“Jalankan mobilnya atau saya bunuh kau!”
Dua pasang mata itu saling mengawasi. Terkunci dengan sorot tajam yang berbeda. Saba mengawasinya dengan tatapan mengintimidasi, sementara Lukas mengawasinya untuk menemukan sisi lain Saba. Sebagai pelaku sineas, Lukas hampir saja melupakan keahliannya menilai watak seseorang dengan melihat wajahnya. Tiba-tiba laki-laki itu tersenyum dan justru membuat Saba terkejut. Bertanya-tanya apakah laki-laki itu tidak takut lagi dengan ancamannya.
Lukas menemukannya, watak asli perempuan itu, jika tidak salah menilai. Ia memang galak dan pemberani, tetapi ia tidak jahat. Wajahnya menampakkan ekspresi seorang perempuan yang sedang mencoba menyelamatkan dirinya. Lukas tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan perempuan itu, apa yang membuat ia dikejar gerombolan laki-laki berwajah beringas tadi. Namun, jelas bahwa Saba tidak berniat jahat. Terbukti dari bagaimana ia meminta maaf dan berterima kasih. Itulah sisi lain perempuan saat tertekan. Ia bisa melindungi dirinya sendiri. Terlebih, perempuan itu seorang mahasiswa, pemikirannya pasti jauh lebih lapang dari yang dipikirkan Lukas.
“Kamu tidak akan membunuh saya, Rambu,” ucap Lukas tanpa bergerak. Benar bahwa Saba tidak akan membunuhnya, tetapi posisi pisau itu membuat Lukas harus berhati-hati saat bergerak.
“Kenapa tidak akan? Saya bukan perempuan lembut dan penakut seperti yang laki-laki kebanyakan pikirkan.”
Lukas kembali tersenyum lirih. Masih dengan kepala yang tidak bergerak. “Baiklah, saya minta maaf, saya bercanda tadi. Bisa tolong lepaskan saya?” pintanya.
Saba mengawasinya sekali lagi dari kaca spion. Sementara Lukas tersenyum ramah sambil menatap balik. Dengan sorot mata bersahabat. Hal itu berhasil menyentuh sisi empati hati Saba. Perlahan, Saba melepaskan leher Lukas dari belitan lengannya. Menyelipkan kembali belati tajam ke dalam sarungnya yang tersembunyi di pinggangnya hingga tidak tampak.
Lukas bangkit dan bergeser ke kursi kemudi. Menggosok-gosok lehernya yang kembali merembaskan darah merah. Meskipun sedikit, menyisakan rasa perih. Ia melirik sekali, sementara Saba menatap lurus ke depan. Kedatangan sekawanan kuda dengan penggembalanya membuat Saba kembali bersembunyi. Tiba-tiba ia jadi parno sendiri. mengkhawatirkan banyak kemungkinan bahwa orang yang melihatnya bisa saja melapor pada Redu. Mengingat kuasa keluarga dari klan Maramba itu cukup kuat. Lukas hanya mengawasi sikap Saba.
“Saya akan membantu kamu, tapi kita buat kesepakatan?” tawar Lukas yakin. Ia tidak takut lagi pada perempuan itu.
Saba kembali menatap curiga pada Lukas. Membuat Lukas tergelak.
“Hei, ayolah! Bukan kesepakatan buruk. Saya tidak seperti yang kamu pikirkan. Kepala saya ini bersih,” jelas Lukas meyakinkan.
Saba masih menatapnya sengit dan penuh prasangka. Tiba-tiba Lukas mencondongkan tubuhnya ke tempat duduk Saba dan ganti membuat Saba tersudut di tepi.
“Saya serius, Rambu!” ucap Lukas tegas dengan senyuman yang lenyap tak bersisa di wajahnya. “Mari membuat kesepakatan dan saya pastikan akan membantu Rambu.”
Kesepakatan? Saba ragu harus memercayai laki-laki dari kota yang baru dikenalnya. Apakah tidak berbahaya?
⌂ Ѫ ⌂
Matahari yang membakar kulit keduanya perlahan mengurangi sengat teriknya. Awan-awan putih yang tiba-tiba berarak menutupi cahayanya membantu Saba dan Lukas terbebas sejenak dari panas yang membakar. Saba mungkin terbiasa dengan sengatannya. Kulit sawo matangnya tentu saja lebih kuat dari kulit putih Lukas yang tampak memerah. Untung saja, udara yang berembus mampu memberikan sejuk lain bagi Lukas dan Saba.
Keduanya masih tampak diam. Kesepakatan itu belum mencapai titik temu. Meskipun begitu, Lukas tetap melajukan mobilnya. Membawa Saba semakin jauh dari kampung halamannya dan kampung halaman Redu. Kabur tanpa pemberitahuan pasti akan membuat ama-inna Saba mencarinya, tetapi Saba harus melakukan ini sementara. Tradisi yappa itu akan merugikannya sebagai pihak perempuan jika sampai tertangkap.
Saba melirik Lukas sesekali. Sepertinya laki-laki itu merengut karena penolakannya. “Saya bukannya tidak mau jadi pemandu,” Saba kembali mengawali pembicaraan setelah saling diam sepanjang perjalanan. Sekitar dua puluh menit, perjalanan mereka melewati rimbun pohon dan perbukitan hanya dihiasi kevakuman dua anak manusia. Kecuali alam yang mengisi kekosongan pembicaraan keduanya dengan deru-deru melodinya yang sejenak menghibur. Angin berbisik, berbicara dengan kersik perdu. Lantas derap kuda, berbicara dengan hamburan debu. Kawan burung berkicau, mengajak langit dan awan berbicara, hingga menirukan suara-suaranya. Mengutus tebing-tebing menggaungkan kicaunya kembali.
“Tenang saja, saya tidak pamrih bantu kamu,” sahut Lukas tanpa menoleh. Wajahnya masih tampak marah. Itu membuat Saba tersenyum lirih sambil menoleh ke samping. Pada hewan ternak yang dilepaskan dan gembalanya.
Tawa lirih itu mengusik kemarahan Lukas. Ia melirik kaca spion. Mengintip senyuman Saba yang membuatnya semakin manis. Pipi kanannya berlesung dan ia memiliki gigi gingsul. Manis wajahnya jadi sempurna dengan semua elemen itu. Lukas diam-diam tersenyum.
“Orang-orang itu ingin tangkap saya,” suara Saba yang masih menatap jalanan sambil menyandarkan kepalanya di sandaran jok membuat Lukas kembali menatap ke depan sebelum ketahuan memperhatikan perempuan itu. Tidak berapa lama, Saba menoleh. “Orang-orang itu bisa celakai kau jika ketahuan bersama saya.”
Lukas menoleh dengan wajah berpura merengut. “Kamu pikir saya tidak berani melawan mereka?” protesnya.
“Bukan begitu, Umbu. Saya cuma tidak ingin orang lain celaka karena saya. Ada banyak pemandu di kota yang bisa bawa Umbu berkeliling dengan aman. Mereka terlatih dan tidak akan kecewakan Umbu,”
Lukas menepikan mobilnya dan berhenti. Menarik rem tangan agar mobilnya tidak meluncur ke jalan turunan tempat berhentinya saat ini. Ia menoleh pada Saba dengan wajah serius. “Kalau saya bisa buat mereka tidak mengenali Rambu, Rambu bersedia jadi pemandu saya?” tanya Lukas yakin.
Saba terdiam. Apakah ada caranya? “Rencana apa yang Umbu pikirkan?” tanyanya ingin tahu.
Ujung-ujung bibir Lukas tertarik membentuk senyuman. Membuat kening Saba berkerut. Rupanya Lukas memberikan pakaian dan beberapa aksesoris laki-laki. Menyamar sebagai laki-laki, itulah ide Lukas untuk menyembunyikan identitas Saba. Menurut Saba itu bukan ide buruk, tetapi ada yang terlewat.
“Bagaimana cara sembunyikan bukit kembar di dada saya? Laki-laki normal tidak mungkin punya tonjolan kembar di dada?” pertanyaan itu membuat Lukas menelan kasar ludahnya. Bukankah kalimat perempuan itu sedikit vulgar. Lukas terpegun sambil menatap dada Saba. Tidak besar memang, tetapi yang namanya milik perempuan tetap saja menonjol.
“Lihat apa kau!” hardikan Saba membuat Lukas tergagap dan menghindarkan pandangannya. Lehernya mengaku dan kepalanya lurus melihat depan. “Kau tidak ada ide?” tanya Saba membuat Lukas menoleh, hanya sesaat, bahkan sangat cepat
Saba tersenyum tanpa suara melihat sikap Lukas. “Carikan saja tempat buat ganti baju, nanti biar saya cari cara sendiri buat sembunyikannya.”
Lukas mengangguk dan kembali menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan berikutnya, Saba tampak lebih tenang. Kedua matanya menyipit. Semilir angin membuatnya mengantuk. Lukas tidak ingin mengganggu dan berniat membiarkan perempuan itu tidur. Namun, rasa penasaran membuatnya kembali bersuara.
“Boleh saya bertanya?” tanya Lukas sambil tetap fokus pada medan jalanan Sumba yang dipenuhi belokan tajam. Medan yang bagus untuk melatih keahlian mengemudi.
“E-emmm.” Saba hanya berdeham sambil menoleh.
“Orang-orang itu, kenapa mengejar kamu?” tanyanya hati-hati.