Yang Tidak Akan Kemarau

Haris Akbar Zahari
Chapter #2

Nenek dan Surah Al-Humazah

 Semalam sebelum seleksi ke Mesir.

Aku sampai di Banda Aceh yang gerimis. Begitu turun dari mobil angkutan, aku berlari kecil mencapai halaman menasah, mencoba menghindari anak-anak hujan yang turun malam ini. Tampak keadaan sepi, ini sudah jam malam, shalat isya berjemaah telah berlalu satu setengah jam. Aku merapikan sepatuku yang agak basah di depan tangga menasah, lantas bersegera masuk ke dalam.

“Cari siapa, Dek?”

Seorang bapak yang agaknya berumur 40-an menyapaku dengan pertanyaannya. Aku menjelaskan maksud kedatanganku. Kupasang muka sedih dan iba, agar dia mau mengerti dan menerimaku semalam saja di menasah ini.

“Besok aku akan ikut tes ke Al-Azhar, Pak. Tempatnya di dekat sini, aku baru sampai di Banda Aceh dan harus mengulang pelajaran untuk persiapan esok. Boleh ya aku menginap semalam saja di menasah ini. Aku janji, semalam aja.” Aku membuat raut sedih agar bapak yang ternyata adalah penjaga menasah mau mengizinkanku.

“Al-Azhar di Mesir?” Bapak itu memegang bahuku, kaget. 

“Iya, Pak.”     

“Kamu harus lulus!”   

“Iya, semoga Allah memudahkanku, Pak.”

Bapak itu malah langsung menawarkan agar aku menginap di sebuah ruang di pojok bangunan, kamar yang memang disediakan untuk orang yang bertugas menjaga menasah, merawat dan memakmurkannya. Tentu saja aku menolak, malam ini aku tidak berniat tidur karena harus mengulang pelajaran demi hari esok.

Setelah bapak itu menghilang di balik kamarnya, aku memilih duduk di sudut menasah, mengambil tas dan membukanya. Gerimis belum berhenti, bahkan sekarang hujan di dalam hatiku jauh lebih deras. Aku bersedih, mengucapkan nama Allah. Seluruh tubuhku lemas, terutama bagian di dalam hatiku yang dari tadi pagi sudah merintih dan menjerit. Sebuah luka paling besar menganga di dada. Tidak ada obatnya.

Aku baru saja mendapat penghargaan wisudawan terbaik, tetapi aku sama sekali tidak bahagia, karena ada yang lebih kukhawatirkan seumur hidupku selain nilai. Hal itulah yang selalu kusimpan sendiri, hanya Tuhan yang tahu. Bahwa aku belum bisa mengafal Al-Quran dengan benar. Itulah sebuah luka yang agung, menyedihkanku dalam bahagia, menenggelamkanku dalam tenang, membunuhku dalan aman, luka itu lebih besar daripada langit yang terbelah saat matahari timbul. Luka itu lebih luas dari darat dan laut. Luka itulah, yang selama ini tersimpan di bagian paling krusial di hatiku.

Di acara wisuda tadi, pengeras suara tidak hanya memanggil nama-nama wisudawan dan prestasi, tetapi juga jumlah hafalan Al-Quran. Tidak hanya memberi medali dan ijazah, tetapi juga selendang hafalan Al-Quran. Aku menyembunyikannya dari semua orang, karena tidak ada yang kubanggakan dari itu. Aku bahkan membencinya dan mengutuk diriku sendiri.

Syarat kelulusan para santri adalah menghafal tiga juz, aku menghafalnya empat juz, dan santri paling hebat hafalannya adalah gadis pembicara itu, 7 juz. Aku menghardik diriku sendiri bukan karena aku kalah dengan perempuan itu, bukan sama sekali. Aku malu kepada Allah, malu sekali. Itulah mengapa aku menangis di pelukan Aboen, memintanya mendoakanku agar Allah tidak murka kepadaku.

Dan hal yang paling memalukan lagi adalah, aku tidak menghafal dengan baik empat juz itu. Aku sudah lupa sebagiannya, aku hanya teringat dua juz. Oh bukan, dengan lapang dada dan rasa malu kukatakan bahwa aku hanya ingat beberapa potong surah di juz 30, dan beberapa ayat di juz 1. Makanya malam ini, di tengah gerimis kota Banda Aceh yang sedang menangisi murka Allah padaku. Aku mulai mengulang hafalan Al-Quran.

“Ya Allah, maafkan aku, aku sudah melupakan Al-Quran dan baru mulai mengulangnya saat besok akan menghadapi tes seleksi ke Al-Azhar. Ya Allah, aku tahu Engkau maha pengampun, jika aku datang pada-Mu dengan dosa setinggi gunung, maka ampunan-Mu seluas bumi, jika salahku sebanyak pesawat paling besar di dunia, maka ampunan-Mu seluas langit. Aku tahu Engkau maha pengampun, tetapi tidak sewajarnya aku sebagai hamba-Mu mempermainkanmu dengan kesalahan-kesalahan yang sama selama ini. Ya Allah…. Ampuni aku.”

Gerimis di luar berhenti. Malam ini, aku hanya fokus mengulang hafalan Al-Quran. Hanya ada dua tantangan dalam seleksi ini, bahasa Arab dan hafalan Al-Quran. Aku tahu, orang lain tidak akan menganggap Al-Quran sebagai tantangan, karena mereka sudah menghafalnya dengan tulus, berbeda denganku yang penuh titik hitam dosa di seluruh tubuh.

Bahasa Arab bukan tantangan bagiku, aku begitu yakin bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan besok dengan mudah. Yang kukhawatirkan sekarang adalah Al-Qur’an. Demi Allah, aku tidak takut jika tidak lulus tes, aku sangat khawatir jika aku tidak akan pernah bisa menjadi Ahlul Quran, orang-orang yang mendalami Al-Quran.

Dalam perjuanganku mengulang, angin malam membelai wajahku dengan lembut. Kunang-kunang di luar jendela bak lampu hias di malam buta. Mataku lelah. Aku tertidur sebelum mengulang seluruh hafalanku.

***

Aula besar penuh, disesaki oleh peserta yang akan berjuang mati-matian untuk bisa lulus dan sekolah di salah satu universitas Islam tertua dunia, Al-Azhar. Terhitung ada 1500 peserta dari Aceh, bagaimanalah jumlah mereka yang mengikuti seleksi di luar sana, ini adalah tes serentak se-Indonesia.

Aku duduk di kursi tengah, agak ke depan. Sekiranya ada yang mau mengabadikan foto, aku harus masuk ke gambar itu karena ini adalah peristiwa yang bersejarah. Bahwa ribuan anak-anak yang lahir dari rahim Aceh sedang bersaing untuk bertualang dan melanglang buana ke Negeri Para Nabi, anak-anak Aceh sedang bertarung untuk menjadi kader ulama, pemikir Islam, tokoh terkemuka. Aku melihat kesungguhan di mata para pesaingku, aku sama sekali tidak takut, namun sayang seribu sayang, saat mengingat hafalanku, seolah udara menamparku sekeras mungkin.

Aku juga akan mempertaruhkan apa pun, demi mendapat satu tempat di pesawat yang menuju ke Mesir. Mengorbankan apa pun demi mendapat bangku di ruang kuliah Universitas Al-Azhar. Aku tidak berniat menjadi ulama, tujuanku ke sana hanya satu, biarlah Tuhan yang tahu.

Tes tulis berlangsung selama dua jam, ruang aula besar yang penuh itu hening. Semua orang memberikan perhatian penuh pada soal yang dikerjakannya, begitu juga denganku. Aku tidak ingin silap, ini adalah perang pendidikan hidup mati. Sekali saja aku terkecoh, maka pupus harapanku, hilang hidupku.

Dua jam berlalu cepat, aku selesaikan semua soal-soal itu dengan mudah, hanya beberapa kendala di kosa kata bahasa Arab yang kurang kupahami. Selanjutnya adalah tes wawancara, termasuk hafalan Al-Qur’an.

“Setelah shalat zuhur, istirahatlah sejenak, di sana ada nasi kotak yang dibagikan panitia untuk para peserta. Satu jam lagi, kita akan melakukan tes wawancara dengan penguji yang sudah ditentukan dalam kelompok masing-masing.” Seorang petugas seleksi memberi instruksi.

Aku bergegas ke masjid, menunaikan shalat zuhur dan langsung membuka Al-Qur’an tanpa jeda. Kuulangi hafalanku dengan gemetar. Berbagai perasaan bercampur. Aku, seorang anak udik yang sekolah di dayah terkenal di kotaku tidak pernah mengenal takut dengan seleksi apa pun, aku terlahir sebagai seorang juara, seorang petarung dengan senjata otak, tetapi mengapa kelemahanku justru ada di dalam Al-Qur’an?

Langit Banda Aceh tiba-tiba mendung, awan-awan gemuk menutup sinar matahari. Semesta seolah sedang sepakat bahwa aku menjadi anak lemah dan paling ketakutan hari ini. Aku malu kepada Allah, perihal hafalanku yang sudah diporak-porandakan badai kelalaian.

Lihat selengkapnya