Tak semua kebenaran bisa diteriakkan.Tak semua kesadaran layak dipaksa untuk dimengerti.Karena ada kebenaran yang terlalu jernih hingga menyilaukan.Dan ada kesadaran yang jika dibuka terlalu cepat, justru akan disalahpahami—bahkan dibenci.
Aku pernah bertanya, “Mengapa manusia tak memegang tubuhnya saja sebagai pegangan?” Bukankah tubuh adalah ciptaan yang paling dekat? Bukankah ia bagian dari alam yang tak pernah berdusta? Tapi manusia lebih percaya pada ciptaannya sendiri—sistem, label, dan ideologi. Dan ketika mereka terlalu lama memegang ciptaan, yang lahir bukan kedamaian, tapi keinginan untuk memiliki, menguasai bahkan menghancurkan.
Aku ingin berbicara tentang ini. Aku ingin menggaungkannya. Tapi aku tahu, tidak semua telinga siap mendengar. Ini bukan tentang pintar atau bodoh, bukan pula soal intelektual atau tidak—ini tentang kesiapan jiwa menerima realitas yang menyakitkan: bahwa dunia yang mereka banggakan dibangun di atas luka dan ilusi. Dan siapa pun yang membongkar itu, akan dianggap liar… atau gila.
Karena itu aku memilih diam.Tapi bukan diam yang pasrah. Diamku adalah kebijaksanaan yang tahu kapan berbicara akan membunuh benih.