Jelas tidak. Tapi tak apa, aku memakluminya. Sungguh, jangan merasa bersalah. Tidak semua orang harus kautolong. Termasuk aku.
***
“Selain berbakat menjengkelkan, kau juga pikun ya! Sudah berminggu-minggu, tapi kau belum juga memberikanku jawaban. Kau ini anggap aku apa! Kemarin kau menghabiskan waktu bersama kakakku, kau terlihat sangat bahagia dan biar bagaimana, aku ikut merasa senang juga lantaran senyuman kakakku terus mengembang sampai aku yakin bahwa aku pun ikut tersenyum. Jadi, June! Hei, lihat sini! Kukira kau ... perasaanmu itu, pasti tengah diliputi kebahagiaan. Untuk itu seharusnya kau bisa lebih mudah memberikan jawaban yang seharusnya menjadi hakku!”
Kalau itu betul-betul penting buatmu, maka akan kuberikan padamu apa yang kauminta. Sejujurnya, aku tidak keberatan sama sekali. Hanya saja, waktu kau bilang pertanyaanmu itu mudah untuk dijawab, itu tidak juga. Karena aku butuh waktu untuk mengelola perasaanku. Seperti waktu aku mengumpulkan tekad untuk pindah ke sini. Itu tidak sebentar dan sama sekali tak mudah.
Pertama-tama, biar kuberi tahu bahwa sesungguhnya kau membuatku sedikit merasa sedih. Tidak, aku tidak menyesali tindakanmu. Namun, sewaktu kau meminta pendapat dariku, nada bicaramu seolah-olah kau telah menggantungkan keputusanmu padaku. Sehingga saat aku mengulur waktu, seolah-olah aku tak akan bisa membantumu sama sekali. Tak ada gunanya bagimu bersama orang yang tak membantumu sama sekali. Lebih menyedihkan lagi saat suara di dalam hatiku berkata bahwa yang perlu kaulakukan hanyalah mengikuti kata hatimu. Segala yang benar bersumber dari sana. Dan itulah yang kulakukan. Yang akan kukatakan padamu adalah apa-apa yang telah kulakukan. Jadi bukan dari pengalaman orang lain, atau malah membaca dari buku-buku psikologi tentang pengembangan diri.
Saat pindah ke sini, aku memutuskan menggunakan nomor lokal untuk mempermudah komunikasi di sini. Toh, untuk urusan menghubungi sanak-famili di kampung halaman—begitu pula sebaliknya, lebih mudah mengandalkan layanan penyedia jasa komunikasi dengan akses internet. Zaman sudah begitu maju. Sepuluh tahun lalu, telepon reguler dan SMS masih jadi andalan sebagai media berkomunikasi. Sekarang ini, cara manual seperti itu sudah jarang digunakan lagi. Tapi aku masih menyimpan ponsel lamaku yang menyimpan data-data diriku empat tahun silam. Ponselnya juga masih menyala walau jarang sekali kugunakan. Terakhir kali membukanya sekitar dua minggu lalu. Atau mungkin lebih lama dari itu. Aku tak ingat kapan persisnya. Waktu itu kau pergi selama empat hari ke mana entah. Kau tidak memberi tahuku secara pastinya. Kalau menelepon, yang kaukatakan hanyalah, “Jangan merebus ikan pakai panci pengukus! Jangan gunakan kain bekas untuk mengepel!” Dan saat kau pulang, kau bercerita padaku dengan wajah berseri-seri, “Dia pria gendut yang lucu. Umurnya baru tiga puluh tahun. Tapi sayangnya kami sepakat tidak melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Dia bahkan memintaku untuk tidak menghubunginya lagi sesudah hari itu. Hanya saja, kalau memang kami ditakdirkan bersama, kami pasti akan berjumpa lagi.” Saat kau bercerita padaku seperti itu, aku sedang berusaha melupakan isi pesan Timothius yang kubaca di sana, di ponsel lamaku itu. Pesan-pesan itu dikirim beberapa tahun lalu. Sebelum aku pindah ke sini. Selama rentang waktu yang agak lama setelah keputusanku tak menemuinya pada malam itu. Di halte bus seperti biasa sewaktu ia menungguku untuk pergi ke pesta perayaan ulang tahun almarhum ayahnya. Isi pesannya hampir sama semua. Bahwa ia memintaku menghubunginya balik, atau membalas pesan-pesannya paling tidak.
Tim tidak mengirimiku banyak pesan, atau berkali-kali menelepon seperti lazimnya orang-orang yang pesan-pesannya tidak segera dibalas. Pun karena aku tak mengangkat telepon darinya lagi. Semua karena ia berkeyakinan pada satu hal, bahwa aku akan segera menghubunginya balik. Membalas segera pesan-pesannya betapa pun sibuknya tubuh ini disita urusan mencari nafkah. Betapa percayanya ia padaku, sehingga ia tak mengejar-ngejarku untuk membalas pesannya. Bahkan ia bisa mendatangi rumahku. Atau menemuiku di tempatku mencari nafkah. Tetapi tidak, Timothius bukan tipikal laki-laki seperti itu. Keyakinan yang ada di dalam dadanya tidak main-main. Bahwa aku akan menghubunginya balik kalau takdir yang digariskan Tuhan memang seperti itu. Pokoknya dia sudah berusaha, berusaha secukupnya.
Sungguh, inilah yang memudahkan tekadku juga. Seluruh keluargaku boleh berkata bahwa laki-laki setampan dan semuda Timothius pasti akan lebih mudah menyimpan perempuan lain di balik kata-katanya yang manis dan lembut. Dan wanita setua dirimu—begitu mereka berujar, akan lebih mudah memercayainya lantaran perasaanmu telah diliputi putus asa akan usiamu.
Tapi aku memahaminya dengan baik. Sewaktu kakakku berkata bahwa ia hanya anak laki-laki yang bodoh, aku membelanya setengah mati. “Dia tidak seperti itu!”
“Kalau memang begitu, kenapa dia tak betul-betul berusaha mengejarmu saat kau meninggalkannya! Konyol kalau ada orang yang pikirannya seperti dia.”
“Memangnya kenapa! Dia bukan orang yang suka memaksa!”
Kakakku mendekat dengan wajah serius, “June, kalau dia datang untuk memintamu memberi kepastian pada hubungan kalian itu bukan tindakan memaksa. Masa sih untuk hal seperti ini saja kau tak bisa membedakan!”
“Kak, sungguh aku tahu bagaimana cara membedakannya. Tapi dalam hal ini, kau tidak mengerti.”
Kakak-kakakku begitu marah padaku. Akan tetapi, mereka juga bersyukur karena hubunganku dengan Tim sudah berhenti. Setidaknya, karena aku telah mencampakkannya sebelum akhirnya pindah ke sini. Saat itu, bahkan hingga hari ini tak seorang pun mau tahu apa yang penyebabnya. Kenapa aku pergi meninggalkannya? Kenapa anak laki-laki itu tak pernah datang lagi ke mari? Dan ponselku, kenapa ponselku lebih banyak diam daripada seharusnya? Pada intinya, seluruh keluargaku lebih suka melihat apa yang ada di permukaan dan tak mau repot mencari tahu apa yang ada di lapisan bawahnya. Sebab tak ada yang lebih menyenangkan dari yang terlihat ketimbang yang tidak, aku tidak yakin, tapi memang kata-kata seperti itulah yang dilontarkannya. Membuatku merasa justru akulah yang telah dicampakkan. Bagaimana akhirnya aku menyadarinya. Hal-hal semacam ini, sikap-sikap mereka itu tak akan mendukung keberhasilan hubunganku dengan Timothius. Aku bingung. Pikiranku kacau. Tapi aku berusaha sepenuh hati. Kadang-kadang terlintas di dalam benakku untuk menutup mata dan hanya berpegangan erat pada tangan Tim saja. Lalu, kami pun mencoba berjalan sambil meraba-raba. Namun, meski telah mencoba berulang kali, bagaimana mungkin kami tak menabrak-nabrak. Aku membuka mata dan sadar lagi bahwa tindakanku hanya menempatkan kami berdua pada posisi yang sulit. Tingkat kegagalannya begitu parah hingga tak dapat diperbaiki. Tak ada yang bisa diperbaiki. Tak ada harapan, sama sekali. Saking putus asanya, aku sampai berangan-angan bahwa ibuku, ibuku yang senantiasa menatapku dengan mata polosnya, mengiba dengan air mata bercucuran seperti ini, “Kenapa, kenapa hal seperti ini musti terjadi pada anak gadisku? Aku mempersiapkan segalanya yang terbaik untuknya, tidakkah seharusnya ia memiliki nasib yang baik juga!”