Bibir bayi mungil itu tiada terkatup. Mencari-cari sesuatu. Meliuk ke kanan dan kiri. Menunggu di beri ASI, atau apa saja yang bisa membuatnya terbebas dari rasa lapar. Orang-orang tengah disibukkan mengurus jasad inna[1]-nya hingga ia terlupakan. Malang memang nasib si bayi. Ketika kelahirannya sulit didaftarkan karena orang tuanya menikah secara adat tanpa terdaftar di lembaga resmi negara, kini ia harus menerima kenyataan ditinggal inna-nya untuk selamanya. Sementara ama[2]-nya yang tidak bertanggung jawab, entah pergi ke mana. Tidak peduli lagi pada inna-nya sejak mengandung dirinya dalam usia kehamilan satu bulan. Padahal, dulu ama-nya yang memaksa inna-nya menikah dengan tradisi yappa maradda[3]. Meskipun inna-nya dan keluarga sama sekali tidak menginginkan.
“Sepertinya dia lapar. Orang-orang tidak kasih dia minum,” celetuk Saba pada teman dekatnya, Ana. Keduanya tampak serius memperhatikan si bayi yang menggeliat kecil dalam selimut.
“Orang-orang tidak tahu mau kasih apa,” sahut Ana dengan tatapan iba. Ia tidak pernah menduga bahwa nasib Netty akan setidak beruntung ini. Pada usia belia yang belum genap tujuh belas tahun, ia dipaksa menikah dengan laki-laki yang menculiknya. Setelah hamil, ia diceraikan begitu saja dengan alasan sudah bosan. Ana benar-benar ingin melumat laki-laki tidak bertanggung jawab itu.
Saba dan Ana sama-sama terdiam. Tiba-tiba keduanya teringat sesuatu. “Air nasi!” seru keduanya serempak. Ana bergegas ke dapur. Menanak nasi untuk mendapatkan airnya. Sementara Saba bertugas menjaga si bayi yang semakin kering bibirnya.
“Rambu[4] Ana, cepatlah sedikit. Bibir bayi Netty kering sudah.” Baru saja Saba mengatupkan bibirnya, Ladu─kekasih Ana datang membawa buah kelapa muda yang sudah terbuka di bagian atas.
“Rambu, kasih air kelapa saja dulu,” tutur Ladu lugas.
Saba menengok ke dalam kelapa tidak berdaging buah itu, karena terlalu muda. Bahkan air kelapanya pun hanya sedikit. “Kau yakin bisa kasih air kelapa ke bayi Netty?” gamangnya. Ia belum pernah melihat ada bayi diberi air kelapa.
“Saya pernah melihat orang kasih bayi air kelapa muda dan tidak bahaya, Rambu,” jelas Ladu yakin. “Kita coba sedikit saja. Kasihan bayi Netty kelaparan. Orang-orang belum kasih dia apa-apa sejak pagi. Nanti dia mati kelaparan susul inna-nya.”
Saba terdiam. Mereka memang tidak punya pilihan lain. “Kalau berbahaya bagaimana?”
“Saya jadi jaminannya.” Ketegasan Ladu membuat Saba memantapkan hatinya. Ia menerima kapas pintalan dari tangan ladu, membasahinya dengan air kelapa dan meneteskan sedikit demi sedikit ke bibir si bayi. Bayi Netty menyambut air kelapa itu dengan baik. Setelah beberapa tetes, ia pun tertidur. Tepat saat itu, Ana datang membawa air beras di baskom kecil.
“Sudah tidur kah?” tanya Ana sambil menengok wajah bayi Netty. Kemudian meletakkan air nasi ke atas meja kecil. “Kau sedang apa di sini?” tanyanya setelah beralih pada Ladu.
“Membawa air kelapa buat bayi Netty,” jawab Saba cepat.
Kelopak mata Ana membeliak. “Kalian kasih air kelapa ke bayi. Tidak bahaya kah?” Mendadak Ana panik dan langsung meletakkan jarinya ke lubang hidung si bayi. Memeriksa pernapasannya.
“Tenang saja, Rambu Ana. Saya pernah melihat orang melakukannya dan tidak berbahaya. Sudah saya pilihkan yang paling muda.”
“Sepertinya memang aman, Rambu. Lihatlah, bayi Netty langsung tertidur pulas,” sahut Saba sambil mengusap pelan rambut bayi laki-laki malang itu.
Ketiganya menatap bayi Netty sekali lagi dengan iba. Sementara di luar, orang-orang ramai menyiapkan acara pemakaman kubur batu. Gong, tambur, dungga, dan tarian digelar layaknya pesta. Juga memotong babi-babi. Kematian bagi masyarakat Sumba adalah pusat kehidupan. Upacaranya digelar sedemikian rupa untuk memberikan penghormatan terakhir. Tidak peduli jika menghabiskan banyak biaya dan waktu.
⌂ Ѫ ⌂
Sumba, tiga setengah tahun yang lalu.
Kabar penerimaan Saba di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Surabaya disambut suka cita oleh kedua teman baiknya, Netty dan Ana. Ketiganya berteman baik sejak pertemuan mereka di padang Pasola[5] empat tahun lalu di Wanokaka. Ketika tradisi adat itu berubah jadi petaka. Lemparan sola[6] berubah jadi lemparan batu karena penonton dari masing-masing kubu yang sedang berperang tidak terima ketika kawan mereka terjatuh. Ketiganya yang tengah menonton lari tunggang langgang menjauhi keributan. Entah bagaimana, tiba-tiba saja ketiganya berlari bersama sampai ke padang sabana dengan bergandeng tangan. Setelah sebelumnya, ketiganya saling membantu jika yang lain terjatuh dan saling menunggu ketika yang lain terengah kehabisan napas. Saat itulah, pertemanan ketiganya dimulai.
“Itu artinya kau akan meninggalkan Tana Humba[7]?” celetuk Netty mendadak murung, menyadari akan kehilangan salah satu teman baiknya yang pintar. Terlebih, jika Saba pergi, tidak ada lagi yang akan membantunya belajar jika mendapatkan kesulitan pelajaran.
“Tenang saja, Rambu Netty. Saya tidak pergi lama dari Tanah Arwah kita. Kau kira saya tidak akan rindu dengan Sumba dan kalian,” ungkap Saba sambil merangkul gadis termuda di antara mereka.
“Tetap saja, Rambu,” sela Ana yang juga bersedih. “Kau akan lama di kota,” lantas ia menghitung dengan jarinya, “empat tahun.”