YAPPA MARADDA

Sika Indry
Chapter #9

Bab 8 - Tawaran

Perempuan berseragam putih merah itu berlari kencang menuju gerombolan anak laki-laki yang sedang menyerang seorang anak perempuan. Satu di antara mereka menendang anak perempuan yang menangis tersedu, sementara beberapa yang lain tampak menyoraki sambil tertawa-tawa.

“Hei, berhenti!” Dengan berani, ia muncul dan menghadang. Namanya Alida Sabana Atajawa. Perempuan tanpa rasa takut yang suka bermain dengan Ana Magdalena, adiknya.

“Siapa kau? Perempuan pergi saja! Jangan ganggu. Kami mau senang-senang,” usir anak laki-laki itu padanya. Tanpa banyak bicara, Saba langsung menendang si anak laki-laki hingga tersungkur dan wajahnya mendarat di kotoran kuda. Anak laki-laki lain langsung mundur. Sementara anak laki-laki dengan kotoran kuda di wajahnya langsung berteriak menangis.

Redu tersenyum menyaksikan adegan itu. Sejak hari itu, entah mengapa, ia jadi suka memanjat pohon kosambi itu. Menunggu Saba datang bermain. Bukan hanya sekali dua kali, tetapi sudah berkali-kali, ia melihat Saba melawan anak laki-laki nakal yang suka mengganggu anak perempuan. Sementara Redu, hanya bisa bersembunyi mengagumi keberanian Saba.

Sesuatu menetes di dahinya dan membuat Redu terbangun dari tidur. Jemarinya meraba dahi dan mendapati basah. Rupaya kotoran kuu[1]. “Sial!” Ia mengibaskan tangannya dan mengusapkannya pada dahan Pohon Kosambi. Ia menatap linglung ke sekitar. Rupanya ia tertidur di atas pohon. Tidak berapa lama pandangannya nanar menatap sebuah tempat. Di bawah sana, Saba sering bermain-main. Namun, ia tidak lagi datang setelah kelulusan SMP. Hari itu, Redu mulai kehilangan Saba.

“Kau tidak akan pernah dapatkan hati saya!” Hatinya sangat sakit mendengar kalimat itu dari bibir Saba.

“Kenapa kau jahat sekali pada saya, Rambu?” tanyanya yang entah ditujukan pada siapa. Karena ia hanya sendirian di atas Pohon Kosambi. “Saya sudah tunggu kau belasan tahun, mengapa kau tidak mau memberi kesempatan untuk saya?” Pedih hatinya membayangkan wajah Saba yang menatap dengan amarah padanya. Tidak pernah sekali pun wajahnya ramah. Hanya sekali, belasan tahun lalu, saat Redu bertandang ke rumah mereka bersama ama-nya. Suatu ketika ama Redu mengatakan bahwa mereka sudah dijodohkan sejak kecil. Harapan di hati Redu kembali tubuh subur, tetapi selalu dilayukan Saba, bahkan sering nyaris mati.

“Kalau saja kau tidak sekasar itu pada saya, saya akan perlakukan kau baik-baik,” desahnya kemudian melompat turun. Sudah hari ketiga. Sudah saatnya ia meminta jawaban Saba. Jika perempuan itu masih menolaknya, Redu tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia melakukan saran orang-orang Dendo, menjinakkan Saba. Namun, bukankah itu akan menyakiti hati perempuan itu. Masalahnya, jika tidak ia lakukan, Redu akan kehilangan Saba selamanya.

⌂ Ѫ ⌂

Hari ketiga pesta digelar. Musik, tarian, dan hidangan tersaji tanpa henti. Langkah kaki Redu gamang memasuki kampung. Sepanjang jalanan sedang berpesta, tetapi hatinya tidak serta merta gembira. Padahal, ia sudah mantap menjalankan rencana ini. Hari yang ia tunggu-tunggu.

Rumahnya sudah tampak. Orang-orang suruhannya masih berjaga. Takut jika perempuan pemberani itu melarikan diri. Ana turun dari rumah. Membawa senampan hidangan untuk orang-orang suruhannya. Redu melanjutkan langkah kakinya memasuki rumah. Ia langsung disambut oleh wajah ama inna-nya yang tidak tampak bahagia. Meskipun hari ini akan diadakan tradisi purung tana untuk menjadikan Saba sebagai bagian keluarga sah mereka, ama-inna Redu masih tidak sepakat dengan keputusan yang diambil Redu. Namun, keduanya tidak bisa berbuat apa-apa. Apa lagi, wunang yang dikirimkan keluarga mereka pada orang tua Saba juga mendapat penolakan. Padahal, bukankah beberapa tahun lalu, saat keluarga Saba mendadak kesulitan ekonomi karena suatu hal yang tidak diketahui Saba, telah terjalin sebuah kesepakatan antara orang tua Saba dan orang tua Redu. Menikah sekarang atau nanti, bukankah sama saja. Alangkah baiknya jika rencana baik dipercepat.

“Dari mana kau, Umbu?” tanya inna-nya.

“Persiapkan diri,” jawab Redu sambil berlalu.

“Sarapanlah dulu!” perintah inna-nya dan Redu menurut. Ana pun datang menyiapkan makan untuk keluarganya. Menghidangkan makanan kesukaan Redu dan membuat Redu sempat terpegun sesaat.

Lihat selengkapnya