Gigi-giginya menggerat. Rahangnya mengeras. Dua telapak tangannya mengepal kuat-kuat. Setelah meninggalkan kudanya di halaman rumah yang segera disambut para pelayan ama inna-nya, Redu melangkah ke dalam rumah dengan wajah garang seperti siap merobohkan uma besar mereka. Semakin jauh dirinya dari padang sabana, tempat Saba menolaknya sekali lagi, semakin sakit hatinya mengingat setiap kata yang diucapkan perempuan itu.
Sebagai keluarga Maramba, tidak pernah sekalipun keinginan Redu ditentang. Semua tunduk padanya. Hanya perempuan itu yang berani melawannya. Bukan perempuan dari klan Maramba, melainkan rakyat biasa. Tentu saja hal itu membuatnya murka. Sudah bertahun-tahun Redu mencoba mendapatkan hati perempuan itu, tetapi yang didapatkan selalu penolakan yang sama. Bahkan, setelah tiga setengah tahun sejak dirinya melihat Saba terakhir kali sebelum pergi ke kota untuk menuntut ilmu, sikap perempuan itu masih sama sombongnya. Apa yang tidak ia suka dari dirinya. Semua orang mengakui wajah tampan Redu, dari klan Maramba pula. Redu jago berkuda, jago melempar lembing, dan jago ilmu bela diri. Lantas, apa yang membuat Saba menolaknya.
“Umbu Redu, kenapa kau punya muka bersungut begitu. Marah kau?” tanya Inna Redu yang menyiapkan sirih pinang. Bibir dan barisan gigi perempuan itu tampak merah.
Tidak ada jawaban dari Redu. Kepalanya terus berpikir, bagaimana cara menaklukkan Saba supaya perempuan itu tidak merendahkannya lagi?
“Umbu Redu, Inna tanya kau, kenapa tidak jawab? Tidak dengar kau?” tegas Inna Redu sekali lagi sambil menatap selidik pada putra sulungnya.
Redu menoleh pada inna-nya. Kedua alisnya masih bersungut seperti sejak ia datang. “Inna, kapan saya kawin dengan Rambu Saba?” Ia butuh kepastian. Sejak ia mendengar bahwa sedari kecil keduanya telah dijodohkan, Redu terus berusaha mengejar perempuan itu, meskipun tidak juga berhasil. Hingga seringkali, ia frustrasi dan memutuskan bermain-main dengan banyak gadis Sumba lain di luar sana.
“Kenapa tiba-tiba kau omong soal kawin?” Mbuala pahappa[1] terbuka, dimasukkannya sirih pinang ke dalamnya.
“Saya ingin kawin secepatnya, Inna,” tegas Redu sambil menatap inna-nya.
“Dia masih tuntut ilmu, Umbu Redu. Tunggu sampai dia selesai,” sahut ama Redu yang baru datang dari peternakan. Laki-laki setengah abad lebih itu melepas kabeala dengan gagang terbuat dari kayu, lalu meletakkan di tempatnya.
“Tidak bisa Ama, saya ingin kawin dengan Rambu Saba secepatnya. Bagaimana kalau dia bertemu laki-laki lain di kota?”
“Suka betul kau pada Rambu Saba sampai ngotot begitu?” kelakar inna-nya sambil mengangkat mbuala pahappa ke atas papan. “Kalian berdua sudah berjodoh sejak kecil. Tenang saja kau. Siapa berani ambil dia dari ana mane [2]yang tampan ini.”
Redu tidak menyahut, tidak juga tersenyum. Ia hanya bisa membatin, bahwa ia ngotot bukan karena tertarik benar untuk segera memperistri perempuan itu, tetapi lebih karena harga dirinya. Kalau ama-inna Redu tidak mau mengawinkannya segera dengan perempuan itu, dirinya akan mengambil langkah sendiri.
“Kenapa diam saja kau? Memikirkan Rambu Saba? Memang manis betul perempuan itu punya wajah.” Seulas senyum terbit di bibir inna-nya.
Redu tidak menanggapi. Hatinya masih panas setiap nama perempuan itu disebut. Meskipun mereka berasal dari keluarga sangat sederhana, kedua orang tua Redu sangat menghormati orang tua Saba. Entah karena apa. Jadi, memaksa mereka mengawinkannya dengan Saba, tidak akan berhasil dengan mudah.
⌂ Ѫ ⌂
Sejak semalam, Redu tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dirinya terus memikirkan cara untuk memenangkan hati Saba. Namun, ia tahu betul hal itu terlalu sulit baginya. Dari perempuan itu duduk di bangku SMP, beranjak ke SMA, hingga ia menjadi mahasiswa, hatinya tidak goyah dengan semua usaha yang dilakukan Redu. Jadi, percuma saja jika dirinya ingin memenangkan hati Saba. Satu-satunya kemungkinan untuk mendapatkan perempuan itu adalah memaksanya. Ya, dengan paksaan keras. Sayangnya, ama-inna Redu tidak akan setuju.
“Kau lakukan saja yappa,” usul salah seorang teman berlatih pasolanya.
Kelopak mata Redu menyipit karena kuda yang ia tunggangi menghadap ke timur. Tepat pada sorot matahari keemasan yang perlahan naik. Pada musim kemarau, warna langit pagi dan matahari lebih terang dari biasanya. “Yappa?” Redu tidak begitu paham dengan tradisi itu. Satu-satunya tradisi kawin yang ia kenal adalah mengikuti runutan yang baik. Melamar, antar sirih pinang, membelis si perempuan, lalu mengawininya dengan upacara adat.
“Yappa atau tepatnya yappa maradda itu kawin tangkap. Ada pula sebut kawin culik,” jelas temannya sambil memetik buah kosambi yang tumbuh subur di padang sabana. Tempat mereka mengawasi ternak orang tuanya yang sedang dilepas untuk mencari makan.
Redu masih tampak bingung. “Bagaimana adatnya?” tanyanya pada akhirnya. Kalau memang tradisi itu bisa ia gunakan, tidak ada salahnya mencoba.
“Jadi, kau sewa saja orang-orang yang biasa bertugas menculik perempuan,”
“Menculik perempuan? Bisa kena marah Rato dan ama-inna saya.”
Temannya tergelak. “Kaupikir menculik seperti apa, Umbu? Menculik perempuan ini memang sudah bagian dari tradisi yappa. Kau bahkan bisa culik dia di keramaian.”
“Menculik di keramaian bagaimana? Orang-orang hajar orang suruhan saya nanti,” bantah Redu sambil membuang muka dengan ujung alis berpaut. “Macam-macam saja kau ini.”
“Orang-orang tidak akan hajar orang-orang suruhan kau, Umbu. Mereka tahu betul tradisi yappa dan tidak akan ikut campur,” penjelasan temannya membuat Redu kembali menoleh. Kali ini dengan wajah heran dan penuh tanya.
“Orang-orang tidak akan bantu perempuan yang diculik?”
“Tidak akan. Saya jamin,” temannya menggeleng-geleng. “Kau ini ke mana saja, tradisi sendiri sampai tidak tahu.” Laki-laki itu mengambil jeda. Kembali memetik kosambi dan menikmatinya lagi. “Nanti, kukenalkan dengan orang yang biasa tangani yappa. Tinggal kau siapkan uang bayaran, semuanya pasti beres.”
Redu semakin terkejut. “Maksud kau, ada yang berbisinis mengurus yappa?”
Temannya mengangguk yakin. Sementara Redu, sebenarnya masih tidak yakin dengan rencana yang diusulkan temannya. Namun, jika tidak ada cara lain, kawin tangkap pun jadi.
“Yappa,” Redu mendesahkan kata itu sekali lagi.
⌂ Ѫ ⌂
Di rumah kayu beratap rumbai cukup jauh dari pemukiman itulah mereka tinggal. Pemiliknya seorang kakek berusia enam puluh tahun. Tubuhnya sedikit membungkuk dan di antara jari telunjuk dan tengahnya terselip rokok tembakau terbalut klobot bikinan sendiri. Kepala laki-laki sepuh itu mengenakan kapouta[3], berbaju hitam, dilengkapi kalabo[4] di pinggang, dan bercelana pendek. Ada pula kabeala, terselip di ikat pinggang. Dua orang laki-laki lain bertubuh gempal berjaga di dekat pintu, dua yang lain berjaga di dalam, dan dua lainnya baru saja pergi mencari makanan untuk mereka.
“Ada perlu apa datang kemari?” tanyanya dengan nada galak seperti setengah membentak. Memang seperti itu ia biasa berbicara. Agak keras suaranya.
“Begini, Bapa, kawan saya ingin tahu soal yappa.” Teman Redu mengawali bicara. “Dia suka sama perempuan yang tidak sambut cinta dia. Tidak bisa diajak omong baik-baik, padahal sudah lama kawan saya ini, kejar itu perempuan.”
Bapa Dendo, begitu orang-orang menjulukinya. Ia menatap selidik ke wajah Redo. Menyelia dari ujung rambut, turun ke tubuh kekar sedang Redo, hingga ke ujung kaki yang menapak di atas tanah beralaskan sandal terbuat dari kulit binatang. “Dari klan Maramba kau?” tanya Dendo memastikan, setelah melihat pakaian yang dikenakan Redu.