Sepanjang perjalanan menuju penginapan, Saba menyesali permintaannya pada Lukas. Setelah dipikirkan baik-baik, apa yang ia minta justru merendahkan harga dirinya sebagai perempuan. Bagaimana mungkin dirinya meminta seorang laki-laki yang baru dikenalnya membawanya kawin lari. Saba terus merutuki kebodohan dan kelancangan mulutnya. Ia bahkan merasa sangat malu dan tidak berani melihat wajah Lukas yang berada di belakang kemudi.
Setelah mobil terparkir, Saba buru-buru turun dan berniat melarikan diri. Celakanya, Lukas malah mencekal lengannya. “Tunggu, Rambu!” Saba merasa serba salah. Ia sangat malu untuk melihat wajah Lukas, tidakkah laki-laki itu memahami situasinya.
“Saya mengantuk!”
“Apa yang aku dapat kalau setuju melakukan kawin lari dengan Rambu?” Jantungnya serasa mau copot saat Lukas melemparkan pertanyaan yang tidak ia sangka-sangka. Saking terkejutnya, Saba bahkan langsung berbalik. Kedua pasang mata itu bersobok. Mata cokelat Saba dan mata hitam Lukas. Saba melihat ketegasan di wajah Lukas. Tidak ada keraguan yang ia temukan di sana. Apakah Lukas benar-benar serius menanyakan hal itu? Saba dibuat bingung. Ia yang memulai, tetapi pada akhirnya dirinya yang terjebak dengan pertanyaan Lukas.
Deru jip yang memasuki halaman penginapan berhasil mengusaikan diam di antara keduanya. Empat laki-laki yang turun dari mobil membuat Lukas langsung berdiri di depan Saba untuk melindungi perempuan itu. Sayangnya, ia sedikit terlambat. Sementara dua orang menyerangnya, dua orang yang lain mencekal Saba. Meskipun berteriak, tidak ada yang menolong. Penginapan memang lumayan sepi dan pelayan tampak hanya menonton. Seperti yang diperkirakan Saba, tradisi itu membuat mereka tidak menganggap tindakan yappa sebagai sebuah kejahatan. Itulah masalahnya. Sementara Saba diseret ke mobil, Lukas mencoba melawan dua laki-laki lainnya. Mereka bertarung cukup sengit sampai akhirnya Lukas mendapat pukulan dan limbung. Ia mencoba bangkit berkali-kali dan bahkan sempat memegang kuat-kuat kaki salah seorang laki-laki. Namun, ia justru ditendang hingga tak berdaya.
Sebelum benar-benar tidak sadarkan diri, Lukas sempat melihat jip itu pergi membawa Saba yang tampak meronta dan menangis. Menatap dirinya hingga bayangan perempuan itu kian menjauh. Lukas tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.
⌂ Ѫ ⌂
Bayangan Lukas yang digebuki membuat Saba merasa bersalah. Ia ingin tahu bagaimana kondisi Lukas. Laki-laki itu pasti tidak baik-baik saja. Apakah ada yang mengurusnya atau membawanya berobat. Seharusnya ia tidak membawa masalah untuk orang lain.
“Penurut sekali kau hari ini. Biasanya suka berontak,” celetuk salah seorang laki-laki yang duduk di depan.
Saba hanya menatap dengan sengit. Ia tidak antusias meladeni mereka. Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan saat ini adalah melompat dari mobil dan melarikan diri. Namun, melakukannya hanyalah sebuah kebodohan. Percuma saja kabur, mereka akan menangkapnya lagi. Terbayang wajah ama inna-nya. Bagaimana kabar mereka? Baik-baik saja kah?
Setelah menempuh perjalanan panjang dari Sumba Timur, akhirnya mereka sampai di Sumba Tengah. Tepatnya di kediaman keluarga Redu. Sejak melewati tugu kampung, perpaduan musik tradisional Sumba terdengar. Orang-orang menikmati pesta. Benar-benar seperti perayaan besar. Gelap malam tidak menyurutkan kebahagiaan orang-orang yang sedang menari dan menyanyi. Merayakan kesengsaraan Saba. Ia tahu bahwa orang-orang ini tidak mengetahui apa yang ia rasakan dan memang mereka tidak perlu tahu. Mereka hanya berpikir bahwa saat ini sednag ada pesta menyambut pernikahan putra tertua dari salah seorang klan Maramba. Mereka bisa mendapatkan makan sepuasnya. Mendapatkan tontonan gratis berupa musik dan tarian.
Saat diseret paksa turun dari mobil, hati Saba makin berantakan. Orang tua Redu hanya mengawasinya tanpa bisa melakukan apa-apa. Sementara Ana yang tampak ingin menghampirinya, dicekal Redu. “Masuk!” Ia justru mendapat hardikan.
Saba disambut dengan percikan air yang sebisa mungkin berusaha ia hindari. Tidak yakin, apakah benar seperti kata orang-orang, bahwa air itu memiliki kekuatan gaib yang bisa membuat siapa saja hilang kesadaran dan penurut jika sampai terkena di dahi. Hanya saja, Saba berusaha menghindari kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyulitkannya nanti.
Saba diseret ke kamar Redu. Karena mencoba berontak, ia lantas diikat. Saba merasa semakin terluka harga dirinya diperlakukan seperti binatang. Terlebih saat mendengar orang-orang itu mengatakan pada Redu untuk menjinakkan Saba agar tidak melawan lagi. Apakah mereka pikir Saba binatang yang harus dijinakkan? Ingin rasanya Saba memukul mereka satu per satu. Benar kata salah seorang seniornya di kampus, bahwa perempuan setidaknya harus belajar salah satu ilmu bela diri. Setidaknya, dasar-dasar untuk melawan dan melindungi diri sendiri. Perempuan tidak bisa selalu bergantung dan mengharapkan bantuan orang lain. Melainkan harus bisa menjaga dirinya sendiri.
“Kau pikir bisa lawan saya?” Redu menghampirinya setelah meminta orang-orang suruhannya pergi.
Saba menatapnya dengan amarah. “Pengecut kau! Beraninya main keroyokan hanya untuk lawan perempuan,” makinya tanpa rasa takut.
Redu berpura tersenyum penuh kemenangan meskipun hatinya seperti disayat mendengar ucapan kasar Saba. “Saya tidak harus mengotori tangan saya untuk lawan perempuan klan jelata macam kau!”