Dalam hiruk pikuk dunia yang penuh narasi dan dogma, manusia semakin terasing dari satu hal yang paling dekat: Tubuhnya sendiri. Ia berlari mengejar ide, kekuasaan, pencapaian, bahkan kebahagiaan yang dikonstruksi oleh layar dan angka, namun lupa bahwa tubuh adalah kitab pertama yang diturunkan padanya. Tubuh, dengan segala sensasi, luka, dan denyutnya, adalah ruang pulang dari kerusakan kolektif yang telah diwariskan sistem.
Di balik setiap ketakutan, di balik kemarahan yang membatu dan kesedihan yang membusuk dalam diam, selalu ada sinyal dari tubuh. Getar di dada, sesak di tenggorokan, berat di punggung --- semua adalah bahasa tubuh yang ingin di dengar. Namun manusia manusia modern sering menambal itu dengan distraksi: hiburan, konsumsi, argumen, dan perang opini.
Ketika manusia memegang citpaannya --- sistem, ideologi, label --- yang muncul adalah keinginan untuk memiliki dan menguasai. Tapi ketika ia kembali memegang tubuhnya, yang lahir adalah kesadaran untuk saling mengisi. Sebab tubuh adalah bagian kecil dari alam semesta, dan alam semesta tidak pernah mendidik dominasi --- ia menanamkan keseimbangan.