Pasar riuh dengan pedagang dan pembeli. Adegan tawar-menawar sudah biasa. Namun, kedatangan jip itu yang tidak biasa. Decit mobil yang direm membuat beberapa orang menghentikan kegiatannya dan menoleh sejenak. Empat laki-laki turun dari mobil, sementar satu orang yang lain masih bertahan di belakang kemudi. Tampang mereka sama beringas. Parang-parang yang terselip di pinggang tampak berkilat tajam terkena sinar matahari yang belum naik seberapa tinggi. Debu-debu beterbangan saat mereka berjalan bersama. Tujuan mereka bukan untuk menawar barang, tetapi mencari seorang perempuan yang diinginkan tuan baru mereka. Laki-laki yang menyerahkan segepok uang dan emas pada Dendo tadi pagi. Lumayan lebih banyak dari pemberian tuan mereka biasanya.
Perempuan muda yang mereka tuju sedang berdiri mematung. Hanya berjarak sepuluh meter. Mereka siap membawanya paksa. Namun, tiba-tiba perempuan itu lari dan membuat rombongan empat laki-laki itu berlari mengejarnya. Bisa berbahaya kalau buruan mereka kabur. Uang dan emas yang masuk ke saku mereka tadi pagi bisa melayang.
“Hei, Rambu, berhenti kau!” teriak salah seorang dari mereka dengan suara menggelegar. Membuat orang-orang di pasar sebagian terkejut dan terdiam mematung menyaksikan adegan kejar mengejar antara seorang perempuan muda dan empat laki-laki yang mengacungkan parang, berniat menakuti si perempuan. Namun, usaha mereka sia-sia. Bukannya takut dan berhenti, perempuan itu semakin mempercepat larinya. Bukan hanya berlari, perempuan itu pandai menyembunyikan diri di antara kerumunan orang-orang. Timbul tenggelam, membuat empat lelaki yang mengejarnya kelimpungan dan frustrasi. Apa pun yang terjadi, mereka tidak berniat melepaskan buruan mereka.
⌂ Ѫ ⌂
“Tanah yang menakjubkan!” puji Lukas sambil mengambil gambar pemandangan padang Sumba yang menakjubkan.tampak seperti ladang emas dalam hasil jepretannya. Berpuluh kali pun ia menjepret, tidak tebersit rasa bosan sedikit pun. “Ladang emas di bawah biru yang lapang,” celetuknya lagi. Ia masih ingin bertahan lama di sana. Menikmati keajaiban Tuhan yang termaktub dalam padang sabana Sumba. Diiringi deru angin, pepohonan, dan ringkikan berpuluh ekor kuda. Sayangnya, Lukas harus segera pergi ke tempat lain, mencari surga Sumba lain yang tersembunyi.
Ia berjalan menuju jip yang terparkir. Mengendarainya seorang diri menuju perkampungan Sumba Tengah. Katanya, dari seluruh tanah Sumba, Kabupaten Sumba Tengah yang paling sejuk. Setelah menempuh dua jam perjalanan, tiba-tiba perutnya merasa lapar. Membuatnya berencana mencari warung atau apa pun yang bisa memberinya makanan dan menyumpal berisik para cacing di perutnya. Lukas tidak ingin cacing-cacing itu memakan perutnya seperti beberapa tahun silam. Maag akut hampir saja membahayakan nyawanya. Sejak itu, ia tidak mau lagi kalah dari cacing-cacing di perutnya.
Hanya dua puluh menit, Lukas akhirnya menemukan perkampungan. Ada sebuah warung. Ia menghentikan mobilnya segera. Padahal, seperti kata penduduk yang ia temui dan tanyai di perjalanan tadi, tidak jauh dari tempatnya kini ada pasar. Masalahnya, ia sudah tidak tahan. Perih di perutnya membuatnya tidak ingin membuang waktu. Apa saja di warung itu, yang penting makanan yang bisa diterima mulut dan perutnya.
Tidak banyak yang dijual. Lukas hampir saja memborong semua yang dijajakan karena terlalu sedikitnya pilihan makanan. Jawada, manggulu, dan jagung titi. Tiga makanan khas Sumba itu telah ia bungkus. Tidak lupa ia menghabiskan the kelor sebagai penutup makannya sebelum pergi ke tempat tujuan berikutnya.
Saat akan kembali ke mobil, ia melihat keramaian. Empat laki-laki berlarian sambil mengacungkan parang. Sempat membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Di belakang mereka, sebuah jip mengikuti pelan-pelan. Sekilas tampang kelimanya sama-sama beringas. Seperti pemeran algojo dalam film-film yang ia garap bersama rekan sineasnya. Tidak ingin melewatkan, Lukas segera mengangkat kamera yang menggantung di lehernya. Mengarahkan pada mereka dan mengambil gambar beberapa kali. Hingga rombongan itu berlalu, Lukas masih tidak menemukan jawaban, apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan.
Samar-samar, ia mendengar salah seorang penduduk yang berdiri menyebutkan kata yappa. Benar, keributan itu juga menyita perhatian penduduk yang kemudian berdiri di tepi jalan melihat ke arah mereka sambil bercakap dengan bahasa yang tidak dipahami Lukas. Namun, Lukas melihat tidak ada yang disakiti, maka ia kira semuanya baik-baik saja. Sambil melihat layar kamera, memeriksa hasil jepretannya barusan, Lukas berjalan menuju jip. Ia membuka pintunya dan melompat naik. Makanan yang ia beli diletakkan di atas dashboard. Kamera tetap dibiarkan menggantung di lehernya. Barangkali ia memerlukan sewaktu-waktu di jalan. Tangannya menarik sabuk pengaman, memasangnya, dan mulai menjalankan mobil pelan-pelan.
Tape dinyalakan dan ia langsung disuguhi lagu daerah Sumba Tengah “Oli Gailaru Marada”. Lukas mengikuti nyanyian yang entah sudah terputar berapa kali sejak ia berangkat dari Waingapu, berkendara sampai Kampung Ratenggaro, hingga perjalanan kembali. Lukas mengangguk kecil mengikuti irama lagu yang telah diaransemen itu. Sampai sebuah bayangan di kaca spion tengah mendadak membuat perhatiannya sedikit teralihkan. Ia memelankan laju mobilnya sambil mengintip ke arah spion. Memastikan penglihatannya sekali lagi. Tadi sepertinya ia melihat sesuatu, atau hanya halusinasi. Ia mulai berpikir, mungkin memang tidak seharusnya ia menyetir setelah makan. Namun, ia tidak ingin berhenti. Dalam hati, Lukas berjanji akan menyetir pelan-pelan.
Laki-laki berkalung kamera itu kembali mengangguk-angguk saat musik dari lagu yang mengalun dari tape-nya berganti ke musik dengan tempo ketukan yang lebih rancak. Namun, keberadaan bayangan yang sungguh tampak sangat jelas di kaca spion mobilnya membuat Lukas membanting setir hingga mobil benar-benar berhenti di tepi.
Gedebuk! Sesuatu terjatuh. Terlempar dari jok belakang mobil ke jok depan. Membuat Lukas membeku sambil mendempetkan tubuhnya ke pintu mobil. Seonggok makhluk atau entah apa ia harus menyebut, saat ini sedang duduk di depannya setelah bersusah payah bangkit dari posisi terjungkal. Lukas menunggu dengan khawatir, menebak apakah sesuatu itu manusia atau yang lainnya.
Rambut agak ikal menjuntai berantakan itu tersibak. Muncul wajah manis dengan tatapan garang sekaligus bibir meringis. Tangannya sibuk menggosok dahinya yang tampak memerah hitam. “Kau bisa kendarai mobil tidak?” semprotnya membuat kelopak mata Lukas membelalak. Apakah barusan dirinya dibentak oleh sesuatu yang asing ini.
Perempuan, ‘kan? batin Lukas ragu. Dia manusia? pikirnya lagi.
“Kau mau bunuh saya? Bagaimana kalau saya punya nyawa melayang? Saya hantui kau!” Ia terus berteriak marah dan membuat Lukas tidak punya kesempatan membalas ucapannya. Dengan kasar dan kesal, perempuan itu mengikat rambutnya dengan semacam anyaman tali buatan sendiri. Kemudian perempuan itu duduk di jok samping kemudi sambil mengatur napasnya. Sesekali ia melihat sekitar seakan memastikan situasi. Sementara Lukas masih tidak berkutik dari tempatnya.
Setelah beberapa menit diam dalam kevakuman, Lukas mulai menggerakkan tubuhnya yang makin terasa kaku dan pegal karena terlalu lama mematung. Sepertinya perempun di sampingnya pun semakin tenang. Baru saja Lukas membuka mulut untuk menanyakan sesuatu, perempuan itu kembali bersikap aneh. Tiba-tiba ia bersembunyi saat sebuah jip dari arah berlawanan melaju ke tempat mereka. Ia terus merunduk hingga ke bawah sampai jip itu melintas. Lukas mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Kepalanya dengan cepat menerka, apakah perempuan ini yang sedang dicari para laki-laki berparang itu? Apakah perempuan ini buronan penjahat atau semacamnya? Lukas sangsi, mana ada penjahat semanis ini wajahnya? Ah, tidak-tidak, penjahat ya penjahat saja. Tidak peduli manis atau cantik, pikirnya. Pikiran buruk pun kembali menghantui kepala Lukas. Bagaimana jika perempuan ini benar-benar jahat dan akan mencelakainya?
Belum sempat Lukas memikirkan hal lain, tiba-tiba saja sebuah lengan dengan pisau di tangan menyepit lehernya. Rupanya, perempuan itu sedang mengancam dengan pisau. Dan lengannya yang mengapit leher laki-laki hampir berusia kepala tiga itu terasa begitu kuat. Padahal, ia yakin usia perempuan ini masih muda. Mungkin lima-enam tahun di bawahnya.
“A-apa yang kamu lakukan?” tanya Lukas tergagap. Ujung mata pisau itu menimbulkan rasa perih di lehernya. Artinya, perempuan itu benar-benar menancapkan pisau di leher Lukas meskipun tidak dalam.
“Jalankan mobilnya sekarang!” ancam perempuan itu pelan.