Yang Tidak Akan Kemarau

Haris Akbar Zahari
Chapter #1

Wisuda Tidak Selamanya Bahagia

Langit-langit kota terbuka, malaikat-malaikat turun untuk bersaksi. Andai manusia bisa melihat mereka, maka bentangan sayapnya akan memenuhi seluruh langit dan planet-planet lain. Ayah-ayah dari berbagai penjuru desa menggandeng istrinya, berangkat dengan penuh rasa bahagia menuju ke titik kumpul istimewa di ujung kota. Tidak terkira berapa biaya harus habis untuk menumpang kereta atau mobil di jalan, hari ini adalah hari teramat berharga, banyak sawah dijual, harta digadai, gunung didaki, laut diseberangi dan kelokan jalan ditempuh, hanya untuk berjumpa dengan buah hati yang amat dirindui. Sebuah peristiwa akan terjadi, peristiwa yang begitu penting bagiku dan mereka, teman-temanku.

Aku mengambil baju toga, mengenakannya dengan gagah. Sepatu hitam legam yang sudah bersih kupakai dengan bangga. Peci bermotif pintu Aceh yang dulu dihadiahkan ayahku saat ulang tahun sekarang menjadi mahkota di hari wisuda.

Kutegapkan badan, napasku menderu, aku agak gugup karena tidak biasa seorang anak udik sepertiku bisa mengenakan toga mewah, sepatu bersih yang sebenarnya adalah sepatu ayahku saat muda dulu. Dalam hitungan menit, semua murid, teman-temanku sudah berkumpul di depan asrama. Satu teriakan tegas seorang guru, membuat kami mulai berjalan menuju depan panggung.

“Dhien, orang tuamu datang gak?”

Aku terhenti, menoleh ke belakang. Naret yang bertanya.

“Ya, agaknya telat, Ret.”

Naret paham dengan segala kondisiku, peka dengan kehidupanku dan orang tua. Aku bak sebuah kutub di barat dan temanku itu adalah kutub yang lain di utara. Kami berbeda di banyak hal, aku anak orang berekonomi sederhana, tinggal di pelosok desa yang tidak banyak dikenal orang. Sedangkan Naret adalah anak seorang pejabat kelas tengah, hidup di kota dan serba ada. Banyak hal antara kami berbeda, namun ada satu titik di mana dua kutub di dalam hidup kami bertemu, kami sama-sama menyukai pelajaran bahasa. Bahasa apa pun, mulai dari kaidah batin hingga aksen bahasa Inggris kami yang hampir mirip.

Kami berjalan sejajar menggapai depan panggung. Sebuah tenda megah berdiri di sana, adik-adik kelas berdiri, bertepuk tangan menyambut kedatangan murid kelas 3 aliah seperti kami ini. Di tenda yang lain, guru-guru duduk dengan senyum bermakna, bertepuk tangan pula. Dan di tenda paling utara, para bapak dan ibu-ibu berdiri menyambut kedatangan anak-anak mereka, melambai-lambai tangan, termasuk ayah Naret yang muncul di barisan paling depan.

Kujelajahi satu per satu kursi di tenda itu, aku belum menemukan wajah ibu ayahku. Aku maklum, mereka pasti sedang berjuang terombang-ambing ombak besar di tengah laut yang luas. Perjalanan dengan kapal feri membutuhkan nyali besar, tetapi demiku, ayah yang sering sakit-sakitan mau menerjang bala apa pun yang mungkin sudah digariskan takdir.

Tepat saat kami sampai di tenda wisudawan yang berdampingan dengan tenda para wisudawati murid aliah Dayah Aboen di Kuta, sebuah pengeras suara berbunyi melengking, pembawa acara dengan jas hitam rapi mengajak hadirin memulai acara wisuda ini dengan basmalah.

Wisuda aliah Dayah Aboen di Kuta tahun 1990 dimulai.

Kulafazkan nama Allah di dada, maka seketika, hatiku membeku, semua air yang berada di tubuhku naik ke kepala, mataku berkaca, baru saja aku merasa bangga duduk di antara para wisudawan sekolah terbaik yang mayoritas muridnya anak orang berada, tiba-tiba hatiku mengecil, bagian paling dalam di sana menjerit, aku bersedih dengan sesuatu yang tidak dapat kuberitahukan kepada dunia, meski ibu ayah sekali pun. Aku pun tidak memberitahukannya kepada Allah, namun sayangnya, Tuhanku mendengar semua hal yang tersimpan di dalam hati.

Ini bukan kesedihan tentang orang tuaku yang terlambat hadir di acara wisuda, bukan pula tentang nilaiku, toh aku disini menjadi murid paling berprestasi. Ini adalah tentang sesuatu yang lebih besar dari itu semua, ya, sesuatu itu jauh lebih berharga daripada ibu dan ayahku. Kawan, jangan menghakimiku sebagai anak durhaka, karena kelak kalian akan tahu betapa berharganya sesuatu yang hari ini kusedihkan.

Ibu dan ayah tiba dengan selamat, aku berdiri tersenyum ke wajah mereka yang amat cerah. Para wisudawan memperhatikan gerak-gerikku, aku tidak hirau, karena setiap kali orang tuaku hadir di depanku, maka sebagai seorang anak yang ingin sekali berbakti, aku akan berdiri, walaupun hanya beberapa detik demi menghormati perempuan paling cantik sedunia, yaitu ibuku, juga lelaki paling kukuh, siapalagi kalau bukan ayahku.

Tiga perwakilan wisudawan dipanggil ke atas panggung untuk menyampaikan pidato perpisahan, tentunya dalam bahasa yang berbeda. Wisudawan paling kanan memulai pidato bahasa Indonesia, spontan hadirin bungkam dan menyimak. Untaian katanya menyihir, membuat semesta diam dan mendengar dengan sopan.

Pembicara pertama selesai. Begitu juga dengan wisudawan kedua. Tetapi yang paling menarik perhatianku adalah pembicara ketiga, seorang wisudawati. Bukan paras wajahnya yang anggun, bukan kecerdasannya atau apa pun, karena aku tidak pernah mengenal gadis yang memakai hijab panjang dan lebar itu. Aku hanya salut dengan dialek bahasa Inggrisnya.

Lihat selengkapnya