“Hei, perempuan! Sedang apa kau halangi jalan kami? Ingin kami tangkap juga kau?” ancaman itu sama sekali tidak menyurutkan keberanian Saba. Meskipun jelas yang ia hadapi bukan laki-laki lemah. Tubuh gempal dan wajah sangar mereka sudah jelas mengultimatum, bahwa mereka sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Orang-orang itu memang dilatih untuk melawan siapa pun yang berniat menggagalkan tradisi yappa maradda. Mereka biasa disebut sebagai tukang yappa.
Saba pun melompat turun dan berniat mendekat ke mobil. Namun, langkahnya terhenti dengan kedatangan Ana bersama kudanya yang menghalangi jalannya. Ana bahkan langsung melompat turun dan mencengkeram lengan Saba. “Maaf Om-om, kuda teman saya punya sedang marah rupanya. Silakan kalian lanjutkan perjalanan!” teriak Ana membuat Saba semakin bersungut.
“Rambu Ana,” Saba mencoba melepaskan diri. “Hei, kal—”
“Rambu Saba!” potong Ana sambil menarik lengan Saba yang hendak mengejar mobil yang kembali berjalan. Ana benar-benar menahannya sampai mobil itu terlihat sebesar semut dilahap padang sabana.
“Rambu Ana, kau gila?” teriak Saba sangat marah. “Lihat, mereka sudah pergi! Bagaimana nasib anak perempuan tadi?”
Ana mengembuskan napasnya dengan kasar sekali. “Rambu! Apa Rambu tidak lihat seberapa beringas orang-orang tadi? Rambu bisa berada dalam bahaya jika lawan mereka.”
“Tapi tetap saja, Rambu Ana. Anak perempuan tadi harus ditolong.”
“Rambu bisa menghadapi mereka sendirian?” tanya Ana lugas. “Rambu ini perempuan, sendirian pula. Saya tahu Rambu punya maksud itu baik, tapi menolong orang pun ada caranya, Rambu. Melawan mereka pun ada strateginya. Kalau Rambu melawan mereka, bukan gadis itu yang akan Rambu selamatkan, tapi orang-orang itu akan tangkap Rambu.”
Saba terdiam. Napasnya memburu. Isi kepalanya benar-benar kacau membayangkan gadis yang terus menangis di dalam mobil. Mendadak ia jadi teringat dengan tangisan Netty beberapa tahun silam. Bayangan itulah yang membuatnya kalap dan tidak berpikir panjang tadi.
⌂ Ѫ ⌂
Ringkikan kuda membuat Saba terbangun. Aroma daging asap menggelitik hidungnya seketika. Ama-nya sudah sibuk mengurus kuda dan hewan ternak mereka, sementara inna-nya sibuk mengurus dapur. Padahal, hari masih gelap. Langit masih menampakkan semburat keemasan cantik di langit timur samar-samar. Meski begitu, kawanan burung-burung sudah sahut-menyahut di atas sana.
Pagi di Sumba, sangat berbeda dengan pagi di kota tempatnya menuntut ilmu. Pagi di Sumba menyuguhkan musik dari suara-suara hewan ternak ama-nya dan aroma masakan inna-nya yang selalu berhasil menggugah selera. Sementara pagi di kota, dihiasi dengan deru mesin pabrik dan kendaraan yang sering membuat sakit telinga. Juga bau asap knalpot kendaraan dan kabut polusi lainnya.
Dengan menenteng arru tana[1], Saba menelusuri jalan setapak menuju sumber mata air yang berjarak 1,5 kilo dari batas kampungnya. Kakinya telanjang menapak tanah. Ia memang suka melakukannya. Agar syaraf-syaraf di kakinya mendapat terapi alam. Saba akan mengambil air untuk keperluan sehari-hari. Namun, ia tidak sendirian. Perempuan Sumba lain di kampungnya juga tengah melakukan hal sama. Menenteng tempat air menuju arah yang sama. Terdengar percakapan kecil mereka mengiringi langkah kaki.
Ketika tinggal di kota, Saba tidak perlu melakukan hal semacam ini. Segala fasilitas tersedia. Air yang melimpah, listrik yang cukup, dan segala kebutuhan sehari-hari. Hanya saja, ia harus punya banyak uang untuk membayar ini dan itu. Namun, inilah Sumba. Sebuah rahim, tempat dirinya lahir dan dibesarkan. Tidak akan ada yang bisa mengalahkan kehangatan dan sahaja Sumba. Tidak pula kota besar di luar sana. Kota besar itu hanyalah tempat singgah bagi Saba, tetapi Sumba adalah rumahnya, rumah untuk pulang dan tertidur lelap suatu hari nanti.
Suasana seperti ini pula yang tidak bisa ia beli di kota. Keakraban sesama, tegur sapa dan salam yang hangat, percakapan di pagi yang sahaja, udara segar, kemersik pohon dan dedaunan, aroma tanah persawahan. Sungguh menenangkan dan mendamaikan. Juga kebaikan-kebaikan kecil untuk saling membantu. Sederhana saja, menimba air untuk para painna[2] yang datang mencari air sendiri.
Setelah tiga kali bolak-balik mengambil air, langkah kaki Saba dihentikan oleh matahari terbit yang menyembul dari balik sela rimbun pepohonan perbukitan. Ia meletakkan tempat air yang berisi penuh. Memilih rehat sejenak menikmati kemolekan tanah kelahirannya. Merumpun kenangan yang seringkali menelisipkan luka, ketika ingatan itu membawa wajah Netty dan bayi malangnya. Keduanya berada di dalam kubur batu yang sama, meninggalkan luka pada dunia yang teramat sangat. Sejak kematian Netty dan bayinya, Saba dengar kedua orang tua Netty menutup diri dari para tetangga. Bahkan kedatangan Saba tidak lagi diterima sehangat dulu. Segalanya berubah.
“Rambu Saba,” panggilan ramah itu membuat Saba meninggalkan sejenak ingatan-ingatan di kepala. Ana muncul dengan senyuman ramah.
“Sedang apa?” tanya Ana sambil melihat sekeliling dan menemukan arru tana yang berisi air. “Ambil air?” tebaknya sambil duduk di sebelah Saba yang kembali menatap jauh ke depan. Pada sekawanan burung-burung yang mengingatkannya pada Netty.
“Kau akan ambil air?” tanya Saba setelah menoleh kembali. Pertanyaannya disambut anggukan Ana. Rambut ikalnya ikut berayun saat Ana mengangguk.
Saba kembali menatap kawanan burung terbang dan Ana melakukan hal yang sama. “Mungkin Netty dan bayinya sudah berubah jadi burung,” celetuk Ana asal. “Dia ingin sekali terbang seperti burung. Bukankah kata Rato, arwahnya tak mau kembali ke tempat asal. Jadi, Netty pasti memilih jadi burung, bersama bayinya.”
Saba tersenyum mendengar ocehan Ana. “Kau yakin?” tanyanya sambil melihat Ana.
Ana menoleh dan meringis saat kedua matanya bertatapan dengan kedua mata cokelat Saba. Ia menggeleng, “Hanya menerka. Bukankah orang mati pasti kembali ke tempat asalnya. Begitu pun dengan Netty. Dia pasti lebih bahagia. Setidaknya, dia tidak harus menjalani hidup sebagai janda suaminya yang jahat. Sudah cukup dia menderita.” Ana berceloteh sambil menatap awan yang berarak di langit. Dalam hati, ia sedang berdoa untuk kebahagiaan Netty di tempat jauh sana.
⌂ Ѫ ⌂
Inna-nya sedang menenun ketika Saba datang membawa beberapa kertas dan pulpen di dalam tasnya. Ia baru saja datang melakukan wawancara dengan beberapa orang mengenai pembahasan skripsinya. Sementara ama-nya masih menggembalakan hewan ternak mereka. Tiba-tiba saja, Saba menatap inna-nya dengan serius. Inna-nya yang memergoki sikap Saba tersenyum tipis.
“Mengapa kau lihat Inna begitu?” tanya Inna Saba tanpa menghentikan mesin tenun sederhana yang dibuat sendiri oleh ama Saba.
“Inna tidak bosan kah?” tanya Saba membuat dahi inna-nya berkerut.