Ardi mengucek matanya sambil menguap, diperiksanya ponsel pintar di atas meja sejauh lengan tangannya.
Masih pukul enam pagi, jam yang tertera di sana. Lalu dia bangkit, mendudukkan tubuhnya. Sejenak dia memeriksa istrinya, tidak ada di tempatnya tidur. Sepertinya sudah bangun lebih dulu, hal rutin yang dilakukan setiap pagi.
Kini Ardi berjalan keluar kamar, langsung menuju dapur di mana biasanya sang istri berada. Dan benar saja di sana Maya-istrinya tengah menyiapkan makanan.
Ardi mengambil kursi di salah satu meja makan.
"Pagi, Sayang. Aku mau kopi." Begitu kata Ardi.
Maya membalikkan tubuhnya, lalu berucap, "Tidak ada kopi hari ini."
"Kenapa? Kamu kehabisan kopi? Apa kamu nggak belanja?" tanya Ardi penasaran dengan ucapan Maya.
"Ingat pesan dokter kan, kamu harus kurangi kopi untuk pemulihan. Seminggu aku jatah sekali aja," jawab Maya.
Ardi tak membantah perkataan itu, dia hanya diam saja. Sementara itu Maya berjalan sambil membawa segelas susu putih hangat.
"Sebagai gantinya kamu minum susu saja, ini susu kambing bukan SKM," sambung Maya.
Ardi menarik gelas itu, lalu menyesap isinya, rasanya manis dan enak, meskipun tidak senikmat kopi biasanya yang dia minum, tetapi jika itu buatan Maya tetap saja baginya enak.
"Kamu masak apa?" tanya Ardi kemudian.
"Aku masak nasi goreng, baru belajar sih lihat YouTube," jawab Maya. "Aku nggak tau rasanya enak atau enggak."
Maya mengatakan seperti itu karena dia tahu bahwa dia bukan perempuan yang pandai memasak. Sejak kecil hidupnya penuh kenyamanan, keluarganya memiliki seorang Asisten Rumah Tangga. Bahkan dia tak pernah memasak sekalian meskipun itu hanya memasak mi instan.
Namun, saat dirinya sudah menikah, dia berpikir untuk belajar masak dan mengurus rumah. Bukan karena suaminya tak memberikannya ART, tetapi dia yang tak ingin.
Berpikir bahwa dia dan Ardi sama-sama bekerja, dari pagi sampai sore, makan hanya ketika sarapan dan malam, apalagi bisa mengurus rumah minimalis mereka bersama.
Lalu soal memasak, Ardi tak pernah merepotkan hal itu, selama Maya mau berusaha itu jauh lebih baik.
"Cobain." Maya meletakkan piring itu di depan Ardi.
Ardi mengambil satu suapan dan mencoba merasakannya, sementara Maya menunggu respon dengan mata penuh harapan.
"Enak, tapi kurangi micinnya. Soalnya ada rasa agak pahit dikit," kata Ardi.
Maya mengulas senyum. Tidak, dia tidak marah dengan kritikan Ardi, malahan dia senang karena masakannya bisa dimakan, tidak seperti bulan pertama mereka menikah.
"Mungkin takaran nasinya beda sama di Youtube kali ya, aku nggak bisa ngitung porsi makan orang-orang sih, seberapanya." Begitu kata Maya.
"Enggak masalah, namanya juga belajar masak. Nanti juga lama-lama kamu bisa kok, bahkan tanpa resep," ucap Ardi. Dia terus mengunyah makanannya, meskipun tadi katanya sedikit pahit.
Ardi hanya ingin menghargai Maya dengan apa yang sudah Maya lakukan. Ardi tahu jika dia menikahi seorang putri, jadi tak masalah hal itu.
Sekarang hanya dia yang butuh waktu untuk beradaptasi dengan makanan yang ada, sebab selama 26 tahun ini makanan nikmat mamanya yang terus masuk mulut.
"Habis," sambung Ardi.
"Yeee habis," kata Maya senang. Seolah Ardi balita yang sudah menyelesaikan makannya. "Langsung mandi gih, nanti aku siapin bajunya."
Ardi mengangguk. Setelah menghabiskan susu miliknya, dia pun bangkit berdiri dan kembali menuju kamarnya untuk bersiap bekerja.
Sekitar 20 menit kemudian Ardi kembali dengan memeluk Maya dari belakang saat Maya tengah membersihkan piring sesaat setelah Ardi membersihkan dirinya. Ardi membisikan kata mesra pada telinga Maya, yang membuat Maya bergidik geli sendiri.
"Apa sih Mas, jangan ganggu ah, basah semua nanti pakaianku." Begitu kata Maya, seolah meminta sang suami menjauh darinya.
"Kalau nggak mau basah ya nggak usah pakai baju, atau..." Ardi tak melanjutkan perkataannya yang membuat istrinya bertanya-tanya.
"Atau apa? Jangan ngeres deh, ini masih pagi," kata Maya.