Yang Tertulis untuk Bian

Nandreans
Chapter #3

TIGA: GARA-GARA WARISAN

Kerja lembur bagai kuda. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Istilah itu baru benar-benar bisa Bianca rasakan sekarang. Kehidupan normal orang dewasa ternyata tak se-me-nye-nang-kan yang dia bayangkan. Terlebih kalau harus membayangkan pula kehidupan teman-temannya, yang mana pekerjaan seperti ini, yang tidak manusiawi dan bergaji pas-pasan UMR ini, masih harus dipakai untuk menghidupi anak, orang tua dan biaya sekolah adik.

"Sudah sampai, Kak."

Suara pengemudi taksi daring yang disewanya membuyarkan fokus Bianca, dia menoleh ke luar jendela, dan mendapati gedung lima lantai yang sangat dikenalinya. "Oh. Oke. Bayarannya langsung di aplikasi ya, Pak. Makasih."

Tanpa berlama-lama, Bianca meluncur ke tempat pertemuan. Namun, baru beberapa meter dari lift yang hendak dia naiki, mata Bianca secara kebetulan melihat sosok yang sangat dia kenali berjalan ke arah yang sama. Seorang pria berkulit putih, yang juga mengenakan pakaian berwarna putih, yang sering dia sebut sebagai vampir metropolitan.

"Ferdi?" panggilnya.

Si empunya nama menoleh, menghampirinya. "Bian, kamu ngapain di sini?"

"Lah, harusnya gue yang tanya, kok lo di sini?" Bianca malah bertanya balik, bingung. "Kalau gue sih memang ada janji di atas."

"Aku juga," jawab Ferdi.

"Sama?"

"Pak Abraham."

"Pengacaranya Papa?" Mendapat anggukan, Bianca kembali bertanya, "Buat?"

"Tidak tahu. Beliau hanya mintaku datang."

"Oh, ya sudah, bareng saja kalau begitu!" Bianca membuka pintu lift, membiarkan mereka di bawa menuju lantai atas.

*_*

Bianca memang tahu kalau Ferdi adalah anak asuh kesayangan orang tuanya di yayasan keluarga mereka. Ibunya bekerja sebagai pengurus panti asuhan. Tidak hanya itu, saking sukanya papa dan mama padanya, Ferdi juga sering main ke rumahnya, menginap bahkan turut bersekolah di sekolah yang sama dengan kakaknya, Thomash.

Hingga tidak berlebihan kalau dia disebut sebagai saudara angkat Bianca. Kakak lelaki keduanya setelah Thomash. Walau sebenarnya Bianca tak merasa akrab dengan Ferdi, bukan karena dia tak suka punya kakak lain, justru sebaliknya, Bianca merasa pemuda itu amat kaku. Tidak bisa diajak bercanda. Terlalu serius. Toh, Ferdi juga jarang bicara padanya.

Terbukti, dari sepanjang perjalanan di dalam lift, tak ada satu pun dari mereka yang buka suara. Sampai-sampai Bianca bisa mendengar suara detak jam yang melingkar di tangan kirinya.

Ting!

Pintu lift akhirnya terbuka di lantai yang mereka tuju. Ferdi mempersilakannya keluar duluan, yang langsung Bianca terima dengan senang hati. Gadis itu melangkah cepat menuju pintu bertuliskan Abraham Antinio Sanjaya S.H yang berada tepat di ujung lorong, kemudian mendorongnya.

Seperti dugaannya, di dalam dia telah ditunggu. Mamanya memelototkan mata tajam, tanda kesal dan langsung memintanya duduk, sementara Thomash menggeleng-geleng kecil, meminta sang adik untuk menuruti ibu mereka.

Namun, saat pintu kembali terbuka, baik Thomash dan Sintia sama-sama terkejut. "Ferdi?"

"Kok lo di sini?"

Pertanyaan yang sama dengan yang Bianca tanyakan tadi. Yang langsung disahut dengan penjelasan oleh si pemilik ruangan. "Saya yang minta Mas Ferdi ke sini. Silakan duduk, Mas."

"Eh, baik. Terima kasih." Dia menuju ke sisi sofa yang kosong di sebelah Thomash.

Dari ekspresinya, Bianca bisa menduga kalau Ferdi tidak tahu apa yang akan mereka bicarakan. Diam-diam Bianca bertanya, apakah mungkin pria itu juga akan dapat bagian? Sesayang itukah papanya pada Ferdi?

Bianca pribadi tidak peduli. Berapa pun bagian yang akan dia terima, akan Bianca ambil. Pun dia selalu ingat kata-kata Mike, "Rebutan warisan nggak bakal bikin orang jadi kaya, Bi. Malah bisa bikin sengsara. Kalau kamu nggak percaya, lihat saja orang tua aku. Rebutan tanah warisan, bukannya dapat duit banyak, malah kehilangan segalanya, termasuk keluarga."

"Jadi, kalau misalnya aku nggak dapat apa-apa dari Papa, kamu masih mau sama aku?"

"Kenapa, nggak?" jawab Mike cepat. "Hei, dengar! Aku tuh pacaran sama kamu ya karena kamu adalah kamu, bukan karena kamu anak siapa. Lagipula, aku masih bisa mengusahakan keluarga kita ke depannya. Ya meskipun nggak langsung kaya, tapi paling nggak, aku janji kalau kamu dan anak-anak kita di masa depan nggak akan kelaparan."

*_*

"Berhubung semuanya sudah berkumpul, maka saya langsung mulai ya?" Abraham yang duduk seberang Bianca, mengangkat amplop putih besar dari atas meja. "Jadi ..., di dalam sini terdapat surat wasiat yang ditulis langsung oleh Pak Wijaya. Apa pun yang tertulis di sini adalah asli, dan tugas saya hanya membacakannya untuk kalian. Apakah Bu Sintia dan anak-anak siap mendengar isinya?"

Yang ditanya mengangguk. "Ya. Saya siap."

"Baiklah kalau begitu."

Tangan tua Abraham membuka benang pada amplop, lalu mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya. Yang kemudian dia bacakan dengan suara lantang.

*_*

Yang bertandatangan di bawah ini, saya Harsono Hadi Wijaya melalui notaris saya, Abraham Antinio Sanjaya, memberitahukan bahwasanya surat wasiat ini saya tulis dengan jujur tanpa tekanan dari pihak manapun. Surat wasiat ini akan dibacakan selambat-lambatnya empat puluh hari setelah saya dinyatakan meninggal dunia.

Dengan ini saya menyatakan:

Lihat selengkapnya