“Apakah kau mengucapkan selamat tinggal?”
“Apakah perlu mengucapkan selamat tinggal?”
“Tidak selalu perlu memang. Aku hanya ingin tahu.”
“Tidak, tidak karena pendirianku mudah goyah. Padahal aku sudah melangkah sejauh ini. Kalau menoleh, semua yang kulakukan akan lenyap.”
“Jadi kau tidak mengatakan selamat tinggal?”
“Sudah kukatakan begitu.”
***
June, sekarang sudah enam tahun. Kau tak jadi pindah ke Korsika maupun Helsinski. Meski Kyoto tidak membuatmu begitu kerasan, tapi kau tidak bisa ke mana-mana lagi. Nezumi berjodoh dengan laki-laki gendut itu. Mereka pindah ke Niigata pada pertengahan musim gugur pada tahun yang sama dengan hari ulang tahunnya ketiga puluh delapan. Waktu laki-laki itu mengajaknya pindah dan tinggal bersama, Nezumi berkata padamu dengan pipi bersemu merah bahwa ia tak mau memiliki anak. Tapi setahun kemudian, ia melahirkan bayi kembar. Selama berbulan-bulan kau tinggal sendirian di rumah itu. Saat badai salju datang di tahun pertama kau tinggal sendirian, kau nyaris mati kesepian. Kau menelepon keluargamu di Jakarta nyaris setiap satu jam sekali. Bahkan pesan-pesanmu berisi seolah-olah kau sedang berada di kota kelahiranmu. “Sudah setinggi apa!” kau berteriak. “Jangan teriak-teriak,” balas adikmu. “Kau ini! Kalau aku sampai berteriak itu artinya betapa khawatirnya aku dan tetapi kau masih menyepelekanku juga!” Saat itu hujan tak berhenti selama dua hari, kota kelahiranmu tenggelam. Tempat tinggal keluargamu tidak berada di daerah yang aman dari banjir. Kau meminta mereka segera pindah dari sana. Tapi balasan adik lelakimu membuat matamu berkaca-kaca. “Kak, kalau kau masih di sini, apakah kau akan berkata seperti itu juga!” dia juga membalas dengan kata-kata seperti ini, “Kenapa sih gampang sekali bicara seperti itu. Akan mudah kalau kami semua adalah kau.”
Pada musim panas berikutnya, tak lama setelah Tada pindah kembali ke rumah itu dan tinggal bersamamu, ibumu menelepon dan mendesakmu agar kau segera menikah. Ia berkata dengan suara gemetar, “Walaupun kau tidak tinggal di sini, kau harus menikah. Di mana pun kau berada kau tidak boleh tidak menikah!” Waktu kau menjawab bahwa kau akan menikah, tangisan Ibu meledak. Kau menghela napas panjang dan berkata, “Bu, Ibu kenapa menangis? Apakah ada yang menyakiti hati Ibu? Bu,” bukannya menjawab, Ibu meledakkan kata-kata bahwa ia kangen padamu. Bahwa ia sangat merindukanmu. Seketika kau terdiam dan tak bisa apa-apa. Kedua matamu terasa panas. Dadamu mengembang seperti hendak membuatmu terbang. Di dalam benakmu, muncul sebuah keinginan yang menggebu-gebu. Kau ingin memeluk Ibu. Kau ingin menyentuh kulit telapak tangannya yang kisut dan kering seperti kertas. Kau ingin melihat bercak-bercak cokelat di punggung tangannya yang akan semakin terlihat apabila terpapar sinar matahari. Yang mana pada waktu kau berdiri di sisinya, kau akan menghirup bau tubuhnya yang seperti aroma beras. Kau ingin mendengar suaranya bersenandung, yang dulu kerap kaudengar muncul di waktu-waktu yang tak menentu.
Beberapa bulan yang lalu, sewaktu Ibu memberimu berita yang pahit, bahwa calon suami sepupumu, Sania, telah menggelapkan uang nasabah hingga miliaran rupiah, ibumu berkata dengan kata-kata yang penuh tekanan. Ia berdoa agar Tuhan menjauhkanmu dari jodoh seperti itu. “Anak laki-laki itu, Timothius, bahkan jauh lebih baik ketimbang dia. Kau tahu kenapa aku bilang begini, itu karena laki-laki itu lebih sering membicarakan dirinya sendiri seolah-olah itu jauh lebih penting untuk didengarkan. Padahal tak ada yang mau tahu soal dia punya kenalan siapa dan berapa jumlah uang nasabahnya. Begitu pula saat ia pergi ke luar negeri dan menghabiskan uangnya di sana untuk bersenang-senang. Kau tahu tidak, saking kesalnya, kuberi tahu kalau kau, anak perempuanku nomor dua, anakku yang nomor empat juga tinggal dan mencari nafkah di Jepang. Kalau kalian menikah nanti, kataku, kalian akan kedatangan tamu dari luar negeri!”
Di hari sepupumu tak jadi menikah, Ibu kembali meneleponmu dan mengatakan padamu kalimat-kalimat yang telah diucapkannya pada sepupumu, “Memangnya dunia ini kekurangan laki-laki baik apa, sampai harus menikahi seorang penipu. Jangan bodoh, dunia ini begitu luas. Jangan berjalan berputar di satu tempat. Pergilah ke mana kau suka dan temukan laki-laki yang tidak akan menipumu di mana saja.”
Kau yang tidak menyangka Ibu berkata seperti itu pada sepupumu berkata seperti ini, “Wah, memangnya Ibu sampai hati berbicara seperti itu padanya?”