"Kalian baru boleh menikah setelah punya rumah!" kata Bianca dengan menirukan gaya bicara sang mama di hadapan teman-teman kantornya yang pagi itu tengah mengobrol di table, sebelum memulai pekerjaan. Obrolan ringan perihal hubungan dan pernikahan. Mengingat hanya dialah yang satu-satunya perempuan tidak single yang belum menikah di kantor, berbeda dengan Laura yang memang terang-terangan tidak mau berubah tangga, dan lebih memilih menjomlo hingga akhir usia.
Sisil yang sejak tadi mendengarkan dengan saksama manggut-manggut, sambil sesekali mengelus perut buncitnya. "Tapi memang benar sih, Bi. Zaman sekarang kita memang harus lebih realistis. Siapa coba orang tua yang nggak mau anaknya punya rumah?
"Jujur, sebagai orang yang sudah berumah tangga cukup lama dan sering pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, gue bisa ceritakan betapa cepaknya pindahan. Belum lagi anak-anak yang harus beradaptasi. Riwehnya minta ampun."
"Realistis sih realistis." Mbak Jenar, sang editor yang sejak tadi berdiri di samping Bianca akhirnya ikut menyahut. "Tapi emaknya si Bian harusnya realistis juga. Coba lo pikir, harga rumah sekarang berapa? Ini sudah bukan zaman dulu yang harga tanah dan bangunan di kota besar cuma lima ribu perak. Gue saja KPR bertahun-tahun nggak kunjung lunas. Terus si Bian mau nikah umur berapa?"
"Keburu bangkotan," celetuk Mia.
"Atau, mending lo nggak usah nikah sekalian, Bi. Nemenin gue," canda Laura. "Duit lo kumpulin saja buat nanti kita nyewa panti jompo bareng."
"Anjing lo!" Bianca tak bisa menyembunyikan tawa. "Terus si Michael, bagaimana? Masa iya mau dibuang?" Lalu, dia meraih segelas kopi hitam yang dibuatnya untuk di bawa ke meja kerjanya. "Sudah. Kerja! Kerja! Pak Raden sudah datang itu."
"Ya elah, baru jam segini sudah muncul saja itu makhluk," keluh Mia. Dia ikut mengangkat kopi susu miliknya, menyusul Bianca sebelum Pak Reza, kepala redaksi mereka mengomel.
*_*
Semua karyawan Myth Media sudah tahu betapa cerewet dan menyebalkannya Pak Reza Martadanu. Itulah kenapa para karyawan diam-diam memberinya julukan, meskipun sebenarnya nama Pak Raden terlalu bagus, tetapi dengan badan gempal dan kumis jamplang itu, karakter mana lagi yang lebih cocok untuk menyebutnya?
Toh, menurut Bian dan teman-temannya, nama Pak Raden juga cocok dengannya. Persis karakter Pak Raden dalam serial boneka Si Unyil. Bedanya, ini versi lebih kenyih, lebih sadis dan hobi merasa menang sendiri.
"Bianca! Mana Bianca?" kata Pak Reza tepat ketika sampai di depan pintu ruang kerjanya, yang sebenarnya hanya berjarak dua meter dari bangku Bianca. Kalau kata Lau, dengan jarak sedekat itu orang buta pun bisa melihatnya dengan jelas, tapi seakan dunia akan kiamat jika dia tak berteriak, Pak Reza membiarkan suaranya menggema ke seluruh ruangan.
"Ya, Pak?" Bianca berdiri dari kursi. Kemudian mengekori pria berbadan tambun itu masuk ke ruangan berdinding kaca tersebut. "Ada apa ya?"
Pak Reza tidak langsung menjawab, melainkan mengatur napasnya yang terengah-engah persis setelah mendudukkan bokongnya ke atas kursi kerjanya yang empuk. Setelah dirasa cukup, barulah dia berkata dengan ketus, "Kamu masih tanya?" Yang tentu langsung membuat Bianca berpikir, mengorek-ngorek informasi dari kepalanya sendiri, guna mencari apakah akhir pekan lalu baru berbuat kesalahan. "Astaga, Bianca! Bianca! Harus berapa kali saya bilang, kamu harusnya stand by dua puluh empat jam. Jadi, kalau saya butuh kamu bisa langsung dihubungi. Kalau sudah begini kan kita jadi kehilangan berita penting."
"Tapi kan kemarin memang jatah libur saya, Pak." Bianca membela diri. "Harusnya Bapak hubungi Kak Tari, bukan saya."
Pak Reza tampak terkejut, tetapi kemudian malah berkata, "Lho, jadi kamu berani nyalahin saya?"
"Bukan begitu, Pak. Mana berani saya nyalahin Bapak?"
"Terus? Siapa dong yang salah di sini?"
Meski sebal, tetapi sebagai karyawan Bianca bisa apa selain tidak menunjuk dirinya sendiri. "Saya. Saya yang salah. Karena harusnya kemarin saya angkat telepon Bapak, lalu menyambungkannya ke Kak Tari. Maaf ya, Pak."
"Begitu dong!" Pak Reza tersenyum, menampilkan deretan gigi renggangnya yang tak lagi rapi. Selain karena sudah berumur, pria itu pun aktif merokok hingga membuat penampilannya persis seperti bapak-bapak cabul di fb, begitu kata Laura. Dan kabarnya, Pak Reza memang doyan mencari mangsa di sana. "Ya sudah, sana kamu kerja lagi! Cari tahu apa yang belum di dapat media lain soal kejadian topik itu."
"Topik ..., apa ya, Pak?" tanya Bianca ragu-ragu.