"MIKE! SAYANG! BANGUN!" Bianca mengguncang tubuh kekasihnya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan histeris. Air mata tak terbendung, keluar begitu deras kala menyaksikan Michael yang sebelumnya baik-baik saja kini tidak berdaya, bahkan untuk sekadar bernapas saja pria malang itu harus disokong ventilator yang terhubung di mulutnya, di tambah mesin perekam detak jantung di sisi ranjang yang tidak berhenti berteriak, menambah suasana malam itu menjadi begitu sendu.
"Aku mohon bertahan, Sayang. Kamu kan sudah janji kalau mau nikahin aku. Mike." Sekali lagi Bianca tersedu, menggenggam erat jemari Michael, kemudian menciumnya, membiarkan air mata dan ingus turut membasahi punggung tangan pria itu. "Kamu nggak boleh pergi, Babe. Aku nggak mau kehilangan lagi. Sebentar lagi jam dua belas lho, kamu nggak mau ngucapin selamat ulang tahun ke aku? Kan kamu bilang malam ini kita mau jalan-jalan. Ya, kan?"
Meski tahu usahanya akan sia-sia, Bianca tetap membisikkan kata-kata itu di telinga sang kekasih. Lirih, di antara belasan manusia yang berjuang melawan kematian di ruang ICU.
Bianca tidak menyangka bahwa di perayaan ulang tahunnya yang ke dua puluh lima ini dunianya akan benar-benar berbeda. Setelah sebulan sebelumnya sang ayah, Harsono Wijaya, meninggal akibat penyakit gula, kini dia harus kembali menelan pil pahit yang sama. Kekasihnya, Michael Satrio Gunawan, pria yang sudah menghuni hatinya sejak sekolah menengah, yang telah menghabiskan belasan tahun bersamanya melewati suka dan duka justru dihantam oleh mobil saat berangkat kerja.
Andai Bianca bisa memutar waktu, tak mungkin dia izinkan Mike mengantarnya pagi itu. Karena kalau saja Mike langsung ke kantor, itu artinya dia tak perlu repot-repot memutar rute, dan sudah pasti tak perlu berpapasan dengan siswa SMA ugal-ugalan yang selain tidak punya SIM, juga tidak punya otak itu.
Mike harusnya tidak di sini, pikir Bianca. Mereka seharusnya sekarang sedang menikmati malam-malam romantis, ditemani kue ulang tahun rasa cokelat, lalu jalan-jalan menyusuri jalanan kota sambil minum jus alpukat kesukaannya. Akan tetapi, rencana hanya tinggal wacana. Kenyataan tidak berpihak pada mereka.
Motor Mike ringsek, tubuhnya hampir tergilas truk besar tapi beruntung -meski kata beruntung agaknya tetap tidak tepat untuk terucap dari mulut siapa pun sekarang -dia masih selamat. Hanya saja, benturan yang sangat keras membuat kepala Mike terluka sangat hebat hingga dia langsung masuk ke ruang operasi, mendapatkan pembedahan serius yang sayangnya, tidak langsung menyelamatkan nyawanya.
Mike masih kritis, dan koma.
Tanpa tahu kapan dia akan kembali membuka mata, sebab beberapa menit lalu, lebih tepatnya saat dia akhirnya sampai di rumah sakit setelah berjibaku dengan kemacetan kota selama dua jam perjalanan, dia langsung disambut oleh tamparan keras, yang keluar dari mulut Atin, nenek sekaligus satu-satunya kerabat Mike. "Kata Dokter, kondisinya sangat buruk. Mereka bahkan tidak bisa menjamin kalau Mike akan bisa bertahan malam ini. Jadi, kita diminta bersiap."
"Bersiap apa, Yang Ti?" sela Bianca. "Mike nggak akan kenapa-kenapa. Dia pasti bangun. Dia sudah janji sama Bian buat -"
"Bi. Sayang." Tangan tua Atin menyentuh pipi tirus Bianca, mencoba menguatkan sekaligus menyadarkannya dari kepanikan. "Dengarkan Uti! Kita hanya manusia. Kita serahkan semuanya sama yang di atas ya, Bi. Mike bukan milik kita."
Memang. Bianca tahu bahwa Tuhanlah yang mengatur segala sesuatunya di dunia. Namun, tidakkah Tuhan tahu betapa berharganya Mike bagi Bianca? Rasa-rasanya, Bianca lebih memilih mati ketimbang harus kehilangan pria tersebut. Mike bukan hanya kekasih, tetapi juga hidup dan seluruh dunianya.
Bianca masih mengingat dengan jelas hari pertemuan pertamanya dengan Mike di sekolah dahulu. Saat mata mereka untuk pertama kali saling melirik, juga saat keduanya memutuskan daftar ke universitas yang sama, hingga kini, saat cincin emas akhirnya melingkar di jari manis Bianca sebagai simbol cinta mereka. Semua muncul bagai kilas-kilas cepat dalam film. Meskipun nyatanya, hubungan keduanya tak pernah mendapat restu dari orang tua Bianca.
"Papa dan Mama hanya nggak bisa melihat betapa hebatnya kamu."
"Aku tahu," jawab Mike setiap kali Bianca mencoba menghiburnya, membuat gadis itu merasa bahwa dirinya lah yang sedang dihibur. "It's oke. Ini hanya soal waktu. Masalahnya, apakah kamu akan menungguku?"
Tidak ada keraguan, Bianca mengangguk. "Aku lebih takut kalau kamu bosan, lalu mencari perempuan lain yang lebih dari aku."
"Kalau aku mau, kenapa tidak dari dulu?" Tawa renyah Mike membuat Bianca spontan melayangkan pukulan kecil ke bahunya, yang selalu berhasil dia hindari. "Bi. Kita sudah sejauh ini lho. Tinggal sebentar lagi. Toh, kamu dengar sendiri kan tadi papamu bilang apa? Kita boleh menikah kalau aku sudah diangkat jadi karyawan tetap."
Ya, benar. Semua sudah ada di depan mata. Papanya sudah meninggal, Mike juga sudah resmi diangkat minggu lalu, tapi kenapa Mike tidak bisa menunggu?