempatan untuk itu.”
“Kau ini! Kenapa kau bertanya seperti ini pada ibumu!”
“Karena aku ingin tahu, Bu.”
“Ingin tahu apa! Dengar, kalau kau berkata pada ibu bahwa anak lelaki itu tidak akan menikahimu pun, ibu sama sekali tak membencinya. Bahkan ibu sendiri tak tahu harus berkata apa, maka dari itulah ibu tak mengatakan apa-apa. Lebih baik memang tidak mengatakan apa-apa saat kau tak memiliki pengetahuan mengenai apa pun.”
“Tapi Ibu bilang Kakak ada benarnya juga. Bu, Ibu, tolong jawab aku. Jangan diam saja. Bu, Ibu.”
***
Sekarang kelihatannya Ibu menangis. Ibu diam dan bergerak sama sekali, sampai-sampai aku menggoncang-goncangkan tubuhnya dengan agak keras. Saat adikku terbangun gara-gara suara tangisku, ia ikut memanggil-manggil Ibu. Saat Ibu melenguh seperti menyuruh agar kami diam, adikku menatapku dengan penuh tanya. “Kau kenapa?”
***
Aku kenapa?
Dik, sebelum aku menjawabmu, bolehkah aku bertanya, seberapa sering kau bertanya seperti itu padaku? Tak apa, hanya saja dalam sebulan ini kau lebih sering mengatakan kata-kata itu padaku ketimbang pertanyaan yang lain. Aku takut kau kebingungan terhadapku, sehingga kau akan kesulitan menyatakan suatu perasaanmu padaku. Aku takut kalau terlalu lama dibiarkan, akan membuatmu merasa asing terhadapku. Kau pun juga Tim. Aku tidak menghitungnya secara pasti, tapi kata-kata yang kauucapkan terhadapku terus berputar-putar di kepalaku seperti burung di dalam film kartun. Kemarin, setelah kau tak memberiku kabar sama sekali selama empat hari berturut-turut, akhirnya aku terpaksa pergi ke rumahmu. Kandang Riyo yang baru saja kau bersihkan tengah kau jemur di depan pagar besi yang menghadap ke timur, menjemput sinar matahari yang baru muncul setelah mendung mendadak muncul di pertengahan musim kemarau. Kau bertanya, “Kenapa ke sini?” meski raut mukamu lebih memperlihatkan kebahagiaan ketimbang sebaliknya. “Karena kau tidak muncul-muncul,” kataku sebelum Riyo muncul dari dalam, mengitari kedua kakiku dengan lidah menjulur minta dikugendong.